Pada hari kedua Festival Bumi dan Manusia di Desa Huta Ginjang (Jumat, 20/5/2022), komunitas Masyarakat Adat (MA) diberi kesempatan berbagi pengalaman mengenai perjuangan melindungi hutan adat. Sore itu, seluruh peserta festival mendengarkan cerita pengalaman tersebut dengan seksama.
Masyarakat Adat Si Opat Marga, Bius Huta Ginjang (Rajagukguk, Simare-mare, Aritonang dan Siregar) mengucapkan rasa syukur karena telah menerima SK Penetapan Hutan Adat dari Negara pada awal bulan Februari 2022.
“Kurang lebih enam tahun lamanya kami memperjuangkan wilayah adat kami ini; akhirnya kami mendapatkan apa yang kami cari. Kami telah menerima SK Penetapan Hutan Adat dari Presiden Jokowi”.
Op. Dimas Siregar, salah seorang pengurus komunitas, juga menceritakan bagaimana harus pergi ke Jakarta mewakili komunitas untuk mengurus keperluan administrasi wilayah adat.
“Bukan tidak lelah; perjuangan itu justru lelah sekali. Namun, saya menyadari bahwa semua keringat yang tercucur akan menghasilkan sesuatu yang baik” terangnya.
Suka Duka Komunitas MA Op. Bolus
Jaspayer Simanjuntak, sering disapa Pak Rini, dari Komunitas Masyarakat Adat Op. Bolus juga menceritakan perjuangan komunitasnya.
“Beberapa tahun lalu, Komunitas MA Op. Bolus diajak bekerja sama oleh PT TPL. Bentuknya, kami diizinkan menanam secara tumpang sari dilahan eukaliptus yang sebenarnya adalah tanah adat kami. Kami menanam 6 (enam) kaleng bibit jagung tetapi tidak menghasilkan sebutir jagung pun. Jagung yang kami tanam tidak tumbuh karena semua pupuk yang kami berikan untuk jagung diserap oleh tanaman eukaliptus” jelasnya dengan wajah kecewa karena merasa dirugikan dalam kerjasama tersebut.
Pasca kejadian tersebut, Komunitas MA Op. Bolus memutus hubungan kerjasama dengan pihak perusahaan. Sejak saat itu pula Komunitas MA Op. Bolus menyadari bahwa mereka tidak berdaulat di tanah warisan leluhurnya sendiri.
Beliau juga bercerita bagaimana Komunitas MA Op. Bolus pernah pesimis pada tahun 2008-2015. Mereka tidak melakukan apa-apa sebab tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai hukum, hingga pada tahun 2015 mereka berkenalan dengan KSPPM. Sejak itu KSPPM menyediakan pendampingan hukum dan rutin mengunjungi kampung mereka untuk menyelenggarakan diskusi-diskusi ataupun memberikan motivasi terkait perjuangan mereka.
“Setelah mendapat banyak dari diskusi-diskusi mengenai hukum, kami telah berhasil menguasai kembali 1/3 dari 2608 hektar lahan adat kami. Kami menanaminya dengan semangka dan padi”.
MA Komunitas Op. Bolus membawa hasil panen buah semangka ke Festival Bumi dan Manusia agar seluruh peserta festival turut merasakan hasil panen dari tanah perjuangan dan untuk membuktikan bahwa lahan yang telah diperjuangkan tersebut dikelola dengan baik.
Anggota Komunitas MA Op. Bolus pernah mengalami kriminalisasi saat berdemonstrasi. Pada Desember 2015, saat perayaan hari Hak Asasi Manusia, Jaspayer Simanjuntak sebagai pemimpin acara dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Bupati Tapanuli Utara. Akan tetapi, kriminalisasi tersebut tidak memadamkan semangat MA Komunitas Op. Bolus dalam berjuang.
“Kami rutin melakukan diskusi setiap bulan untuk mempertajam daya kritis dan menambah pengetahuan anggota komunitas. Kami juga akan terus menguasai lahan adat kami untuk diberikan kepada anggota komunitas yang tidak memiliki lahan pertanian. Tidak menerima SK bukan berarti kami kalah.” tegasnya pada sesi berbagi pengalaman tersebut.
Cerita dari Komunitas MA Sihaporas di Simalungun
Seorang ibu boru Silalahi dari Komunitas Op. Mamottang Laut, Sihaporas, menceritakan perjuangan komunitasnya yang sudah berlangsung sejak 1998. Perjuangan mereka atas sekitar 2000 ha wilayah adat kerap sekali diwarnai oleh kriminalisasi. Suaminya (Thomson Ambarita) pernah dua kali ditangkap polisi dan dipenjara selama enam bulan pada 2019.
“Kami menguasai kembali tanah ompung kami yang direbut oleh negara dan perusahaan. Kami menanami lahan tersebut, namun tanaman kami dirusak oleh orang-orang TPL” katanya dengan lantang dan bercampur kesedihan yang terlihat dari mimik wajahnya. Untuk menghadapinya, Komunitas MA Sihaporas menjaga lahan secara bergantian. Kaum ibu menjaga ladang di siang, sedang kaum bapak dan pemuda bertugas di malam hari.
Mereka menghadapi banyak tantangan dalam penjagaan lahan ini, salah satunya adalah kedatangan penyusup yang merusak semua tanaman (jahe, jagung, macadamia, jengkol, pete, dll).
“Ada 7 (tujuh) ritual Op. Mamottang Laut yang masih kami jalankan. Kami sama sekali tidak malu meskipun sering dianggap sebagai pemuja setan. Tidak hanya itu, kami juga memiliki kendala saat melakukan ritual adat Toba karena kami tinggal di wilayah Simalungun” jelasnya.
Menurut saya, kegiatan berbagi cerita perjuangan seperti ini penting dan harus dilakukan. Selain untuk menambah semangat perjuangan, Komunitas MA lainnya yang mendengar bisa menarik pengalaman darinya, terutama saat menghadapi kriminalisasi dari aparat negara dan perusahaan. Semua komunitas MA sebaiknya menyadari bahwa SK yang diberikan negara bukan penentu menang atau kalahnya sebuah perjuangan. Komunitas Op. Bolus dan Komunitas Sihaporas dapat dijadikan contoh baik bagaimana MA menguasai kembali lahan yang telah dirampas dari mereka sejak berpuluh tahun lamanya dan menanam serta merawat tanaman yang tumbuh di dalamnya.**
(Romian Siagian)