Secara historis, eksploitasi manusia dan sumber daya alam di Indonesia dapat dilihat mulai zaman pra-kolonial, hingga berawal dan berakhirnya kolonialisasi. Sejak masuknya kolonialisme ke Nusantara, penjajah menempatkan manusia dan sumber daya alam sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi secara massif untuk memenuhi kepentingan penguasa kolonial, tuan tanah feodal, dan para pemodal. Untuk melancarkan hal itulah, segala perangkat hukum dan kebijakan dikerahkan.
Artinya, selama ratusan tahun rakyat Indonesia ditundukkan oleh perangkat hukum yang memuluskan penghisapan tenaga kerja dan eksploitasi sumber daya alam. Ratusan tahun pulalah, ketimpangan agraria dan kemiskinan menjangkiti kita. Perampasan tanah, kerja paksa, hingga kemiskinan ekstrem menjadi hal jamak ditemui di Indonesia era kolonial. Momentum kemerdekaan Indonesia tahun 1945 merupakan satu titik balik bagi Indonesia untuk mengakhiri segala bentuk penghisapan manusia atas manusia dan manusia atas sumber daya alam. Reforma Agraria, disiapkan menjadi senjata yang siap memusnahkan segala bentuk ketimpangan dan kemiskinan. Ia didesain dalam sebuah rangkaian peraturan mulai dari konstitusi, undang-undang, hingga kebijakan untuk merombak struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam menjadi lebih berkeadilan.
Proyek besar ini dapat dilihat prosesnya dengan tertuangnya suatu ketentuan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Berselang 15 tahun kemudian, cita-cita reforma agraria disempurnakan melalui UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-undang inilah yang kemudian menjadi dasar bagi negara (pemerintah) dan rakyat untuk menjalankan reforma agraria. Berselang 3 tahun kemudian, melalui Kepres No.169 Tahun 1963, Presiden Sukarno menetapkan tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional. Dan berkumpulnya kita di sini adalah untuk menyambut hari itu, hari raya kita kaum tani. Presiden Sukarno dalam pidatonya “Jalannya Revolusi Kita (Djarek)” mengatakan bahwa revolusi Indonesia tanpa reforma agraria adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omongan besar tanpa isi.
Jelas bahwa sejak awal kemerdekaan, reforma agraria dimaksudkan sebagai basis untuk pembangunan nasional dan pondasi untuk membangun industri nasional yang kuat dan mandiri. Namun, cita-cita reforma agraria ini kemudian tenggelam dari rezim ke rezim. Motif kolonial dalam hal penguasaan tanah dan sumber daya alam terus-menerus terulang. Hak menguasai seperti tertuang dam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 disalah-tafsirkan untuk memuluskan kepentingan penguasa. Penguasaan rakyat atas ruang hidupnya dilucuti.
Fakta ini kemudian diikuti dengan berbagai peraturan dan kebijakan yang mengembalikan kita pada rezim agraria kolonial. Undang-Undang Cipta Kerja diikuti berbagai peraturan turunannya memudahkan negara dan klien bisnisnya berbuat semaunya terhadap manusia dan sumber daya alam Indonesia. Kemudahan izin, perpanjangan masa konsesi, hingga proyek strategis nasional adalah contoh bagaimana kini pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak bisa ditolak oleh rakyat.
Kondisi terkini tidak bisa dilepaskan dari terjerumusnya Indonesia dalam sistem kapitalisme global. Dalam sistem ini, Indonesia berada dalam situasi yang menempatkannya sebagai negara penghutang. Dengan dana hutang ini pemerintah kemudian meluaskan penguasaan negara atas tanah-tanah kehutanan, konsesi-konsesi pertambangan, merevitalisasi perkebunan, dan kemudian mengembangkan kawasan industri dan permukiman. Situasi ini menimbulkan konflik agraria dalam skala luas dan berlangsung massif. Hampir semua pihak terlibat dalam konflik ini. Pemerintah dengan masyarakat, pangusaha dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat dan berbagai varian lainnya. Konflik ini berdampak pada munculnya beragam masalah terhadap masyarakat, khususnya terhadap masyarakat adat sering terjadi kriminalisasi, intimidasi dan tindak kekerasan dari pemerintah dan perusahaan.
Ketimpangan struktur agraria tentunya tidak hanya menghasilkan konflik tetapi juga merupakan basis bagi permasalahan kemiskinan di pedesaan. Menurunnya jumlah petani secara nasional juga disebabkan oleh perampasan tanah yang dilakukan oleh Perusahaan dan negara secara massif. Dan jangan pernah luput dari pandangan kita, tentang timbulnya relasi buruh-majikan di pedesaan, yang merupakan pewujudan dari ketimpangan agraria itu sendiri. Kemiskinan di juga diakibatkan oleh semakin terkomersialisasinya penghidupan petani. Petani harus terlibat ke dalam sistem pasar dan harus memproduksi komoditas untuk bisa bertahan. Untuk melakukan produksi pertanian, petani harus membeli input pertanian yang harganya tak murah. Harga jual komoditas pertanian yang relatif rendah juga menjadi tantangan berat bagi petani untuk melanjutkan usaha pertaniannya.
Kita tilik ke tingkat lokal. Di Kabupaten Samosir, petani adalah profesi dominan. Itu artinya, hampir semua warga Samosir bergantung pada hasil pertanian untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan hidupnya. Mudah dipahami, seharusnya pemerintah menomorsatukan pertanian dalam setiap kebijakan dan tindakannya. Namun kecemasan tetap kita dapati, tatkala keindahan yang dimiliki daerah kita ini justru berpotensi menyingkirkan kita melalui proyek pariwisata.
Pembangunan pariwisata besar-besaran sah-sah saja, asalkan pengembangan pertanian telah berhasil, dan para petani dan masyarakat adat tidak disingkirkan dari ruang hidupnya. Namun bukan itu yang terjadi, petani Samosir masih terseok-seok sementara kucuran dana dari pusat dan daerah mengalir deras ke pembangunan pariwisata. Jika pun pariwisata terbangun mewah dan megah, apa gunanya jika harus merampas wilayah adat dan lahan pertanian kita? Terlihat misalnya dari peraturan tentang sempadan danau dan sungai. Ia mengaku ingin melindungi lingkungan hidup dan mencegah bencana, tetapi mengapa pariwisata dibolehkan sementara seluruh kegiatan petani dilarang?
Setelah tanah dirampas dari petani, tidak ada pilihan lain baginya selain menjadi pekerja rentan di sektor pariwisata. Pariwisata yang malah menyingkirkan pertanian hanya akan membawa petani dari satu penderitaan ke penderitaan yang lebih parah lagi. Kita juga melihat persoalan hak atas tanah masyarakat adat. Hingga kini, kabupaten yang secara historis merupakan asal-mula suku batak ini belum memiliki Peraturan Daerah yang mengakui dan melindungi masyarakat adat. Ini sangat konyol dan merugikan masyarakat adat yang hingga kini tanahnya masih diklaim oleh negara. Bagaimanapun, di samping identitas sebagai masyarakat adat, kami juga adalah petani. Artinya, ketidakjelasan hak atas tanah adalah ancaman bagi pemenuhan kebutuhan hidup, dan pada saat yang sama adalah bentuk penggusuran masyarakat adat secara perlahan.
Lagipula, jika kita berbicara mengenai perlindungan lingkungan hidup, memberi tak atas tanah kepada masyarakat adat adalah opsi yang strategis. Alih-alih melindungi lingkungan hidup dengan cara melarang ini-itu dan menyingkirkan petani, membagi tanggungjawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kepada kearifan lokal masyarakat adat tentu jauh lebih baik dan berkeadilan. Tidak ada guna lingkungan hidup yang lestari, tanpa keadilan
agraria. Dari semua fakta di atas, kami mendesak pemerintah pusat dan kabupaten Samosir mendukung petani dengan segala daya upaya. Lindungi dan berdayakan kami, bantu kami memangkas modal pertanian, dan pastikan industrialisasi pertanian berjalan di Kabupaten Samosir.
Percayalah, jika industrialisasi pertanian telah berhasil, ia akan mampu menopang sektorsektor lain di sekitarnya. Karena itulah, reforma agraria juga harus diterjemahkan melalui kehadiran pemerintah pusat hingga daerah melalui peraturan dan kebijakan yang melindungi dan memberdayakan petani.
Pemerintah Kabupaten Samosir dan lembaga legislatif harus bekerja keras untuk segera menerbitkan instrumen hukum dan kebijakan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat. Semua yang kami sampaikan di atas, bukanlah sekadar rengekan. Hal-hal yang kami jabarkan, merupakan hasil kajian, pikiran, dan diskusi antar petani, masyarakat adat, hingga kelas pekerja lintas daerah di seluruh kabupaten Samosir.
Menyambut Hari Tani Nasional dan 64 Tahun UUPA melalui pernyataan ini kami menuntun Pemerintah Kabupaten Samosir untuk memahami secara lebih baik apa itu reforma agraria, dan mengajak untuk bersama-sama mewujudkannya.
Pangururan, 20 September 2024.
Atas nama petani, masyarakat adat, dan kelas pekerja Kabupaten Samosir.