Sudah menjadi agenda rutin, setiap awal tahun, Serikat Tani Toba (ST Toba), melakukan pertemuan Bona Taon (awal tahun). Kegiatan awal 2023, diawali dengan pertemuan Bona Taon, Rabu, 1 Februari 2023 di Sopo KSPPM Porsea sekaligus Sekretariat ST Toba. Pertemuan ini menjadi wadah bagi anggota ST Toba untuk merefleksikan perjalanan setahun ST Toba dan merumuskan apa yang harus ditindaklanjuti di tahun 2023.
Diskusi awal tahun kali ini, menjadi lebih istimewa, karena Eliakim Sitorus, Anggota KSPPM yang saat ini juga menjadi Badan Internal Audit KSPPM turut hadir dalam refleksi tahunan tersebut.
Sebagai pembuka, Nando Samosir staf KSPPM mengingatkan kembali bahwa Oragnisasi Petani sebagai tempat belajar dan berbagi pengalaman atau pengetahuan dengan sesama anggota. Organisasi juga sekaligus menjadi alat perjuangan dalam pemenuhan hak-hak petani.
Dia juga menyinggung kondisi petani di Toba saat ini, yang memiliki permasalahan dan tantangan yang sama, belum merasakan implementasi UU 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU P3). Harusnya, tanpa desakan dari organisasi masyarakat sipil, Pemerintah Daerah segera menerbitkan Peraturan Daerah turunannya, karena itu merupakan amanah undang-undang. Apalagi selama ini, Pemkab Toba selalu menyatakan mendukung petani di Kabupaten Toba. Tanpa adanya Perda Pemberdayaan dan Perlindungan Petani tersebut, dukungan tersebut hanyalah slogan semata. Padahal UU P3 tersebut sudah 10 tahun sejak diterbitkan.
“Bagaimana sikap kita sebagai petani, apakah kita hanya menunggu?”, tanya Nando membuka diskusi siang itu.
“Tentu untuk mencapai tujuan bersama, dibutuhkan kesatuan, komitmen dan tentunya mau belajar bersama petani itu sendiri. Tanpa itu semua kita akan tetap menjadi korban. Petani yang tergabung dalam Serikat Tani Toba ini adalah korban sependeritaan dan sepenanggunan, untuk itu kita tidak boleh hanya berdiam di tempat dengan persoalan yang kita hadapi saat ini. Keberanian dan kita harus jemput bola adalah jalan untuk mendapatkan keadilan tersebut,” kata Benget Sibuea
Diskusi semakin hangat, beberapa petani sharing tentang tantangan besar petani saat ini yang semakin hari semakin menderita. Biaya produksi yang cukup mahal sementara harga komoditas pertanian tidak adil dan cenderung merugikan petani. Pupuk mahal dan langka serta perubahan iklim yang semakin ekstrim, membuat hama tanaman semakin sulit diatasi dan petani seringkali gagal panen.
Seperti yang disampakaikan oleh Ibu Lusi, Ketua Kelompok Tani Sauduruan, bahwa hasil panen padinya tahun ini menurun drastis, akibat hama tikus yang tidak teratasi dan waktu serta pola tanam yang berubah akibat iklim yang semakin ekstrim. Dengan raut wajah sedih dan terbata-bata, dia menambahkan, “Yang diuntungkan, hanya petani pemodal besar, tetapi petani kecil seperti kami yang mengandalkan tenaga cangkul, hanya bisa pasrah karna tidak bisa membayar teknologi canggih yang berkembang saat ini. Jika kami memaksakan diri pun menyewa teknologi pertanian, tentu hasilnya tidak sebanding dengan biaya yang kami keluarkan. Kami sangat berharap pemerintah serius memperhatikan petani kecil seperti kami agar bisa hidup.”
“Petani harus pintar dan berani, itu prinsip yang harus dipegang oleh petani. Kenapa petani hingga saat masih belum berdaulat dan sejehtera? Karna kita masih dianggap sebelah mata oleh pemerintah. Sehingga mulai dari pendahulu kita sampai saat ini, kehidupan petani tidak berubah, malah semakin menderita”, jelas Eliakim Sitorus untuk menyemangati Anggota ST Toba.
Dia melanjutkan bahwa pola pikir petani juga harus berubah, dari objek menjadi pelaku perubahan. Nasib petani hanya bisa diubah oleh petani itu sendiri. Keberanian yang dipadu dengan kepintaran menjadi modal petani untuk merubah sistem yang tidak adil ini. “Untuk itu mari kita bangun organisasi petani yang kuat untuk memperjungkan hak-hak petani. Saat ini banyak kemudahan-kemudahan informasi yang bisa kita manfaatkan dengan baik untuk kemajuan petani”, imbuh Eliakim Sitorus.
Dalam acara refleksi tersebut, semua anggota ST yang hadir sepakat untuk lebih berani dan lebih pintar kedepannya menghadapi tantangan yang semakin besar. Organisasi menjadi wadah mereka untuk memperjuangkan hak-haknya.
Refleksi tahunan ST Toba tersebut, juga menjadi refleksi mendalam bagi penulis. Selama ini, Indonesia digadang-gadang sebagai Negara Agraris. Tidak hanya karena luasnya lahan pertanian, tetapi juga karena mayoritas penduduknya adalah petani. Sayangnya, kealpaan pemerintah dalam memenuhi hak-hak petani, membuat sektor pertanian semakin hari semakin ditinggalkan. Generasi muda desa, sudah enggan melanjutkan pertanian orang tuanya. Kaum muda tani lebih tertarik menjadi buruh di pabrik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2021, sebanyak 55,5% pemuda bekerja di sektor jasa. Persentasi itu telah meningkat 9,87% dari satu dekade sebelumnya, yakni sebesar 45,93%. Sementera, di tahun yang sama, pemuda yang bekerja di sektor pertanian hanya 19,18 %, angkanya menurun 10% dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 29,18%. (https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/krisis-petani-muda-di-negara-agraris)
Rendahnya minat anak muda menjadi petani disebabkan sektor ini tidak menjanjikan keuntungan ekonomi yang berarti dibandingkan sektor lainnya. Kondisi saat ini, petani selalu rugi, petani merasa sendirian menanggung resiko pertanian mereka. Kebijakan pembangunan yang ada cenderung mengabaikan hak-hak petani. Perampasan tanah atas nama pembangunan masih terus berjalan, menambah berbagai persoalan petani yang disebutkan di atas.
Petani bisa sejahtera, sebagaimana diamanatkan UU PA 50 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, setidaknya memiliki lahan pertanian dua hektar per keluarga. Kenyataannya di Toba, saat ini banyak petani yang memiliki tanah di bawah setengah hektar.
Lahan yang sempit, tingginya biaya input eksternal (pupuk, pestisida, bibit dan teknologi), harga yang tidak adil, gagal panen karena perubahan iklim, hama pertanian yang semakin banyak dan ancaman perampasan tanah, seperti lingkaran setan yang menghantui kehidupan petani.
Melihat posisi petani yang sangat penting, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pangan bangsa ini, sudah sepatutnya pemerintah lebih serius membantu petani, mengupayakan pemberdayaan dan perlindungan yang maksimal. Masa depan pertanian di Toba ditentukan oleh kebijakan pertaniannya. Salah satu cara menyelamatkan masa depan pertanian di Toba adalah dengan menerbitkan Perda Pemberdayaan dan Perlindungan Petani.***