Kita paham betul, bahwa perhatian publik pada kawasan Danau Toba meningkat sejak ia ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional – belakangan dibubuhi embel-embel ‘prioritas’. Pelabelan ini menstimulus banyak hal; merentang dari publisitas media, konsentrasi anggaran, dan investasi.
Tetapi kita juga paham betul, bahwa tanpa pelabelan itupun kawasan Danau Toba sebagaimana adanya adalah atraksi. Ia tidak menjadi indah karena label, melainkan indah karena dihidupi oleh masyarakat lokal.
Dua hal yang kita pahami di atas perlu kita benturkan dalam rangka memahami apa yang terjadi pada Danau Toba kini. Tanpa mengabaikan wilayah lain, tulisan ini akan memerhatikan Kabupaten Samosir secara khusus. Lebih khusus lagi; Sianjur Mula-mula.
Selain fakta bahwa di tempat inilah Bangso Batak bermula, melihat pariwisata Samosir dalam kerangka kebijakan juga amat menarik.
Terlihat dari Lake Toba Integrated Tourism Master Plan 2020, bahwa kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Samosir mencapai 8,05% pada tahun 2018. Dan jika kita tinjau data yang lebih mutakhir, kontribusi sektor pariwisata juga meningkat signifikan antar 2021-2022. Di mana di tahun 2021, sektor pariwisata berkontribusi sebesar Rp.4.321.589.536,13, yang naik di 2022 menjadi sebesar Rp. 7.306.549.388,17.
Jelas bahwa pariwisata masih menjadi sektor penting yang akan selalu menarik perhatian dari pemerintah pusat maupun daerah. Ini pula yang mendorong modifikasi ruang di Kabupaten Samosir, dari pertanian ke pariwisata, hal yang menjadi fokus dari pada tulisan ini.
Bagaimana kecenderungan modifikasi ruang ini merebut ruang hidup petani dan Masyarakat adat, bagaimana hal ini berkontribusi pada penciptaan sirkuit kapital, dan bagaimana kondisi terkini di lapangan.
Elegi Sianjur Mula-mula
Sopo Guru Tatea Bulan, Batu Hobon, Pusuk Buhit, Sigulati, dan objek lain di Sianjur Mula-mula, membuat wilayah ini lebih dari atraksi natural. Objek-objek tersebut adalah sakral bagi orang Batak dan dipercaya menjadi asal mula suku ini. Sakralnya objek-objek tersebut juga memiliki peran yang begitu penting bagi penganut kepercayaan Parmalim.
Sejak awal, banyak orang batak maupun penganut parmalim berziarah ke objek-objek tersebut. Karena yang kerap datang adalah perantau batak, maka tak jarang peran pemandu dibutuhkan.
Misalnya di Desa Sarimarihit, di mana Batu Hobon berada. Selama bertahun-tahun, peran sebagai pemandu dijalankan oleh warga lokal yang umumnya merupakan bagian dari Bius Sipitu Tali (Lembaga Adat).
Salah satunya adalah Op. Putri Limbong, ia adalah Raja Bius sehingga dipercaya sebagai orang yang paling memahami dan memiliki legitimasi adat atas pengetahuan sejarah dan budaya. Sembari mengelola pertanian kopi, pisang, dan tumbuhan lain di lahannya, ia kerap diminta untuk memandu para pengunjung maupun peziarah untuk berkeliling di sekitar Batu Hobon yang berbatasan persis dengan lahan pertaniannya. Ini ia lakukan selama bertahun-tahun.
Sampai badai Hasrat Pembangunan pariwisata muncul, di sinilah partisipasi warga lokal mulai terancam. Mulanya, mereka sungguh berprasangka baik atas kehadiran pemerintah. Paling tidak, infrastruktur dan akses akan direvitalisasi, dan memudahkan kunjungan.
Namun, apa yang terjadi justru tak pernah mereka bayangkan. Per detik ini, warga lokal khususnya Masyarakat adat Bius Siopat Tali tidak memiliki akses apapun dalam pengelolaan Batu Hobon.
Praktis, sejak 2018 objek-objek wisata ini diambil-alih oleh Pemerintah Kabupaten Samosir bersamaan dengan masuknya Kecamatan Sianjur Mulamula (khususnya Desa Sarimarihit) dalam prioritas pembangunan pariwisata Kabupaten Samosir dan menjadi bagian dalam pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba. Saat ini, untuk masuk ke Batu Hobon, pengunjung diwajibkan membayar retribusi Rp. 5000. Keseluruhan pendapatan dari retribusi ini langsung mengalir ke Pemerintah Kabupaten Samosir, dan meninggalkan 0 pendapatan langsung pada warga lokal, bahkan pemerintah desa sekalipun.
Ada keterpisahan tajam antara pariwisata sebagai proyek dengan kehidupan warga lokal. Sementara Op. Putri Limbong bertani, Batu Hobon sebagai proyek berjalan secara arbiter mulai dari retribusi, pengelolaan infrastruktur, bahkan pemanduan wisata yang dilakukan oleh pekerja dari luar.
Op. Putri Limbong pernah diajak untuk mengelola Batu Hobon atas nama Pemerintah. Namun, pemerintah mematok syarat untuk memenuhi sasaran pendapatan objek wisata sebesar Rp 60.000.000.
“Bagaimana saya bisa menerima itu, seolah saya ini dipaksa untuk memenuhi target pemerintah, padahal saya kan juga bertani” ujar Op. Putri.
Partisipasi lokal tidak pernah diupayakan secara serius, untuk tidak mengatakan bahwa pengembangan pariwisata sejak awal memang diniatkan untuk menyingkirkan. Tawaran tidak masuk akal begitu adalah gambarannya.
Padahal, mengacu pada Lake Toba Integrated Tourism Master Plan 2020, objek seperti Aek Sipitudai, Batu Sawan, Batu Hobon, Sopo Guru Tatea Bulan dan Permukiman Si Raja Batak dicanangkan sebagai Destinasi Wisata Utama (DWU) Budaya. Objek ini diklaim akan menjadi destinasi wisata terdapat penekanan akan kesakralannya yang didukung oleh cerita (turi-turian) yang dipercaya dan diyakini oleh masyarakat Batak. Hal yang menjadi kontradiktif mengingat para tetua adat dan warga lokal justru disingkirkan dalam proses ini.
Konyolnya lagi, penyingkiran itu membuahkan hasil yang sangat mengecewakan. Dengan membayar retribusi, anda akan mendapati Tourism Information Center yang hampir rubuh, rumput setinggi lutut, dan bangunan yang berlumut. Ini juga yang dikeluhkan warga lokal dan peziarah; kehadiran negara justru melecehkan bahkan mengurangi kesakralan Batu Hobon.
Sekitar 1,2 Km, kita juga akan mendapati Pusat Informasi Geopark Kaldera Toba, di Sigulati. Jika anda memutuskan untuk berkunjung sekarang, sunyi yang akan anda dapatkan untuk merogoh kocek Rp. 10.000 untuk retribusi.
Memang begitulah keadaannya; sunyi, terbengkalai, dan mencekam. Coffeshop tutup, beberapa bangunan sudah rusak, dan bangunan-bangunan jelek itu makin tidak jelas fungsinya. Melihat kondisi ini, anda pasti akan mengernyitkan dahi mengetahui target pendapatan tahunan dari objek ini mencapai Rp. 1.000.000.000.
Tidak berlebihan untuk menyatakan pembangunan yang mengorbankan ruang hidup warga lokal ini sia-sia.
Proses yang bisa dilihat dari potret terkini adalah proses modifikasi ruang yang sangat vulgar. Selama bertahun-tahun sejak ditetapkannya Danau Toba sebagai destinasi pariwisata prioritas, sebenarnya kontestasi ruang sudah dimulai.
Tujuannya adalah mengubah absolute space (ruang absolut) menjadi pewujudan dari pada abstract space (ruang abstrak). Mengubah ruang absolut yang dihidupi dalam keseharian suatu komunitas penduduk, menjadi ruang yang merupakan hasil abstraksi untuk pemenuhan kepentingan akumulasi kapital.
Tak terkecuali pengembangan industri pariwisata, sebagaimana terjadi di Sianjur Mula-mula. Demi memaksimalkan akumulasi kapital, pariwisata dibangun sebagai suatu konsep baru untuk menggantikan ruang yang dipersepsikan (perceived), dipahami (conceived), dan dihidupi (lived) oleh masyarakat selama bertahun-tahun (absolute space). Singkatnya, suatu wacana (ruang abstrak) ditujukan untuk membuat suatu wilayah menjadi lebih ‘menguntungkan’.
Warga lokal disingkirkan, dan melihat ruang hidup yang mereka rajut selama bertahun-tahun hilang perlahan.
Modifikasi Ruang untuk Akumulasi Kapital
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, kita sepakati bahwa tanpa label ini-itu dari pemerintah dan investor, lanskap Kawasan Danau Toba memang sudah indah. Ia adalah sebuah atraksi natural.
Di lanskap yang indah inilah, warga kawasan Danau Toba – termasuk Samosir — menjalankan hidupnya sebagai petani, peternak, dan menjalankan aktivitas budayanya. Artinya, sangatlah mungkin untuk menjalankan pariwisata sebagai industri ‘sampingan’, dan mengembangkan pertanian sebagaimana mestinya, atau bahkan penopang industrialisasi di sekitarnya.
Namun, hal ini agaknya tidak menjadi penting bagi pemerintah. Industrialisasi yang dipaksakan di sektor pariwisata sedari awal memang diniatkan untuk menciptakan sirkuit kapital baru. Dengan tahapan: mengakuisisi tanah sebagai sebuah komoditas (ruang pariwisata), mendirikan industri penyokong pariwisata seperti perhotelan, restoran, transportasi (sirkuit sekunder), kemudian menciptakan kondisi di mana petani mau tidak mau menjadi pelaku dalam industri yang mereka tidak kendalikan tersebut.
Ambisi pengembangan pariwisata di Kawasan Danau Toba telah dan berpotensi untuk menyingkirkan ruang hidup petani. Jika pun pariwisata mampu berkontribusi pada pendapatan negara secara signifikan, kebijakan ini juga secara konsekuen mendorong penajaman ketimpangan.
Peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata hanya akan menempatkan segelintir pelaku usaha sebagai penerima manfaat paling dominan. Utamanya yang memiliki modal ekonomi, dan modal politik daerah seperti akses informasi, dan jejaring dengan pemerintah. Lebih-lebih, pengembangan pariwisata yang melibatkan pemodal kerap dilaksanakan tanpa partisipasi aktif masyarakat. Kurangnya partisipasi dapat terjadi dalam perencanaan, pengelolaan, pengawasan/manajemen, atau bahkan sama sekali tidak dilibatkan dalam ketiganya.
Ini berkaca dari pengalaman bagaimana pemerintah menyetir pengembangan pariwisata di Kawasan Danau Toba. Tercatat, pengembangan pariwisata telah meletakkan masyarakat adat dan petani pada posisi yang semakin rentan. Rentan, karena mereka dipaksa untuk ‘melupakan’ ruang hidup sebagaimana mereka persepsikan, pahami, dan hidupi selama bertahun-tahun.
Masih pada soal itu, perlu ditekankan bahwa sektor pertanian merupakan sumber pendapatan utama penduduk di kawasan Danau Toba, termasuk Kabupaten Samosir. Berdasarkan data BPS Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir, persentase pekerjaan sektor pertanian adalah lebih dari 50 %. Namun sayangnya dukungan untuk sektor pertanian masih jauh tertinggal dari sektor pariwisata.
Padahal, pertanian adalah sektor yang benar-benar dipahami dan dihidupi selama bertahun-tahun oleh masyarakat Samosir di atas ruang yang kini diproyeksikan sebagai objek wisata. Inilah yang akan kita pahami sebagai modifikasi ruang sosial sebagaimana terjadi di Sianjur Mula-mula.
Kontradiksi dalam arah kebijakan ini adalah gambaran terang hasrat besar pemerintah untuk pariwisata. Lupakan narasi soal pemerataan kesejahteraan dan sebagainya. Untuk lebih kritis, perhatikan pelaku utama dalam pengembangan pariwisata di Samosir. Identifikasi lah siapa pemilik hotel, bisnis siapa yang dilalui oleh infrastruktur jalan, dan sebagainya.
Partisipasi warga lokal sebagai pelaku pariwisata juga tinggal jargon, di lapangan penduduk asli tersebut hanya menjadi penonton. Mereka menonton ruang hidup mereka perlahan direbut, dimaknai secara lain, dan menanti titik di mana mereka betul-betul tersingkir.
Terputusnya pariwisata dengan pengembangan pertanian hanya akan memperburuk situasi. Pembebasan lahan menjadi wajib bagi pembangunan pariwisata. Modifikasi ruang akan mempercepat arus perburuan tanah. Hilangnya tanah adalah hilangnya alat produksi bagi petani. Hilangnya alat produksi adalah hilangnya petani.
Maka terputusnya pariwisata dan pertanian adalah bom waktu. Ketika perampasan alat produksi semakin meluas, petani yang tidak lagi memiliki alat produksi adalah angkatan kerja yang tidak akan terserap pariwisata. Paling mentok, para penduduk asli hanya akan menyerahkan diri pada kerentanan; pekerja informal, pedagang kaki lima, atau pada dasarnya menjadi budak.
Membiarkan pariwisata berjalan sambil merusak ruang hidup petani dan warga lokal adalah upaya paling sempurna untuk mati perlahan.