Beberapa bulan belakangan ini, pupuk yang langka dan mahal menjadi keluhan utama petani di Indonesia, termasuk di Kabupaten Tapanuli Utara. Keluhan mengenai pupuk ini saya temukan dalam beberapa diskusi mengenai UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Salah satu bagian dari diskusi ini adalah inventarisasi masalah petani. Op. Jojo Tambunan dari Kelompok Tani (KT) Dosroha, Desa Siabalabal III, menyebut pupuk non-subsidi yang mahal dan pupuk subsidi yang langka sebagai urutan pertama dalam masalah yang dihadapi petani saat ini. Beliau mengaku bahwa produksi hasil pertaniannya berupa padi dan nanas mengalami penurunan karena tidak mendapat pupuk yang memadai. Apa sesungguhnya yang terjadi dengan pupuk di negara ini? Bagaimana pemerintah akan menyelesaikannya?
Mari kita lihat sejenak kisah hadirnya pupuk kimia di Indonesia. Revolusi Hijau adalah salah satu gebrakan rezim Orde Baru di awal tahun 70-an. Revolusi Hijau memperkenalkan gerakan Bimas (Bimbingan masyarakat), yaitu pemakaian pupuk kimia secara optimal sebagai salah satu pilar penting untuk keberhasilannya. Awalnya, petani tidak serta-merta percaya. Akan tetapi, lewat penyuluhan intensif dan bukti-bukti peningkatan produksi pertanian, akhirnya petani di seantero Nusantara berbondong-bondong menggunakan pupuk kimia. Revolusi Hijau di Indonesia memang menunjukkan prestasi pada tahun 1984 -1989 dalam bentuk swasembada beras. Namun pada tahun 1990-an petani mulai bingung menghadapi serangan hama, merosotnya kesuburan tanah, dan meningkatnya ketergantungan terhadap pupuk kimia yang tidak ramah lingkungan.
Tulisan ini tidak ingin membahas Revolusi Hijau secara mendalam. Banyak sumber yang dapat kita akses untuk mengetahui sejarah dan dampak dari gebrakan ini. Buku saku KSPPM berjudul “Bertani Selaras Alam” adalah satu bacaan yang menganalisis dampak Revolusi Hijau. Salah satu dampak negatif Revolusi Hijau yang masih dirasakan hingga hari ini adalah ketergantungan petani Indonesia akan pupuk kimia, bahkan menggunakannya sebagai pupuk primer. Banyak faktor yang membuat petani lebih memilih pupuk kimia dibanding pupuk organik buatan sendiri. Penggunaannya praktis, hasilnya terlihat cepat, dan pemerintah memberikan banyak subsidi sehingga harganya lebih terjangkau oleh petani. Semua faktor ini membuat pupuk kimia secara turun-temurun menjadi primadona bagi petani.
Saat rapat dengar pendapat antara Serikat Tani (ST) Tapanuli Utara dan Bupati Tapanuli Utara di Rumah Dinas pada Sabtu (3/4/22), Bupati Tapanuli Utara menjelaskan bahwa kelangkaan pupuk kimia bersubsidi disebabkan oleh pengurangan pasokan dan penurunan anggaran sehingga quota pupuk yang disetujui oleh pusat untuk Tapanuli Utara hanya sebanyak 27.000 ton. Salah satu penyebabnya adalah perang Rusia-Ukraina yang berdampak terhadap pasokan bahan baku pupuk. Sebanyak 80% bahan baku pupuk diimpor dari luar negeri, salah satunya dari Rusia. Grafik Realisasi Anggaran Subsidi di bawah ini memperlihatkan bahwa subsidi yang dianggarkan dalam RAPBN tahun 2022 adalah sebesar Rp 206,96 triliun.
Kelangkaan dan mahalnya harga pupuk ini juga menjadi bahasan dalam Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G7 di Jerman pada bulan Juni 2022 lalu. Presiden Joko Widodo meminta reintegrasi pupuk Rusia dalam rantai pasok global dengan cara komunikasi intensif dan proaktif kepada publik agar pupuk dari Rusia tidak dikenai sanksi. Permintaan tersebut ditanggapi oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang memberi jaminan kepada Presiden Indonesia bahwa kebutuhan pupuk dari Rusia akan dipenuhi.
Jenis-jenis pupuk asal Rusia adalah NPK 16-16-16, NPK Pak Tani 16-16-16, KCL 125 Rusia, dan NPK Phonska 15-15-15. Keempat jenis di atas merupakan pupuk yang sering digunakan oleh petani di Indonesia, tak terkecuali di Tapanuli Utara. Ina Kiky Tambunan dari KT Paroma mengatakan, “Kelangkaan Phonska dan NPK membuat petani mengurangi penggunaannya untuk padi dan nanas sehingga produksinya turun hingga 30% dari biasanya. Ini belum termasuk kerugian yang disebabkan oleh penyakit kuning daun dan masak gadis pada tanaman nanas yang obatnya belum ditemukan hingga hari ini.”
Pupuk bersubsidi diatur dalam Surat Keputusan Menperindag No.70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Februari 2003 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Subsidi Untuk Sektor Pertanian. Menurut tabel penanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk subsidi, penyaluran ke Kabupaten Tapanuli Utara dilakukan oleh dua perusahaan, yaitu PT Petrokimia Gresik dan PT Pupuk Iskandar Muda yang menyediakan pupuk Urea, SP-36, NPK, dan ZA. Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo, menanggapi meningkatnya kebutuhan pupuk di Indonesia dengan menjalankan program Percepatan Penggunaan Pupuk Organik dengan mengerahkan UPPO (Unit Pengolahan Pupuk Organik) dan Bantuan Pupuk Organik. Harapannya, petani akan mandiri pupuk dengan mengoptimalkan pemanfaatan pupuk kandang. Dengan biaya usaha tani yang lebih efisien, hasil produksi pertanian akan meningkat secara kuantitas maupun kualitas. Akan tetapi, pemerintah sepertinya belum sepenuh hati mendorong petani untuk mandiri. Menurut Menteri Pertanian, tujuan program ini adalah menyeimbangkan penggunaan pupuk organik dan anorganik, bukan agar petani sepenuhnya menggunakan pupuk organik buatan sendiri.**