Toba, 15 Agustus 2025 — Ratusan massa dari berbagai elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL (AGRTT) mendatangi Kantor Bupati Toba. Mereka menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Kabupaten Toba atas tindak kekerasan yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap Masyarakat Adat Natinggir, Dusun Natinggir, Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba.

Aksi demonstrasi ini merupakan respon atas peristiwa penyerangan yang terjadi pada 7 Agustus 2025, di mana masyarakat adat Natinggir mengalami intimidasi, kekerasan, serta perusakan akibat upaya penanaman paksa yang dilakukan PT TPL di wilayah adat mereka. Penanaman paksa ini tidak hanya menimbulkan kerugian fisik dan material, tetapi juga melukai martabat masyarakat adat yang sejak turun-temurun menjaga dan mengelola tanah leluhurnya.
Sebelumnya, pada 9 Agustus 2025, Wakil Bupati Toba, Audhy Murphy Sitorus, datang Desa Simare untuk melakukan mediasi. Namun hasil mediasi yang digagas Pemkab Toba tersebut mengecewakan masyarakat, karena Wakil Bupati hanya menyebut bahwa peristiwa 7 Agustus hanyalah “kesalahpahaman antardusun”. Mediasi itu tidak menyentuh akar persoalan
Tidak lama berselang, 11 agustus Agustus 2025, PT TPL kembali mengerahkan karyawannya untuk melanjutkan penanaman paksa di wilayah adat Natinggir. Padahal, situasi masih tegang pasca insiden sebelumnya. Hal ini mempertegas bahwa mediasi yang difasilitasi pemerintah daerah tidak memiliki kekuatan nyata dalam menghentikan tindakan sepihak perusahaan.
Desakan semakin kuat datang dari masyarakat sipil. Akhirnya, pada 13 Agustus 2025, Wakil Bupati Toba mengeluarkan surat instruksi kepada PT TPL untuk menghentikan penanaman paksa. Namun, instruksi tersebut tidak diindahkan. PT TPL tetap melanjutkan aktivitasnya, seolah-olah tidak ada aturan dan tidak menghormati otoritas pemerintah daerah.
Merasa tidak ada jalan lain, masyarakat Natinggir bersama ratusan aktivis dan elemen gerakan rakyat akhirnya bersepakat untuk menggelar aksi demonstrasi di Kantor Bupati Toba pada 15 Agustus 2025. Aksi dimulai sekitar pukul 10.30 WIB.

Salah satu orasi yang disampaikan oleh Raulina Boru Sitanggang, warga Natinggir. Dengan suara lantang, ia menyuarakan jeritan dan derita masyarakat akibat kesewenang-wenangan PT TPL. Namun, saat ia masih berbicara, seorang anggota Satpol PP mencoba merampas pengeras suara darinya. Tindakan itu sontak memicu kemarahan massa, yang kemudian mengerumuni aparat tersebut sebagai bentuk protes.
Meski sempat terjadi ketegangan, massa tetap bertahan dengan tertib, menunggu kehadiran Bupati Toba. Sekitar beberapa jam kemudian, Bupati Toba, Efendi Napitupulu, bersama Wakil Bupati, Kapolres Toba, dan Kepala Kejaksaan Negeri Toba akhirnya menemui massa. Setelah berdialog singkat di lapangan, perwakilan warga dan aktivis kemudian dipersilakan masuk ke kantor Bupati untuk menyampaikan tuntutan secara resmi.
Dalam pertemuan tersebut, massa menyampaikan empat tuntutan utama, yaitu:
- Mendesak Bupati Toba segera menyurati Menteri Kehutanan agar mencabut izin konsesi PT TPL.
- Mendesak Pemerintah Kabupaten Toba turun langsung ke lokasi konflik untuk menghentikan penanaman paksa di wilayah adat Natinggir.
- Meminta Pemerintah Kabupaten Toba mempercepat proses pengakuan wilayah adat, sesuai dengan usulan yang sudah diajukan sebelumnya, seperti Pomparan Ompu Nasomalomarhohos Pasaribu–Natinggir, Ompu Raja Enduk Pasaribu–Lintong, Ompu Sunggu Barita Pasaribu–Janji Maria, Ompu Duraham Simanjuntak–Natumingka, Ompu Raja Martonggo Samosir–Simenakhenak, Huta Sigalapang, serta komunitas masyarakat adat lainnya.
- Mendesak aparat penegak hukum segera menangkap pelaku kekerasan, perusakan rumah dan sepeda motor, serta penjarahan warung milik warga Natinggir.
Setelah pertemuan dengan perwakilan aksi, Bupati Efendi Napitupulu kembali menemui massa dan menyampaikan beberapa poin kesepakatan. Pertama, dalam waktu satu minggu, Bupati berkomitmen untuk berdiskusi dengan manajemen PT TPL agar menghentikan penanaman paksa, setidaknya di wilayah yang selama ini dikelola warga Natinggir. Kedua, pada bulan September, Bupati akan membentuk tim verifikasi untuk melakukan identifikasi dan verifikasi wilayah adat yang ada di kawasan konsesi PT TPL, sebagai dasar terbitnya SK Bupati tentang pengakuan wilayah masyarakat adat.