“Buruh, tani, mahasiswa, rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia“
Demikian penggalan dari lagu yang biasa dikumandangkan saat aksi massa di jalanan. Kendati tidak asing, tapi belum tentu semua orang mengerti korelasi dan perlunya membangun hubungan antara gerakan buruh dan kaum tani.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, buruh berarti orang yang bekerja di wilayah-wilayah “kasar” seperti kerja bangunan atau pabrik. Intinya, buruh adalah mereka yang tidak memiliki modal untuk mendapatkan hasil, lalu sepenuhnya hanya menjual tenaga untuk mendapatkan upah. Keadaan tanpa modal apapun ini menyebabkan rendahnya nilai tawar para pekerja atau buruh, sehingga berpotensi melahirkan praktek-praktek upah murah.
Seperti yang kita ketahui, dalam Annual Report-nya untuk tahun 2020, PT Toba Pulp Lestari mengumumkan jumlah pekerja sebanyak ± 1.195 orang. Separuhnya berstatus pekerja kontrak atau buruh harian lepas (BHL) yang bekerja langsung memproduksi bahan baku produksi bubur kertas, yaitu bekerja di kawasan konsesi yang ditanami eukaliptus. Pekerjaan pokok mereka adalah menanam, mengurus, memanen dan mengantarkan eukaliptus yang sudah dipanen untuk diproses di pabrik. Artinya, tanpa keberadaan pekerja atau buruh seperti mereka di lahan konsesi, perusahaan tidak berproduksi sama sekali.
Namun, kehidupan mereka sungguh sangat miris, teramat jauh dari hidup yang layak. Para BHL ini memperoleh gaji sebesar Rp 85.000 per hari jika bekerja secara penuh satu harian, yaitu pukul 08.00 -17.00. Jika bekerja satu harian penuh selama 1 bulan, mereka memperoleh Rp. 2.210.000 (85.000 X 26 hari kerja). Tetapi, mustahil bagi mereka mendapatkan upah sebesar itu. Mengapa? Mereka tidak mungkin bekerja secara penuh dalam sebulan mengingat cuaca tidak selalu mendukung. Itu sebabnya pada waktu-waktu tertentu mereka hanya memperoleh setengah dari upah harian yang telah disepakati, ditambah uang jaminan kesehatan untuk para BHL yang sama sekali tidak jelas. Selain itu, alat-alat keselamatan kerja yang mereka pergunakan juga jauh di bawah standar layak.
Dalam situasi itu, para BHL mesti memutar otak dan bersiasat untuk bertahan hidup. Seolah jadi hukum alam, dalam keadaan terdesak maka manusia akan mencari dan menemukan jalan keluar. Para BHL di sebuah konsesi perusahaan dan tinggal di “barak” perumahan di salah satu dusun bisa menjadi contoh. Beberapa dari mereka coba mensiasati sulitnya kehidupan dengan cara bertani.
Bagi para BHL ini, bertani bukanlah hal baru yang asing dan aneh. Kenyataannya, sehari-hari mereka berurusan dengan alat-alat pertanian dan eukaliptus yang harus ditanam, diurus dan dipanen. Pada hari Minggu dan hari libur nasional, mereka mencoba untuk mengelola tanah milik masyarakat setempat yang kebetulan sedang memperjuangkan hak atas tanah adatnya. Para BHL ini memperoleh “setapak” tanah untuk dikelola lewat mekanisme adat, tanpa dipungut uang sepeserpun. Mekanisme adat mengizinkan mereka mengelola, tetapi bisa juga memutuskan mengambil kembali tanah tersebut jika diperlukan. Tentu saja ini merupakan sebuah kesempatan untuk memperbaiki kehidupan para BHL tersebut.
Dalam pembicaraan santai yang biasa saya lakukan, mereka mengaku bahwa mereka menjadi buruh karena keluarga mereka tidak lagi memiliki tanah. Inilah inti masalah mereka dan mestinya menjadi titik tolak untuk mencari solusi atas keadaan hidup mereka yang jauh di bawah layak. Para orang tua dari buruh ini tergusur dan kehilangan mata pencarian utama sebagai petani di tempat asalnya dan terpaksa pergi ke kota untuk mencari pekerjaan dan mengandalkan ototnya untuk dijual sebagai tenaga, lalu berujung menjadi BHL.
Salah seorang dari mereka bernama Jangkung (nama samaran). Sejak diijinkan mengelola tanah di dusun ini, dia dan 9 orang temannya merasa sangat terbantu. Mereka menanam jagung dan jahe. Modal untuk bertani diambil dari tabungan selama ini. Mereka menganggap hasil panen dari tanaman pertanian ini sebagai tabungan keluarga. Pada hari Minggu mereka juga menjual tenaga dengan bekerja di ladang masyarakat asli setempat. Hubungan kerja dan hubungan emosional yang harmonis antara para BHL tak bertanah ini dan rakyat tani yang memiliki tanah cukup luas sungguh contoh yang menarik dan layak dipromosikan ke tempat-tempat lain. Mekanisme adat mengijinkan mereka untuk mendapatkan tanah, dan hal itu menjadi cara efektif untuk menghadapi politik kotor perusahaan yang hendak memecah-belah antara petani dan para buruh ini. Jika ditanya apakah mereka takut jika perusahaan ini tutup, dengan yakin mereka menjawab: tidak. Tetapi para buruh ini berharap, jika suatu saat perusahaan benar-benar tutup, mereka mendapatkan hak atas tanah.
Karena itu, konsolidasi dan persatuan buruh-tani sungguh merupakan keharusan. Demikian juga upaya membangun model ekonomi berbasis rakyat karena buruh dan kaum tani saat ini menghadapi persoalan yang sama, yakni sistem kapitalisme yang terus menggurita. Saat ini kaum tani menghadapi imperialisme di bawah sistem kapitalisme bukan hanya terkait tanah, tetapi juga sarana-sarana penghidupan lainnya yang semakin dimonopoli oleh para pemilik modal besar. Oleh sebab itu, menerjemahkan secara konkret kesatuan gerakan buruh dan tani menjadi tugas penting buat kita semua.**