Belajar dari Kasus Pandumaan-Siputuhuta
Pada pertengahan Desember 2016, suara Amang James Sinambela begitu riang di telepon, ketika saya beritahu bahwa mereka diundang ke istana untuk menerima SK Pencadangan Hutan Adat yang sudah mereka perjuangkan sejak Juni 2009. Laki-laki yang kesehariannya sangat serius dan tegas ini pun terdengar ringan bicara, menanyakan apa yang harus mereka persiapkan ke istana. Di hari Natal, saat semua toko tutup, kami pun pergi mencari ulos untuk diberikan kepada Presiden, sebagai bentuk rasa terima kasih atas kembali tombak adat (hutan adat) mereka. Semua bergembira, sepuluh perwakilan masyarakat berangkat ke Jakarta.
Tepatnya 30 Desember 2016, mereka pun menerima SK 923/Menlhk/Sekjen/HPL.O/12/2016 tentang perubahan kelima atas keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.493/KPTS-II/1992, 1 Juni 1992, tentang Pemberian Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri kepada PT Inti Indorayon Utama. Dalam SK tersebut ditegaskan bahwa “Areal seluas 5.172 (lima ribu serratus tujuh puluh dua ) hektar yang dikeluarkan dari konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) dialokasikan untuk hutan adat Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta”.
SK yang langsung diberikan oleh Presiden Joko Widodo tersebut kepada perwakilan masyarakat adat menjadi kado akhir tahun bagi masyarakat adat di Indonesia secara umum dan secara khusus bagi masyarakat adat di Tano Batak. Semua menyambut dengan gembira.
Sayangnya, pemberian SK Pencadangan Hutan Adat langsung oleh Presiden tersebut tidak berarti bahwa semua berjalan mulus. Ada banyak hal yang harus dilalui lagi, ibarat mendaki gunung yang terjal, masih ada gunung lainnya yang tertutup kabut. Banyak keanehan dan keganjilan, bahkan satu hal yang sangat tidak masuk akal, yang saya tidak akan menuliskan dalam tulisan ini. Tetapi kejadian menguatkan pandangan saya bahwa, di balik slogan keberpihakan terhadap masyarakat adat, ada tangan-tangan tersembunyi, entah untuk kepentingan siapa, yang tidak rela mengakui dan melindungi hak masyarakat adat di negara ini khususnya di Pandumaan-Sipituhuta (Tano Batak).
Karena peristiwa yang janggal tersebut, kemudian KLHK merevisi SK yang diberikan oleh Presiden Jokowi tersebut. Pada April 2017, diterbitkanlah SK 179/Menlhk/Sekjen/HPL.O/4/2017 tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.493/KPTS-II/1992, 1 Juni 1992, tentang Pemberian Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri kepada PT Inti Indorayon Utama. Revisi keenam ini untuk menguatkan apa yang dibacakan Presiden Jokowi di Istana pada 30 Desember 2016.
Selesaikan persoalan setelah itu? Awalnya, kami berfikir begitu dengan asumsi bahwa yang menyerahkan SK adalah Presiden langsung, artinya jajaramn yang dibawahnya akan menindaklanjuti dengan sendirinya. Tapi, kenyataannya, setelah terbit SK tersebut, perjalanan semakin panjang. Butuh waktu empat tahun untuk mendapatkan SK Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta. Tidak bermaksud meniadakan upaya yang dilakukan Pemkab Humbang Hasundutan untuk menerbitkan Perda Pengakuan dan Pelrindungan Masyarakat Adat di Pandumaan-Sipituhuta, namun proses Perda tersebut menghabiskan waktu tiga tahun.
Siapakah yang berkepentingan dalam penerbitan Perda tersebut? Jawabnya Eksekutif dan legislatif. Sayangnya, Perda tersebut harus lahir di tengah pertarungan politik antara eksekutif dan legislatif, sehinga prosesnya tertatih-tatih. Lagi-lagi kepentingan rakyat terabaikan oleh pertarungan politik di tingkat daerah.
Paska Perda tentunya masih ada verifikasi oleh tim Verifikasi yang dibentuk oleh KLHK. Rekomendasi tim yang bekerja pada pertengahan sampai akhir Agustus 2020, sesuai dengan usulan masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta. Sayangnya, lagi-lagi dalam SK 8172/Menlhk-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2020 tentang Penetapan Hutan Adat Tombak Pandumaan-SIpituhuta yang ditetapkan hanya sekitar 2.393 hektar. Sekitar 2.051 hektar lagi dialokasikan untuk Program Ketahanan Pangan.
Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta mengapresiasi terbitnya SK Hutan Adat tersebut, namun tetap mendesak agar pihak KLHK merevisi SK tersebut dengan memasukkan seluruh hutan adat Pandumaan-Sipituhuta sesuai SK Bupati Humbang Hasudutan. Merekamenolak wilayah adat mereka dialokasikan untuk Program Ketahanan Pangan. Anehnya lagi, pihak KLHK mengatakan usulan ketahanan pangan merupakan usulan pemerintah Kabupaten. Di sisi lain Pihak Pemerintah Kabupaten menyangkal kalau mereka mengajukan areal Pandumaan-Sipituhuta menjadi Areal Ketahanan Pangan.
Solusinya kala itu, Masyarakat Adat didampingi KSPPM memberikan bukti-bukti baru bahwa areal yang diperuntukkan untuk Ktahanan Pangan tersebut adalah benar-benar hutan kemenyan, bukan semak belukar seperti yang sebutkan beberapa pihak. Sehingga tidak tepat diganti menjadi tanaman pangan. Protest disampaikan melalui surat dan langsung audiensi ke KLHK di Bulan April 2021. Pada 13 Juni 2021, Menteri KLHK, Ibu Siti Nurbaya Bakar, secara langsung menyampaikan ke perwakilan Masyarakat adat di Inna Parapat akan segera merevisi SK tersebut. Pada 3 Agustus 2021, Bu Siti Nurbaya menepati janjinya dengan menerbitkan SK Nomor 5082/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/8/2021 tentang Perubahan SK 8172/Menlhk-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2020 tentang Penetapan Hutan Adat Tombak Pandumaan-SIpituhuta. Revisi SK ini tentu menjadi kabar gembira bagi masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta. Walau dalam diskusi-diskusi, mereka mengatakan, SK itu hanyalah kertas. Mereka sendiri sertifikat tanah itu sendiri. “Masyarakat Adat itu sendirilah Sertifikat Wilayah Adatnya, Kita Kerjakan tanah kita dengan baik, kita usir perusahaan yang ingin merampasnya”, Kata Pdt. Haposan SInambela dalam diskusi dua minggu lalu di Desa Pandumaan. Ada nada pesimis terkait SK ini, mengingat lika-liku perjalananan perjuangan mereka. Pernyataan Pak Haposan Sinambela, tentunya menjadi pegangan bagi semua masyarakat adat yang berada di Tanah Batak.
Dibutuhkan Keseriusan Pemerintah Kabupaten
Pada pertemuan dengan Menteri Siti Nurbaya di Parapat, 13 Juni 2021 lalu, dengan tegas Bu Siti Nurbaya mengatakan akan segera memproses pengembalian wilayah Adat yang diajukan KSPPM dan AMAN Tano Batak. Tidak berselang lama, Menteri pun langsung membentuk Tim Penyelesaian Konflik untuk menindaklanjutinya. Alhasil ada 23 kasus masyarakat adat yang dijanjikan akan diselesaikan dalam waktu enam bulan ini.
Lima dari antaranya sudah ditepati, sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi pada saat pertemuan empat mata dengan Togu Simorangkir, di Istana, 6 Agustus 2021 lalu. Satu diantaranya adalah SK Revisi Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta. Terkait hal ini yang perlu segera dilakukan adalah Tata Batas Hutan Adat. Sedangkan empat lainnya merupakan SK Pencadangan Hutan Adat. Artinya masih dibutuhkan proses-proses lain, khususnya terkait dengan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Dari empat komunitas masyarakat adat tersebut, satu di Kabupaten Toba, sudah ada Perda tapi belum ada SK Penetapan Subyek dan Obyek dari Bupati. Satu di Kabupaten Tapanuli Utara, sudah ada Perda tapi belum ada SK penetapan Subyek dan Obyek Masyarakat Adatnya dari Bupatinya. Kedua ini akan lebih mudah, jika Bupati jemput bola untuk menetapkannya, apalagi di Kabupaten Toba misalnya, tim identifikasid an verifikasi sudah terbentuk. Yang perlu kerja keras adalah Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Samosir yang saat ini belum ada Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adatnya. Semoga saja dengan terbitnya SK Pencadangan ini, para Bupati dan DPRD-nya menyambut dengan baik dan merespon dengan cepat penerbitan Perda ini.
Hal yang sama terhadap 18 Komunitas masyarakat adat lainnya yang juga harus diselesaikan dengan secepatnya. (Bukan lima belas seperti yang dijanjikan Presiden). Pemerintah Kabupaten sudah saatnya mendukung dan mempemudah proses selanjutnya.
Pengebalian Hutan Adat dan Gerakan Tutup TPL
Perampasan Wialayah Adat yang terjadi selama ini hanyalah salah satu alasan mengapa TPL harus tutup. Tidak berarti segudang persoalan yang timbul akibat kehadiran PT TPL akan selesai dengan pengembalian Hutan Adat. Sehingga ada ratusan alasan mengapa TPL Harus Tutup. PT Toba Pulp Lestari adalah Sumber Bencana Bagi Masyarakat di kitaran Kaldera Toba. Alasan-alasan ini sudah disampaikan langsung oleh Togu Simorangkir kepada Presiden Jokowi. Dokumen ini dipersiapkan oleh tim berdasarkan masukan dari banyak pihak yang melakukan kajian-kajian ilmiah berbasis data-data empiris yang tidak perlu diragukan lagi keilmuannya dan pengetahuannya terkait dengan isu-isu yang dibahas. Ada tim yang mengkaji isu lingkungan, isu masyarakat adat, sosial, ekonomi, pajak, perburuhan, isu pariwisata, pangan dan lainnya. Artinya bahwa alasan mengapa Tutup TPL bukanlah alasan yang mengada-ada.
Temuan Tim di ALiansi Gerak tutup TPL, misalnya, terkait dengan pelanggaran dalam pengelolaan lingkungan hidup, Tim KLHK sudah melakukan kunjungan lapangan pada Juni-Juli 2021, mereka juga menemukan hal yang sama. Di mana, informasi dari KLHK, ditemukan berbagai pelanggaran lingkungan yang membenarkan temuan Tim. Hanya saja, agak-agaknya KLHK hanya akan memberikan sanksi administrasi atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Selain itu perusahaan juga melakukan banyak pelanggaran izin di wilayah konsesinya sendiri. Dan itu telah beralngsung bertahun-tahun. Jika terhadap izin yang diberikan negara mereka pun masih bermain-main, apalagi bagi aturan-aturan yang berlaku di masyarakat local?
Sehingga, untuk memperbaiki Tanah Batak, menjadikan Tanah Batak lestari dan sejahtera, Negara atau tanah Batak tidak mebutuhkan Toba Pulp Lestari. Sekali lagi, janji Bapak presiden dan Ibu Menteri KLHK menyelesaikan konflik Tanah Adat di Tano Batak patut diapresiasi dan didukung. Namun Menutup TPL adalah solusi terbaik menyelamatkan Tano Batak.
(Delima Silalahi)***