Perubahan iklim menjadi topik yang tidak ada habisnya dibicarakan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Perubahan iklim terjadi sejak industrialisasi dimulai. Perubahan iklim terjadi karena pemanasan global akibat kegiatan manusia, seperti penambangan batubara serta tambang lainnya yang mengeluarkan karbondioksida, yaitu salah satu unsur yang menyebabkan perubahan ikim. Pembukaan hutan secara besar-besaran untuk kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI) serta tanaman lainnya juga penyebab terjadinya pemanasan global.
Penyebab lainnya adalah pembakaran limbah padat yang mengeluarkan Nitrogen (N2O). Perubahan iklim juga dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil, misalnya pembakaran batubara untuk pembangkit listrik, minyak dan gas untuk energi dan transportasi yang memicu naiknya gas-gas yang menyebabkan pemanasan global. Penggunaan alat-alat pendingin seperti AC, kulkas yang menggunakan gas Freon serta peternakan besar-besaran adalah jenis industri yang memicu keluarnya gas, yang disebut gas rumah kaca. Gas-gas tidak bisa keluar langsung ke atmosfer, tetapi tertahan di bagian luar bumi, yang membuat panas tidak bisa keluar, sehingga bumi makin panas.
Ada dua akibat dari perubahan iklim. Pertama, extreme event yaitu fenomena yang cepat berubah, seperti badai di laut, gelombang panas, banjir, siklon, angin putting-beliung, kekeringan, hujan es. Kedua, slow onset event seperti temperatur meningkat, degradasi tanah dan hutan, kehilangan keanekaragaman hayati (Titi Soentoro).
Negara-negara di dunia memiliki tanggung jawab bersama untuk mengatasi perubahan iklim demi kepentingan seluruh makhluk serta masa depan, termasuk Indonesia. Komitmen Indonesia untuk menangani perubahan iklim tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional sampai tahun 2030.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah mengurangi penggunaan batubara dan beralih kepada energi terbarukan (tenaga air, panas bumi, tenaga surya, tenaga angin). Salah satunya adalah rencana pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTPB) di Kabupaten Samosir. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah menetapkan Wilayah Pertambangan Panas Bumi di Daerah Simbolon, Kabupaten Samosir. Penetapan tersebut berdasarkan keputusan Menteri Nomor: 1827K/30/MM/2012 pada tanggal 30 April 2012 tentang Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi di Daerah Sigaol Marbun dan Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir dengan luas wilayah 68.800 hektar dan direncanakan beroperasipada tahun 2024 mendatang (https://samosirkab.go.id/potensi-unggulan-kabupaten-samosir-energi).
Menurut Kelompok Tani Perempuan Martupa yaitu kelompok tani yang didampingi oleh KSPPM di Desa Sigaol Marbun, masyarakat Desa Sigaol Marbun tidak mendapat informasi terkait rencana pembangunan PLTPB tersebut. Mereka tidak tahu-menahu akan rencana pembanguan proyek tersebut. Hal ini sejalan dengan informasi dari Sekretaris Desa Sigaol Marbun, J Marbun, yang mengatakan bahwa pihak perusahaan yaitu PT. Optima Nusantara Energi telah melakukan pertemuan hanya dengan pemerintah desa bersama beberapa penatua desa Sigaol Marbun dan Desa Sigaol Simbolon untuk mendiskusikan keuntungan jika proyek panas bumi tersebut berdiri di dua desa tersebut. Tidak ada informasi terbuka kepada masyarakat secara umum. Namun, hingga saat ini tidak ada informasi terbaru yang didapat oleh pemerintah desa tentang perkembangan pembangunan proyek panas bumi tersebut (12/6/22).
Kabag Hukum Kabupaten Samosir, Lamhot Nianggolan, mengatakan bahwa terkait rencana pembangunan PLTPB di Kecamatan Palipi tersebut, proses eksplorasi belum selesai hingga sekarang. Pelelangan memang sudah terjadi sejak awal tahun 2015. Investor dari China mengecek dan memastikan bahwa di Kecamatan Palipi hanya akan menjadi saluran lumpur, yang jika dilanjutkan akan berbahaya bagi masyarakat. Saat ini rencana pembangunan PLTPB lebih fokus ke Kecamatan Sianjur Mula Mula. Kemungkinan besar, pengembangan PLTPB di Samosir tidak akan dilakukan karena akan menyebabkan banyak sekali permasalahan, mengingat lokasinya sangat dekat dengan Danau Toba. Para investor menilai akan rugi jika melanjutkan proyek PLTPB di Kecamatan Palipi tersebut (10/7/22).
Merujuk pengamalam daerah-daerah lain dengan proyek energi terbarukan yang telah berjalan, banyak kerusakan terjadi. Misalnya, sawah dan ladang subur di Jeneponto, Sulawesi Selatan, dialihfungsi secara paksa dan diganti menjadi 21 kincir angin raksasa untuk Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dengan janji palsu listrik gratis dan lapangan pekerjaan. Pencemaran lumpur di lereng Gunung Slamet akibat ketidakpedulian perusahaan geothermal yang sedang melakukan eksplorasi telah merusak sumber penghidupan masyarakat di kaki gunung tersebut. Sungai dan danau hancur akibat bendungan pembangunan PLTA di Poso, dimana sungai dan danau menjadi sumber pengairan bagi pertanian dan rumah tangga. Bukan hanya itu, pada April 2022 proyek PLTPB di Mandailing Natal, Sumatera Utara, juga memakan puluhan korban jiwa akibat kebocoran gas beracun (Mongabay.co.id).
Contoh – contoh tersebut merupakan proyek energi yang ditawarkan sebagai solusi masalah perubahan iklim. Proyek-proyek tersebut bukan solusi yang mengatasi pemanasan global, tetapi solusi yang semakin memberatkan kehidupan masyarakat karena tidak ada jaminan hidup yang lebih baik oleh pemerintah kepada masyarakat. Perusahaan untung, masyarakat buntung. Ungkapan tersebut menjadi ungkapan yang cocok mengenai proyek energi terbarukan yang telah berjalan di Indonesia. Lalu, bagaimana nasib Samosir, yang katanya negeri indah kepingan surga, jika proyek energi tersebut dilanjutkan? **