Lagi lagi, seperti pembangunan Food Estate di desa Ria Ria, Kec. Pollung, pembangunan ini diinisiasi oleh pemerintah dan swasta serta pembangunannya cepat sekali. Di sisi lain, jalan jalan pedesaan yang hampir setiap tahun diajukan oleh masyarakat dusun Bintang Maria di Desa Simataniari, yang “konon katanya” merupakan jalan provinsi di desa Janji Maria yang menyambungkan Asahan, Borbor, dan Sipahutar, tidak pernah diperbaiki dan dibangun. Selain itu, masih banyak konflik agraria di kabupaten Humbang Hasundutan yang belum selesai, seperti kasus komunitas MHA Pargamanan-Bintang Maria yang sejak tahun 2009 menuntut pengakuan atas tanahnya dan menghentikan kegiatan PT. TPL dari wilayah mereka.
Komunitas PBM di Desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan, memang terkenal karena hasil hutan bukan kayu, yaitu kemenyan. Dari dulu, hutan Simataniari selalu diakui sebagai penghasil kemenyan terbaik di kawasan Danau Toba. Kersi Sihite, tokoh masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, juga mengakui bahwa Simataniari memang penghasil kemenyan terbaik, bahkan banyak anak-anak mereka yang sukses karena orang tuanya seorang petani kemenyan di Simataniari. Contohnya, Paulo Sitanggang, pemain bola tim nasional Indonesia yang sempat memenangkan Piala AFF U-23 2016, adalah keturunan dari Desa Simataniari. Kuburan oppungnya masih di sana.
Secara geografis, Pargamanan-Bintang Maria kini dikepung oleh 3 proyek besar; pertama, konsesi PT. TPL yang telah menghabisi hutan Tele, masuk pada tahun 2000-an dan sampai sekarang masih belum ada titik terangnya; kedua, kurang lebih 110 ha wilayah adat mereka masuk ke dalam peta HPK untuk FE, yang saat ini masih merupakan tutupan hutan alam dan bahkan pemukiman masyarakat; ketiga, pembangunan KHDTK-TSTH2 di hamparan hutan Aek Nauli hingga sekarang belum memperoleh penata-batasan administratif yang jelas dan hutan mereka di sana berpotensi terganggu oleh kehadiran TSTH2 ini.
Lucunya, ketiga program ini selalu membawa-bawa dalih pembangunan untuk masyarakat, ketahanan pangan, bahkan sekarang pembangunan ramah lingkungan atas dasar kajian dan penelitian akademis. Tentu hal-hal ini secara teori sangat bagus, namun apabila dilihat dari kacamata kajian kritis, 3 rejim pembangunan ini untuk siapa? Sudah lebih 20 tahun hasil kemenyan masyarakat terus berkurang tiap tahunnya sampai sekarang, namun tidak pernah ada jalan keluar yang pasti dari pemerintah. Di sisi lain, pembangunan dengan dalih apapun yang dilaksanakan oleh pemerintah dan perusahaan langsung berjalan. Tentu hal ini membuat curiga, dan lagi-lagi masyarakat hanya dijadikan “objek” pembangunan, tidak menjadi “subjek” dan ikut dalam merancang masa depannya.
Apabila saat ini adalah era pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan, mengapa pembuat kebijakan tidak langsung menyorot masyarakat adat yang telah ratusan tahun terbukti dapat menjaga lingkungannya dengan baik dan tentu saja berkelanjutan?
Sudah lama dunia akademis menganggap mitos-mitos yang berkembang di masyarakat sebagai pengetahuan tidak absah alias tanpa legitimasi (non-legitimate). Bahkan pengetahuan masyarakat adat mengenai lingkungannya didegradasi maknanya sekedar “cerita rakyat” atau “legenda setempat”, “tabu”, “tidak masuk akal” dan banyak ungkapan lain yang merendahkan. Padahal cerita dan mitos-mitos itu tumbuh dari pengamatan panjang manusia terhadap lingkungannya sebagai sumber pengetahuan yang sahih. Sumber-sumber pengetahuan empiris setiap manusia tentu berbeda, dan diceritakan secara berbeda juga, sama seperti masyarakat adat memandang alam sekitarnya.
Bahkan, karena mitos-mitos itu, komunitas masyarakat adat hampir di seluruh dunia terbukti dapat menjaga lingkungannya dengan baik, berbeda dengan istilah-istilah formal negara seperti “hutan lindung” dan “konservasi” yang kenyataannya banyak dilanggar, bahkan negara sendiri yang mengingkari janji pelestarian alam.
Di komunitas petani kemenyan di Pargamanan-Bintang Maria (PBM), setiap bulan Mei-Oktober, para laki-laki akan jarang terlihat di desa karena hampir semuanya berangkat ke tombak haminjon mereka. Sudah ratusan tahun masyarakat PBM menggantungkan hidupnya pada kemenyan. Bukan hanya di PBM, tapi hampir seluruh masyarakat di kecamatan Parlilitan ber-kemenyan (marminjon) di hamparan hutan mereka. Rutinitas mereka marminjon tiap tahun terbukti dapat menjaga keberlanjutan hutan tersebut. Bukan hanya mencari nafkah di sana, namun juga menjaga keberlangsungan dengan cara menanam kembali pohon-pohon yang sudah mati dan menjaga tumbuhan-tumbuhan lain tetap ada karena pohon kemenyan bukan tumbuhan yang dapat hidup sendiri, tapi butuh tutupan tumbuhan lainnya agar tetap hidup dan menghasilkan getah yang banyak. Secara sederhana, kemenyan membutuhkan nutrisi dan kondisi alam yang baik supaya dapat hidup lama dan menghasilkan getah, termasuk suplai air yang terjaga dan suhu udara yang stabil.
Nyatanya, dengan bumi yang semakin panas, hasil getah kemenyan sekarang tidak lagi sebanyak 10-30 tahun yang lalu. Selain itu, kehadiran perusahaan di hutan Tele Samosir juga menyebabkan kualitas kemenyan mereka menurun, karena sumber-sumber air yang berhulu di hutan Tele semakin habis karena ditumbuhi oleh pohon eukaliptus yang homogen. Selain persoalan suhu dan suplai air, sekarang banyak satwa liar yang mulai menyerang kebun masyarakat seperti monyet, siamang, dan yang paling umum adalah babi hutan. Dampak semuanya ini bagi masyarakat sangat signifikan. Masyarakat PBM dan desa Simataniari terjebak dalam kondisi dimana mereka di satu sisi tidak lagi dapat menggantungkan hidupnya pada kemenyan, tapi di sisi lain ketika mereka mencoba bertani dan berkebun, satwa liar yang kehilangan habitatnya menyerang sumber penghasilan alternatif mereka.
Kondisi ini tentu sangat tidak menguntungkan, karena masyarakat terjebak ke dalam kondisi yang penyebabnya bukan perbuatan mereka sendiri. Masyarakat adat/lokal merasakan dampak yang sangat nyata dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sumber penghasilannya tidak secara langsung terganggu. Itu sebabnya masyarakat adat menganggap perjuangan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sebagai urusan “hidup dan mati” (Eva J. Lumbangaol, 2022), sebab tanpa SK pengakuan, masyarakat adat akan terus dibayang-bayangi ketidakpastian yang diakibatkan oleh bencana lingkungan ini.
Mambuka Manige
SK Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat tentu bukan berarti bahwa adat yang ada di komunitas PBM hanya sekedar upacara-upacara simbolis seperti yang dibayangkan oleh pemerintah Indonesia. Namun di balik hukum-hukum (patik) dan upacara-upacara tersebut terkandung makna yang dalam dan memiliki arti filosofis tersendiri. Contohnya adalah mambuka manige, yaitu upacara rutin tahunan yang dilakukan oleh petani kemenyan ketika pertama kali memasuki musim manige. Upacara ini secara garis besar dilakukan untuk menghargai pohon kemenyan mereka dan mendoakannya supaya menghasilkan getah yang berlimpah untuk penghidupan sehari-hari keluarga tersebut.
Rajes Sitanggang menyampaikan cerita nenek moyang mengenai kemenyan saat kami bersantai di Sopo yang terletak di tengah-tengah ladang kemenyannya. Ada kepercayaan bahwa getah kemenyan adalah air mata dari seorang putri nenek moyang terdahulu. Ceritanya, seorang putri yang tinggal di sebuah desa dikagumi oleh seorang raja (atau tokoh masyarakat/adat) karena kecantikan dan perilakunya yang baik. Singkat cerita, sang raja ingin menikahinya namun putri ini tidak setuju dengan perjodohan ini. Orang tuanya tidak dapat melawan si raja tersebut, walaupun mungkin di hati kecilnya tidak setuju kalau putrinya menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Akhirnya, sang putri pamit kepada orang tuanya untuk pergi menemui sang raja dan memenuhi rencana perjodohan ini, dengan menitipkan sebuah pesan pada orang tuanya yang berbunyi “Kalau sudah lama saya tidak pulang dan bapak dan ibu rindu padaku, tengoklah pohon di belakang rumah, di situ aku”.
Setelah sekian lama tidak pulang, orang tuanya pun mulai merindukannya, dan bertanya-tanya apakah putrinya baik baik saja. Tiba-tiba sang raja mendatangi rumah putri itu dan bertemu dengan kedua orang tuanya, lalu mengatakan bahwa selama ini putrinya tidak pernah menemuinya, dan sekarang lah dia ingin menjemput langsung putri mereka. Ternyata selamanya ini, sang putri telah pergi ke hutan dan sejak berpamitan dengan orang tuanya, sang putri tidak pernah menjumpai sang raja. Saat itu juga, sang ayah teringat dengan pesan putrinya, dan langsung melihat pohon yang ada di belakang rumah mereka. Terlihat gumpalan getah putih menempel di pohon tersebut, dan aromanya yang wangi menjadi daya tarik dari gumpalan getah tersebut. Melihat itu, orang tua sang putri jadi memiliki ide untuk menjual getah-getah itu kepada sang raja sebagai pengganti putrinya yang mengingkari janji. Sang raja setuju dan membawa semua kemenyan itu ke kampungnya. Semenjak saat itu, masyarakat menganggap getah kemenyan adalah harta yang memiliki nilai ekonomi dan memiliki arti “keberkahan” secara umum.
Cerita ini menjadi dasar mengapa upacara mambuka manige sangat perlu dilakukan. Upacara ini merupakan sebuah rangkaian yang sudah dimulai sejak hari sebelumnya di rumah, saat sang istri bersama anak-anaknya membuat Itak Gurgur, dan mempersiapkan lauk makan dengan menu favorit bapaknya untuk disantap pagi hari sebelum berangkat ke hutan. Kebetulan, makanan favorit pak Rajes Sitanggang adalah ayam gulai khas Batak, kami menyantapnya dengan lahap waktu sarapan pagi. Sang istri mengatakan bahwa agar mendatangkan berkah, sebelum masuk ke tombak kami makan bersama dan mendoakan agar hasil yang didapat berlimpah.
Selain mendoakan agar selamat dan hasilnya baik, acara sarapan bersama ini juga untuk mengingatkan bahwa di tombak nanti tidak ada lagi makanan seperti yang dihidangkan di rumah, hanya bisa makan lauk sederhana yang dibawa dari rumah, dengan tambahan sayur dan bumbu yang didapat di hutan, seperti Rintua (sayur) dan Langge (bumbu/rempah).
Sesampai di tombak, kami beristirahat sebentar di Sopo dan mulai mengambil air dari sungai dan memasak airnya agar ada cadangan air minum kami berdua (saya dan pak Rajes). Tidak lama setelahnya, pak Rajes mengajakku untuk ikut melihat dan mendokumentasikan upacara mambuka manige yang tentu harus segera dilakukan setibanya kami di tombak.
Sebelum acara dimulai, kami perlu menyiangi pohon kemenyan dari tumbuhan-tumbuhan liar di sekitarnya, dan mangguris atau membersihkan batang pohon kemenyan dari lumut-lumut pada batangnya. Upacara lalu dimulai dengan semacam sapaan dan permisi kepada penghuni yang ada di sekitar hutan itu menggunakan bahasa Batak. Ini dilanjutkan dengan menaburkan itak gurgur yang telah disiapkan dari rumah, sembari mengetuk-ngetuk pohon kemenyan. Setelah semua rangkaian dilaksanakan, kami menutup acara dengan memakan itak gurgur tadi, supaya dapat lebih menyatu dengan itak gurgur yang telah ditaburkan.
Setelah upacara selesai, petani kemenyan wajib mengerjakan setidaknya satu pohon pada hari yang sama, walaupun cuaca hujan atau matahari mulai terbenam. Menurut Rajes Sitanggang, hal ini wajib dilakukan supaya upacaranya sah dilakukan secara lengkap. Maka dari itu, idealnya seorang petani kemenyan berangkat ke tombak sebisa mungkin pagi hari, supaya mereka masih dapat mengerjakan 1-4 pohon pada hari yang sama.
Pengerjaan satu pohon kemenyan biasanya memakan waktu 40 menit – 1 jam, dari mangguris hingga manige. Saat mangguris kita juga perlu memanen sisa-sisa kemenyan yang tahun lalu belum sempat diambil. Rajes Sitanggang menyebutkan bahwa kemenyan-kemenyan sisa itu adalah upah bagi petani kemenyan karena telah bekerja pada hari itu. Oleh karena itu, biasanya pada akhir Mei dan awal Juni para petani kemenyan menyadap dan “melukai” pohon kemenyannya supaya getah dapat keluar dari batang pohonnya, lalu panen raya pada akhir musim kemenyan yang jatuh sekitar Oktober dan November. Saya pun mencoba mangguris & manige, tapi karena kebetulan waktu itu kaki saya sedang cedera, saya hanya mengerjakan bagian bawah pohon, belum bisa belajar memanjat sehingga dapat mengerjakan satu pohon secara utuh. Sungguh bukan pekerjaan yang ringan. Petani perlu jeli melihat lumut-lumut yang mengotori batang pohon kemenyan dan memanen sisa-sisa kemenyan yang ada tanpa melukainya sampai dalam. Namun saya senang atas pengalaman baru yang berharga ini. Saya jadi memahami pekerjaan mereka sebagai petani kemenyan. Kami menghabiskan waktu 3 hari 2 malam dan berhasil mengumpulkan sekitar 5 Kg kemenyan yang kami jual di salah satu warung dekat lokasi KHDTK-TSTH2.
Rantai Pasar Kemenyan yang Tertutup
Kemenyan Sumatera (Styrax-Benzoin) memiliki beragam, seperti zat kimia pengikat aroma parfum, obat perawatan kulit, dan dimanfaatkan untuk ritual-ritual keagamaan dan kebudayaan. Namun, Rajes Sitanggang dan petani kemenyan pada umumnya tidak persis mengerti kemana hasil kemenyan mereka dibawa. Menurut Rajes Sitanggang yang juga pernah menjadi pengepul kemenyan, dia hanya mengetahui harga antara petani dan pengepul, dan pengepul hanya menjualnya kepada suatu “gudang” di Dolok Sanggul yang tentu harganya bukan ditentukan oleh petani. Bahkan kami sempat berdiskusi dan mempertanyakan, “Seandainya produksi kemenyan di kawasan danau Toba ini kita hentikan selama setahun, apa yang akan terjadi? Apakah akan seperti fenomena kelangkaan minyak goreng ini?”. Pertanyaan itu muncul dari Rajes Sitanggang yang sudah bertahun-tahun bekerja sebagai petani kemenyan dan sampai sekarang tidak persis tahu produk akhir dari kemenyan, sebab kemenyan tidak mungkin dibiarkan mentah seperti kemenyan-kemenyan yang dijual di warung-warung rokok di Jogja.
Alfonso Harianja, salah satu peneliti BRIN yang sedang meneliti dampak Food Estate di Siria-ria bercerita tentang pasar kemenyan ini. Menurutnya, pasar kemenyan ini sangat tertutup, terutama saat kemenyan sampai ke perusahaan eksportir yang akan mengirimnya ke Singapura dan negara lainnya. Padahal, benzoin Sumatra menjadi bahan dasar farmasi di industri Amerika Serikat. Menurut Transparency Market Research, ada 8 pemain utama di pasar industri kemenyan di dunia, yaitu Spectrum Chemicals, BMV Fragrances Private Limited, Vietnam Essential Oil, Bulk Apothecary, K.S.U. Payung EMAS, CV. Sentral Utama, Cv. Davindo, CS Parekh & company.
Dilihat dari profilnya, kebanyakan perusahaan ini yang berbasis di Indonesia hanya berfokus pada ekspor-impor hasil getah kemenyan, sedang lainnya adalah perusahaan hilir dengan teknologi pengolahan getah kemenyan menjadi produk jadi seperti essential oil yang sekarang banyak dipakai oleh publik internasional. Hal ini layak menjadi perhatian serius para pengamat, peneliti, dan bahkan pengusaha dalam mengatur pasar kemenyan khususnya di daerah. Selama ratusan tahun Tapanuli, Humbang, dan Toba terkenal dengan produksi kemenyannya, tapi banyak petani tidak tahu menahu kemana kemenyan ini dibawa setelah dijual oleh pengepul.
Harga yang ditawarkan oleh pengepul pun beragam, mereka mengklasifikasikannya menjadi 2 jenis besar. Pertam, tahir atau sisa-sisa berupa pasir atau kemenyan yang banyak menempel di kulit-kulit kayu yang terangkat. Kedua, sidukkapi atau kemenyan kualitas tinggi yang umumnya berupa gumpalan getah yang besar dan tidak kotor oleh tempelan-tempelan kayu. Namun, kalau dilihat dari produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan hilir, tidak ada pembedaan antara dua jenis ini karena semua getah kemenyan itu pada akhirnya dilebur atau diekstrasi dan diambil zat-zat kimia murninya. Tentu harga yang didapatkan oleh petani dan harga jual produk-produk jadi itu sangat berbeda jauh. Rata-rata harga yang didapat petani kemanyan adalah sekitar Rp. 250.000,- per kilogram. Sementara itu, pasar kemenyan dan produk hasil kemenyan di internet, harganya dapat melampaui Rp. 200.000,- per setengah kilogram. Jika sudah berupa essential oil harganya dapat mencapai Rp. 300.000 – 400.000. Mengingat beban kerja petani kemenyan, rasanya harga yang mereka peroleh memang tidak adil. Namun, tertutupnya pasar kemenyan ini membuat para petani kemenyan tidak mendapatkan akses informasi secara transparan mengenai cara kerja pasar kemenyan.
Harapannya, suatu saat nanti petani kemenyan bisa terlibat menentukan harga hasil hutan mereka, karena apabila melihat beban kerja dan sepinya hari-hari kalau ke tombak sendirian, pasar bisa lebih menghargai para petani kemenyan. Pemerintah juga jangan hanya menjanjikan ekstrasi kemenyan pada kelompok tani hutan Aek Nauli, namun benar-benar melibatkan petani dalam merancang Business Model produk kemenyan. Kenyataannya saat ini, hasil dari tombak haminjon yangtidak seberapa karena harga yang tidak transparan, ditambah bencana lingkungan yang mengurangi hasilnya, membuat generasi muda semakin tidak tertarik melanjutkan pekerjaan ini, dan lebih memilih peruntungan di perkotaan atau kawasan-kawasan industri lainnya. Padahal, semakin banyak orang menyerbu kota dan tempat-tempat industri, ketimpangan kelas akan semakin melebar, dan berujung pada jebakan jurang kemiskinan yang selalu menghantui pekerja-pekerja dan buruh-buruh industri (bersambung).