Ini adalah kisah empat perempuan Batak di dua komunitas adat di Sumatera Utara. Dalam kultur Batak, perempuan bukan pewaris marga dan tanah leluhur. Tetapi sejarah mencatat, ketika tanah leluhur tergusur, para perempuan Batak justru pantang mundur.
Prolog
AWAL TAHUN 1977, petugas Dinas Kehutanan Tele menanam bibit pohon pinus di lahan pertanian yang masuk wilayah adat Desa Siria-ria, kawasan Danau Toba, Tapanuli Utara.
Penanaman dilakukan dengan dalih program reboisasi oleh pemerintah era Orde Baru. Program itu tidak dapat persetujuan dari warga. Perlawanan terjadi. Barisan paling depan adalah kaum ina, atau para perempuan-perempuan yang telah berkeluarga.
Kaum ina menduduki lahan. Aksi berhasil menghentikan kegiatan penanaman. Namun, mereka menyadari berhentinya kegiatan hanya sementara. Mereka butuh aksi yang lebih konkret menyelesaikan konflik.
November 1977, warga Desa Siria-ria mengumpulkan uang untuk menyewa pengacara dan menggugat Dinas Kehutanan Tele. Nahas. Pengacara diam-diam melakukan perdamaian dan menggagalkan perjuangan masyarakat di meja hijau.
Desember 1978, Dinas Kehutanan Tele kembali memancing konflik dengan mendirikan pondok besar di lahan yang sama. Kelompok ina merusak pondok dan peralatan sebagai bentuk kemarahan. Buntut aksi ina, dua warga ditangkap tentara.
Penangkapan dua warga memicu kemarahan kaum ina yang lebih besar. Atas masukan dari Pastor Meinrad Mansen O.F.M, kaum ina turun ke jalan melakukan demonstrasi. Sejarah mencatat ada sekitar 200 ibu-ibu dalam aksi itu. Dalam kemarahan itu, mereka merusak kantor camat dan Koramil, serta merebut sebuah senjata milik polisi.
Juni 1979, terjadi negosiasi antara aparat dan warga Siria-ria. Polisi meminta mereka mengembalikan senjata yang direbut dan berjanji membebaskan dua tahanan. Senjata dikembalikan, tapi janji tidak dibuktikan. Polisi dan tentara justru memburu perempuan-perempuan yang dituding sebagai biang keladi kerusuhan.
Sebelas perempuan ditangkap, satu di antaranya sedang hamil. Selama penahanan mereka juga disiksa. Dalam kondisi tertekan dan terintimidasi, mereka kompak melakukan gerakan tutup mulut. Setiap mereka ditanya namanya, semuanya menjawab dengan Mia*.
I
MASA KECIL Rosmawati Ambarita (77) diwarnai cerita pilu. Tahun 1950-an, keluarganya tinggal di perkampungan (huta) Sihaporas Bolon. Dusun itu hanya didiami belasan keluarga, tanpa listrik dan akses jalan yang memadai.
Sebagai anak perempuan sulung, Rosmawati harus mengurus adik-adiknya sambil membantu orangtuanya mencangkul, memanen, sampai menumbuk padi di ladang.
”Setelah bisa baca tulis saya berhenti sekolah,” kata Rosmawati yang hanya menamatkan pendidikan hingga tingkat dasar.
Masa kecilnya yang pilu kian membekas ketika rumah kayu yang ia tinggali terbakar karena panasnya cuaca dan angin kencang saat musim kemarau. Keluarganya juga dipaksa mengungsi, karena saat itu, wilayah tempat tinggal mereka dianggap sebagai tempat pemberontak bersembunyi dalam masa pemberontakan PRRI 1958 – 1961.
“Pada saat itu, dari pusat menanyakan kenapa masih tinggal di huta ini, sementara yang lain sudah pergi, berarti kalian adalah pemberontak. Kalau kalian masih di sini ketika kami datang berpatroli, kalian akan kami angkat, berarti kaki tangan pemberontak,” kata Rosmawati.
Keluarganya kemudian pindah dan mendirikan rumah baru di desa yang disebut ‘kebun teh’ —B8. Keluarganya lalu mengelola ladang ubi. Ketika gejolak mulai reda, orangtuanya tidak langsung kembali ke rumah yang ditinggalkan karena menunggu menunggu panen ubi terlebih dahulu.
Tetapi pada saat itu ibunya mulai sakit-sakitan. Keluarganya meyakini ibunya menderita sakit karena terlalu lama meninggalkan rumah.
“Sakit ibu saya ini aneh, dia tidak bisa duduk atau bergerak kalau tidak dibantu, tetapi dia bisa berlari pada malam hari, pergi keluar rumah bawa obor,” katanya.
”Mungkin ompung (roh leluhur) tidak suka.”
Pada suatu malam, ayahnya terkejut begitu mengetahui istrinya tidak ada di rumah. Ia mencari hingga ke perbatasan kampung dan menemuinya di dekat aliran air dalam keadaan menggigil.
“Bapak menangis, dan berdoa, ‘Tuhan, saya tidak pernah meracun orang lain, juga tidak pernah membunuh, kenapa begitu ngeri penderitaan yang kualami?’”
Setelah pulang, ayahnya menaruh arang dalam kuali untuk menghangatkan ibunya. Setelah kejadian itu, saat tidur, Rosmawati kerap menaruh kakinya di pintu agar ibunya tidak lari dari rumah. Tetapi tetap saja, ibunya pergi pada malam hari. Selama lebih dua bulan ibunya tidak melakukan apapun hingga rambutnya menggumpal.
Ompu Jaulat, seseorang yang memiliki pengetahuan akan hari baik dan buruk atau Siboto ari menasehati keluarga Rosmawati, “Kalau kita tidak kembali ke sana, maka semakin sulit hidup yang akan kita jalani.”
Keluarga akhirnya memutuskan pulang ke Sihaporas. “Jika memang ingin kami pulang, kami akan pulang ke Sihaporas,” kata Rosmawati, menuturkan ucapan ayahnya.
Mereka pun pulang dengan diiringi doa dan gendang Batak. Di Sihaporas, mereka disambut ilalang dan akar jipang yang sudah menjalar ke seisi rumah.
Tak berapa lama setelah pulang, ibunya berangsur sembuh. Sejak saat itu, orangtuanya berikrar tidak akan pernah meninggalkan tanah leluhurnya dan tetap mengikuti petuah dan ritual warisannya.
“Tuhan itu satu, tetapi kami di Sihaporas, tidak bisa meninggalkan petuah (ruhut) Ompung Mamontang Laut, leluhur kami,” katanya.
Ayahnya mulai membangun rumah baru, sekitar satu kilometer dari rumah mereka yang sebagiannya terbakar itu. Keluarga Rosmawati adalah satu-satunya yang tinggal di sana.
Ayahnya juga mengganti nama huta menjadi Lumban Ambarita. Secara administratif lokasinya berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tetapi secara kultural lebih dominan ke Kabupaten Toba dan Samosir.
Kini rumah itu ditinggali adik laki-laki Rosmawati. Sebagai anak perempuan, ia tak punya hak mewarisi. Kendati tak bisa mewarisi, Rosmawati mengatakan ia memiliki ikatan batin yang tidak akan terputus atas tanah leluhurnya itu.
“Meski kami boru (keturunan perempuan) di huta ini, tapi perjuangan kami sama dengan anak (keturunan laki-laki) untuk mempertahankan tanah leluhur kami,” katanya.
***
Di usianya ke-77, Rosmawati sudah tak lagi kuat berjalan lama, gotong-royong, apalagi ikut turun ke lahan adat bersama komunitas adat saat terjadi upaya-upaya PT. Toba Pulp Lestari (TPL) mengokupasi lahan adat mereka.
“Kalau dulu saya tidak pernah berdiam diri di rumah apabila masyarakat berjuang dari [klaim] perusahaan itu [atas tanah adat],” katanya.
Rosmawati adalah generasi kedelapan dari sebelas generasi leluhur mereka, Ompu Mamontang Laut Ambarita, yang dulu menyeberang dari Samosir pada tahun 1800-an. Badan Registrasi Wilayah Adat sebagai tanah adat seluas 2.050 hektare, namun kini hanya sekitar 500 hektare yang tersisa sebagai wilayah adatnya.
Tahun 2004, saudara tertuanya, Mangitua Ambarita, dipenjara dengan tuduhan menguasai lahan konsesi TPL. Pada tahun 2019, saudara laki-lakinya, Jonni Ambarita dan Thomson Ambarita, juga dipenjara dengan tuduhan perampasan lahan perusahaan.
Masyarakat adat Sihaporas berkonflik dengan TPL sejak perusahaan mendapatkan izin konsesi hutan tanaman industri dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 1992.
“Kalau laki-laki, sepengetahuanku, sudah ada lima dari huta ini yang pernah ditangkap polisi,” katanya.
Bukan pertama kali Masyarakat Adat Sihaporas berkonflik untuk mempertahankan tanah adat. Rosmawati masih ingat ketika ia remaja, sang ayah menyuruhnya bersama dua puluhan perempuan untuk melerai orang-orang pendatang yang ingin menguasai perbatasan kampung.
“Waktu itu, berdekatan dengan masa-masa tahun 1965, aku masih anak gadis, ada sekelompok orang yang ingin menguasai lahan dengan langsung membawa alat berat tanpa permisi kepada masyarakat, mereka menanaminya jagung,” katanya.
Di atas lahan itu terpasang plang bahwa tanah milik aparat setingkat Bhabinkamtibmas. Dengan membawa parang, mereka mencabut plang itu. Orang-orang yang menggarap lahan itu pun mundur.
“Karena itu, aku mendapatkan sepetak tanah di sana pemberian orangtua sebagai tanda perlawanan kami,” katanya.
Tahun 1999, Masyarakat Adat Sihaporas mendirikan lembaga adat bernama Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (LAMTORAS). Kehadiran lembaga tersebut adalah sebagai strategi untuk menguasai kembali lahan mereka yang direbut konsesi TPL.
Sejak 2018, masyarakat telah mengajukan permohonan untuk dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) pengakuan adat ke Pemerintah Kabupaten Simalungun. Namun hingga kini, permohonan itu tak kunjung dikabulkan.
Tidak adanya pengakuan itu membuat masyarakat adat Sihaporas selalu rentan berkonflik dengan perusahaan.
Agustus 2022, konflik terjadi saat perusahaan ingin mengokupasi tanah adat mereka. Puluhan perempuan, termasuk Rosmawati, yang sudah tua ikut turun ke lahan, berjaga di tenda-tenda sepanjang hari.
“Saya ikut berjaga di posko, membawa makanan, berjaga bergantian sampai polisi itu pergi,” katanya. Aksi mereka sempat direkam, dan videonya diunggah di media sosial.
Peristiwa itu dipicu ketika sejumlah truk perusahaan berusaha melintasi wilayah adat dan mengintimidasi agar dapat melakukan pembibitan eukaliptus baru. Masyarakat menghalau dengan memasang portal di jalan.
Tiga truk polisi dikerahkan untuk mendesak warga membuka portal. Situasi makin kisruh ketika pada hari berikutnya ketika ratusan polisi dan tentara dikerahkan ke wilayah adat.
“Kami sudah siap mati malam itu, tetapi kalau bukan karena perlindungan Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Pencipta Alam Semesta), kami tidak akan mampu menghadapi mereka, sampai mereka akhirnya pergi,” katanya.
Sempat terjadi bentrokan dan seorang perempuan adat tertembak peluru karet. Beberapa hari kemudian polisi tidak lagi datang mengintimidasi warga.
Kendati demikian, Masyarakat Adat Sihaporas hingga hari ini memilih untuk tetap berjaga di pos-pos yang mereka dirikan sepanjang hari hingga malam.
“Hanya untuk mempertahankan petuah dan warisan leluhur kami,” ujar Rosmawati.
II
Nurinda Napitu (36), istri adik Rosmawati, nyaris kehilangan nyawa ketika ikut menghambat polisi dan karyawan TPL yang ingin melintasi portal ke wilayah adat mereka.
Saat itu, salah seorang dari pihak perusahaan membawa gergaji rantai untuk memotong portal. Gergaji itu hampir mengenai lehernya saat ia berupaya menghentikannya. Gagang gergaji rantai itu lalu terjatuh dan melukai kakinya.
“Waktu itu masyarakat berhadapan dengan sekitar 500-an polisi, kami tidak tahu bagaimana caranya kami menghadang mereka, tapi kami tetap melawan dan tidak mau diam saja,” kata perempuan yang juga bergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini.
Nurinda dan puluhan perempuan adat Sihaporas berada di barisan depan karena laki-laki dan anak muda diintai polisi.
“Banyak intel mengintai anak-anak muda, sedikit saja mereka berbicara lantang, mereka siap menangkapnya,” katanya.
Nurinda dan perempuan adat Siria-ria lainnya menyadari keterlibatan mereka dalam perlawanan bakal ikut menjadikan mereka sebagai korban intimidasi dan kriminalisasi. Namun, ia tidak peduli.
Pada pertengahan Mei lalu, lutut Nurinda terluka karena ditabrak sepeda motor saat berusaha melerai perseteruan antara suaminya, Jonni Ambarita, dengan seorang staf TPL yang menolak meminta maaf atas tuduhan penghinaan terhadap leluhur Masyarakat Adat Sihaporas.
Warga telah melaporkan staf TPL itu atas tuduhan dugaan percobaan penganiayaan itu ke Polres Simalungun, namun tidak ditanggapi.
Nurinda masih terus melawan. Kini, ia menanami lahan yang sempat ditanami eukaliptus oleh TPL dengan jagung. Namun, selama bertahun-tahun lamanya ditanami eukaliptus, kondisi tanah menjadi lebih kering dan lambat menyerap air.
“Tanahnya mengering dan berserak, mungkin karena sudah terlalu lama tanah ini ditanami eukaliptus, yang dulunya adalah hutan,” kata Nurinda.
“Kami mulai dengan jagung. Selain untuk bertahan hidup dari tanah ini, menanam di lahan ini juga sebagai cara kami untuk mempertahankan tanah (leluhur dari suaminya) ini.”
III
Di Desa Siria-ria, Ompu Samuel Boru Lubis (69), merenungi perjuangan yang pernah dilakukan untuk tanah adat mereka.
“Di usia yang sudah tua begini, tak bisa lagi kerja lama-lama. Badan sudah cepat capek, tetapi daripada hanya berdiam diri di rumah, saya pergi ke ladang,” katanya dalam bahasa Batak dengan aksen yang begitu khas.
Ompu Samuel kini mengisi waktunya dengan pergi ke ladang dan memetik andaliman. Saat ditemui di rumahnya, pertengahan Mei lalu, ia baru saja pulang dari ladang dan membawa sekitar dua kilogram andaliman dan beberapa buah terong Belanda. Andaliman itu sudah dipesan oleh pembeli sehari sebelumnya.
Ompu Samuel ialah salah satu perempuan adat Desa Siria-ria, yang ikut berjuang bersama puluhan perempuan adat untuk mempertahankan tanah adatnya dari klaim negara melalui program reboisasi tahun 1963.
“Ah, ngerilah kalau mengingat peristiwa itu. Bayangkanlah satu kampung tidak ada laki-lakinya, hanya perempuan yang tertinggal, para suami terpaksa bersembunyi karena diincar polisi, kalau ditangkap mereka akan dipukuli dan dipenjara,” katanya.
Empat warga meninggal dalam berbagai protes panjang.
Menurutnya, bukannya laki-laki tidak melawan. Pengerahan aparat dan penangkapan para laki-laki di kampung memaksa mereka untuk bersiasat.
”Kalau terus menerus laki-laki diintimidasi, ditangkap, maka kami hanya akan sibuk berhadapan dengan polisi minta mereka dilepaskan. Dari situ kami berpikir, lebih baik mereka bersembunyi saja, biar kami saja yang berjuang, mana mungkin mereka akan menangkap kami, dan memukuli kami kalau kami melawan,” katanya ditemani seorang rekannya, Boru Munte.
Bulher Lumbangaol (70), suami Ompu Samuel, ketika itu, setiap laki-laki yang bersuara lantang akan langsung ditangkap.
“Saya saat itu, setelah lama sembunyi di tombak haminjon (hutan kemenyan), akhirnya lari ke Tanjung Leidong,” kata Bulher.
Beberapa potongan kisah yang masih melekat di dalam memori Ompu Samuel adalah ketika berjalan sepanjang 80 kilometer dari Siriaria ke Tarutung, pusat pemerintahan Tapanuli Utara pada masa itu. Selain menuntut pengembalian tanah adat, mereka juga mendesak agar warga yang ditahan dibebaskan polisi.
Para perempuan pergi membawa bekal seadanya, dan ketika mereka ingin membeli makanan dan minuman dari kedai, polisi melarang penjual untuk menjual dagangannya kepada mereka.
“Pedagang juga diancam supaya jangan jual makanan kepada kami, supaya kami lapar, lelah, menyerah dan pulang,” katanya.
Mereka tak mundur. Mereka mendatangi kantor-kantor pejabat yang bisa mereka tuntut, termasuk kepolisian. Jawaban yang sering mereka dengar dari polisi adalah, “Sudahlah, tak akan mampu kalian melawan negara ini.”
Aparat terus mengintimidasi. “Bahkan ada teman kami yang dimasukkan ke bak berisi air, kepalanya ditenggelamkan karena terus melawan,” katanya.
Suatu kali saat sedang berorasi, seorang polisi menodongkan senjara laras panjangnya kepada seorang perempuan. Mengetahui dirinya dalam ancaman, perempuan tersebut bukannya takut dan menghindar dari moncong senjata, tetapi malah merampasnya dan membawanya pulang.
Ompu Samuel dan para perempuan lainnya bersikeras menahan senjata itu saat polisi ingin mengambilnya kembali. “Kami katakan, silakan tembak saja kami, kami sudah siap mati, jika kalian ingin senjata ini kembali, maka kembalikan tanah kami.”
Peristiwa itu tersiar cepat, tidak hanya di desa ketika mereka kembali pulang, tetapi juga di kalangan polisi, bahkan cerita itu terdengar sampai ke Gubernur Sumatera Utara saat itu, EWP Tambunan.
Buah perjuangan mereka itu dicapai pada tahun 1979, saat Bupati Tapanuli Utara mengeluarkan SK No.138/Kpts/1979 tentang Pengakuan Tanah Adat Penduduk Siria-Ria atas areal Sigende, Parandalimanan, Parhutaan, Adian Padang dan Sipiuan seluas 794,6 hektare.
Warga yang ditahan itu juga akhirnya dibebaskan.
“Perjuangan kami tak sia-sia saat itu,” kata Ompu Samuel.
Tetapi kini tanah adat yang sudah mati-matian mereka klaim menemui masalah ketika pemerintah membuka program lumbung pangan alias food estate di Siria-ria. Sebagian lahan mereka diklaim sebagai kawasan hutan negara berdasarkan SK Menhut Nomor 579 Tahun 2014.
“Setelah bertahun-tahun tanah adat kami miliki kembali, kini masalah datang lagi,” katanya.
IV
Serita Siregar (36) belum lahir ketika Ompu Samuel Lubis dan kaum ina Desa Siria-ria, berjuang mempertahankan tanah adat. Tetapi perjuangan itu telah menjadi cerita legenda di desa mereka.
“Ibuku keguguran saat itu, sementara bapak bersembunyi di hutan karena saat itu tengah diincar polisi,” kata Serita yang berprofesi sebagai petani.
Suami Serita meninggal dua tahun lalu. Bersama dua putrinya yang masih kecil, Serita kini tinggal bersama kedua orangtuanya. Terlahir dalam hukum adat Batak yang menganut patrilineal, yang mana ahli waris dan penerus marga adalah laki-laki, membuat Serita tidak memiliki hak atas rumah suaminya.
Meski begitu, menurut Serita hukum adat Siria-ria telah menetapkan bahwa dalam perjuangan klaim tanah adat, perempuan juga mendapatkan hak yang sama atas tanah adat yang diperjuangkan.
“Kalau rumah, memang bila mengikuti hukum adat diwariskan kepada anak laki-laki bungsu, tetapi dapat juga ditempati anak perempuan tetapi tidak bisa dikuasainya, rumah itu menjadi rumah warisan yang dimiliki bersama, atau orang Batak menyebutnya ‘jabu parsaktian’,” katanya.
Upaya untuk mengklaim kembali tanah adat cukup menguras energinya. Ia selalu berusaha untuk tidak ketinggalan mengikuti rapat penyelesaian masalah tanah adat di kantor desa. Sejak tanah adat diklaim sebagai hutan negara, warga berupaya menguasai kembali dengan menanaminya. Namun belakangan polisi melarang kegiatan itu.
Upaya hukum juga telah mereka tempuh dengan menunjukkan SK pengakuan tanah adat. Namun, pemerintah kabupaten tidak mengakui karena surat yang mereka miliki dalam bentuk salinan. Padahal, warga telah mendapatkan legalitas atas surat salinan itu dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi (LHK) Sumatera Utara di Medan.
“Jika di tingkat provinsi surat ini diakui, pihak pemerintah Kabupaten Humbahas tidak mau mengakuinya? Ada apa dengan pemerintah kabupaten Humbahas, apakah ingin menguasai lahan adat kami secara sepihak?” katanya.
Tercecernya SK asli menjadi masalah yang selalu dibawa-bawa pemerintah kabupaten. Menurut warga, SK asli itu pernah diberikan warga kepada seorang pejabat di kantor pertanahan sebagai surat jaminan untuk izin mengambil kayu pinus dari wilayah hutan Siria-ria.
Jika pemerintah selalu mempertanyakan surat aslinya, kata Serita, seharusnya tidak sulit untuk mendapatkannya.
Serita juga menilai pemerintah kabupaten mencoba melakukan pembodohan dengan narasi yang mengatakan tanah yang sudah terlantar atau tidak dikelola dalam waktu lama, maka tanah itu adalah tanah negara.
“Kami tidak paham dasar hukum apa yang mengatakan apabila tanah adat yang tidak dikelola akan dianggap sebagai tanah terlantar yang dapat diambilalih oleh negara, itu dari mana jalannya?” katanya.
Epilog
Ketika banyak orang Batak yang bangga menyanyikan lagu O Tano Batak, Rosmawati justru bersedih ketika mendengar lagu itu.
“Kenapa sampai sekarang kami belum bisa merasakan secara nyata apa yang dikatakan dalam lagu itu? Sampai sekarang kami masih seperti dijajah, masih terus berjuang untuk mempertahankan tanah adat kami,” katanya.
Ia tak lagi bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa terus berharap perjuangan mereka segera berakhir dan dapat tinggal di tanah adat dengan tenang dan merdeka.
”Seharusnya di usia saya sekarang ini saya sudah bebas, tidak lagi berjuang,” katanya.
Begitu juga Ompu Samuel Lubis. Ia menaruh harapan pada generasi muda untuk melanjutkan perjuangan mereka.
Bagi Serita, ia akan terus memperjuangkan hak adat yang tidak bisa diambil sepihak oleh negara. Merujuk pada putusan MK 35 tahun 2012, tanah adat bukan tanah negara.
“Tetapi kenapa tanah adat kami bisa menjadi tanah negara?” katanya.
Sementara untuk Nurinda, ikut berjuang bersama kaum laki-laki adalah bagian dari tanggung jawab komunitas adat. “Kami tak bisa lagi hanya membiarkan laki-laki berjuang, karena yang kami pertahankan adalah tanah adat peninggalan leluhur kami, tempat kami hidup,” katanya.
Baginya, tanah adat mereka bukan hanya warisan leluhur yang harus dijaga, tetapi juga sumber kehidupan mereka.
”Jika tanah kami diambil, sama saja mengambil hidup kami,” tukas Serita.
Cerita perjuangan perempuan adat Desa Siria-ria dikutip dari jurnal Lembaran Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang ditulis oleh Lasron P. Sinurat dengan judul, “Gerakan Agraria di Tapanuli Utara Awal Orde Baru (1971-1979).”
Laporan ini merupakan bagian dari serial #MasyarakatAdat
*Artikel ini telah tayang di Project Multatuli dengan judul “Harusnya kami tak lagi berjuang”: Kisah Perempuan Batak yang Kembali Melawan Demi Tanah Adat, Klik untuk baca: https://projectmultatuli.org/harusnya-kami-tak-lagi-berjuang-kisah-perempuan-batak-yang-kembali-melawan-demi-tanah-adat/