Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengadakan pelatihan “Advokasi Anggaran Dana Desa dan Daerah” di Sopo KSPPM Parapat pada hari Kamis-Sabtu, 22–24 Juni 2023. Pelatihan ini dilatarbelakangi oleh kepedulian bersama mewujudkan kesejahtertaan masyarakat desa di Kawasan Danau Toba melalui terbitnya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Diharapkan pelatihan ini dapat menambah pemahaman dan keterampilan kader-kader petani dampingan KSPPM mengenai perannya dalam pemerintahan desa khususnya pengelolaan dana desa dan daerah. Selanjutnya, masyarakat peserta mampu mempertahankan haknya sendiri melalui keterlibatan dalam pengawasan anggaran dana desa dan daerah. Terakhir, pelatihan ini bertujuan untuk melihat bagaimana masyarakat desa menjadi subjek penganggaran di tingkat desa dan kabupaten.
Pelatihan ini diadakan selama tiga hari dengan pemateri yang telah berpengalaman dalam isu pembangunan desa. Hari pertama, materi pelatihan diisi oleh Bapak Sutoro Eko Yunanto, Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa-Yogyakarta, yang menyampaikan materi substansi UU Desa Nomor 6 Tahun 2014. Pada hari kedua dan ketiga, pelatihan diisi oleh Dina Mariana, Direktur Eksekutif Institute for Research and Empowerment (IRE)-Yogyakarta yang memfasilitasi materi analisis, strategi, dan lobi advokasi untuk anggaran desa dan daerah. Keduanya memiliki pengalaman mendalam terkait pemerintahan desa karena menjadi bagian dari tokoh yang mendorong pengesahan UU Desa dan masih mengawal revisi UU Desa.
Peserta pelatihan terdiri adalah kader-kader organisasi Kelompok Tani dampingan KSPPM yang menduduki jabatan publik di desa dan di organisasinya, seperti Kepala Desa, Kepala Dusun, BPD, dan juga pengurus Kelompok Tani.
UU Desa 6/2014: Desa Harus Mandiri dan Berdaulat, Substansi dan Praktik
Sutoro Eko Yunanto, menyampaikan materi tentang Substansi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Secara garis besar, Sutoro Eko melihat UU Desa dari dua sisi, yakni sisi substansi dan sisi praktik, yang dinilai sudah melenceng dari cita-cita awalnya.
Menurutnya, kebijakan yang berusia hampir 10 tahun ini pada dasarnya memiliki cita-cita besar bagi pembangunan masyarakat desa yang mandiri dan berdaulat. Awalnya, UU Desa ingin menjawab berbagai macam permasalahan yang terjadi di desa, seperti desa yang tidak memiliki wilayah, infrastruktur, atau perekonomian yang tidak berkembang. Dahulu dapat dikatakan bahwa desa selalu dikaitkan dengan kondisi keterbelakangan, kemiskinan, dan kesenjangan antar desa. Dengan demikian, pemerintah desa hanya berperan sebagai aparat yang menjalankan pemerintahan dari pusat atau di atasnya.
Namun harus diakui dalam praktiknya banyak yang tidak sesuai dengan cita-cita awal. UU Desa tidak melepaskan desa dari cengkeraman pemerintah pusat. Banyak desa yang masih menjadi objek pembangunan bukan subjek. Selain itu, dalam praktiknya ternyata banyak pemerintah desa yang tidak melakukan musyawarah dan tidak melibatkan masyarakat. Sehingga hingga saat ini Eko masih mengawal proses revisi agar benar-benar memberikan kedaulatan kepada pemerintah desa.
“Sampai hari ini kondisi masyarakat desa dan petani masih jauh dari substansi pembuatan UU Desa. Desa belum berdaulat dan mandiri. Desa belum menjadi subjek pembangunan, namun masih menjadi objek,” kata Sutoro Eko.
Dari 13 asas peraturan desa, dikatakan ada tiga yang paling penting, yaitu asas rekognisi yang berarti pengakuan dan penghormatan terhadap hak asal usul. Hal ini karena sebelum adanya negara, desa sudah ada. Kedua, Subsidiaritas yaitu penentuan kewenangan dan pengambilan keputusan lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Terakhir, demokrasi adalah sistem pemerintahan terbuka yang memberikan kesejahteraan kepada masyarakat pedesaan. Partisipasi dan keterlibatan masyarakat adalah hak.
Salah satu program turunan dari UU Desa adalah Dana Desa. Bagi Eko, dari begitu banyaknya dana desa yang dikucurkan oleh pemerintah tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Sejauh ini, orientasi penggunaan dana desa banyak hanya mengarah pada pembangunan fisik. Kalau desa tidak bisa menggunakan dana desa untuk pertanian berarti dana desa itu gagal. Ketika pemerintah pusat membuat prioritas penggunaan dana desa, itu kebodohan.
Diskusi berlangsung sangat aktif. Antusiasme para peserta sangat besar untuk mengetahui apa sebenarnya substansi UU Desa tersebut. Berdasarkan sharing session yang berlangsung, dapat disimpulkan bahwa UU Desa belum memberikan dampak positif bagi masyarakat. Banyak kebijakan yang tidak mendukung desa menjadi entitas yang mandiri dan berdaulat. Salah satunya adalah kebijakan yang mengharuskan desa mengalokasikan anggaran untuk program Sustainable Development Goals (SDG’s) Desa yang merupakan program internasional.
Berdasarkan pengalaman kepala desa, Badan Perwakilan Desa, serta masyarakat desa yang hadir, desa tidak leluasa menentukan pengelolaan anggaran desanya. Kebijakan anggaran di tingkat kabupaten juga tidak merepresentasikan kebutuhan masyarakat desa. Pada intinya, kebijakan dibuat bukan dari bawah ke atas (bottom-up) tetapi dari atas ke bawah (top-down).
Demokrasi Menjawab Berbagai Persoalan Desa
Pada hari kedua dan ketiga, materi pelatihan dibawakan oleh Dina Mardiana, Direktur IRE Yogyakarta, salah satu lembaga yang juga aktif dalam memantau isu pembangunan desa. Dina menyampaikan tiga materi yaitu Analisis, Strategi, dan Strategi Lobi untuk advokasi anggaran desa dan daerah.
Sesi diawali dengan analisis bersama terhadap berbagai permasalahan yang dialami desa di masing-masing kabupaten yaitu Kabupaten Toba, Samosir, Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan. Dari analisis peserta diketahui bahwa setiap daerah memiliki permasalahannya masing-masing yang pada umumnya hampir sama, seperti permasalahan penganggaran dan pemberdayaan. Dari berbagai permasalahan yang disampaikan oleh masing-masing daerah, Dina Mardiana menyimpulkan bahwa inti permasalahan yang dialami adalah karena persoalan demokrasi di daerah tersebut.
“Dari berbagai persoalan yang bapak ibu sampaikan sebenarnya masalah utamanya adalah tidak berjalannya demokrasi yang baik di desa daerah masing-masing”, Ujar Dina.
Pada prinsipnya, Dina menjelaskan untuk mewujudkan desa yang demokratis, harus ada masyarakat sipil dan pemerintah desa yang sama kuatnya agar terjadi keseimbangan. Jika terjadi ketimpangan antara masyarakat sipil dan pemerintah desa dapat menimbulkan berbagai masalah mulai dari dominasi pemimpin, kehancuran desa, bahkan perlawanan dari masyarakat sipil. Maka, Dina menyarankan kepada para peserta untuk menciptakan kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah desa dan kabupaten.
Dina menambahkan bahwa salah satu strategi advokasi yang dapat dilakukan untuk menjawab permasalahan masyarakat desa adalah dengan terlebih dahulu menentukan isu strategis bersama yang menjadi keresahan bersama dan harus segera diperjuangkan. Kemudian, isu ini penting untuk dibicarakan di berbagai arena, baik formal maupun informal. Terakhir, lihat aktor-aktor yang bisa mendukung atau tidak mendukung isu strategis ini. Melalui strategi ini perlu diperhatikan posisi yang jelas apakah ingin berada pada posisi kolaboratif, konfrontatif atau netral. Hal ini dilakukan agar advokasi tidak menimbulkan konflik horizontal. Pelatihan dilaksanakan dengan sangat partisipatif dan berdasarkan berbagai pengalaman yang dialami oleh para peserta. Hal itu dilakukan agar berbagai teori yang disampaikan para pemateri dapat dengan mudah diterima oleh peserta serta memiliki relevansi dengan keprihatinan dan permasalahan yang dirasakan peserta di desanya masing-masing. Di akhir sesi, para peserta membuat rencana tindak lanjut yang akan dilakukan baik di daerah masing-masing maupun secara kolektif.***