Pada Rabu, 5 Oktober 2022, para akademisi, aktivis, jurnalis, mahasiswa dan perwakilan ORNOP mendiskusikan buku “Nunga Leleng Hami Mian di Son” di Kopi Toast Café Medan. Setelah dua hari berturut-turut melaksanakan diskusi buku bersama para mahasiswa, kali ini KSPPM mengundang berbagai lapisan masyarakat agar semua pihak mengetahui bagaimana perjuangan masyarakat adat menghadapi hukum formal negara.
Narasumber diskusi ini adalah Delima Silalahi (KSPPM), Abdon Nababan (AMAN), Yando Zakaria (Peneliti), Sandra Moniaga (Komnas HAM), Tongam Panggabean (BAKUMSU) dan Apri Dwi Sumarah (PSKL Sumut). Mereka masing-masing memiliki pengalaman yang mumpuni mengenai isu masyarakat adat sehingga diskusi berjalan dengan sangat substansial.
Delima Silalahi menceritakan proses lahirnya buku “Nunga Leleng Hami Mian di Son” yang bermula dari kegelisahannya ketika mengamati proses verifikasi dan identifikasi yang dilakukan oleh Tim Verfikasi Teknis (Vertek) dari KLHK terhadap masyarakat adat di Kabupaten Toba dan Tapanuli Utara pada 2021 lalu. Dia menyaksikan betapa proses verifikasi sangat menyakiti hati masyarakat adat sebab penuh prasangka. Tim Vertek kerap menertawakan benda adat milik masyarakat adat dan hal ini adalah pelanggaran HAM. Baginya, prasangka seperti itu keterlaluan mengingat masyarakat adat menganggap benda-benda adat tersebut bernilai sakral.
Yando Zakaria yang juga turut berkontribusi dalam lahirnya buku ini pun angkat bicara mengenai kewenangan tim verifikasi. Kewenangan melakukan verifikasi dan identifikasi mestinya bukan kewenangan KLHK, tetapi pemerintah daerah. Beliau juga menawarkan agenda advokasi untuk penghapusan pasal 67 dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang merupakan sumber hambatan pengakuan masyarakat adat.
Tongam Panggabean dari Bantuan Hukum Sumatera Utara (BAKUMSU) mengatakan bahwa ada sekitar 90 komunitas masyarakat adat di Sumatera Utara yang menerima kriminalisasi karena memperjuangkan wilayah adatnya. Masyarakat adat kerap menjadi korban ketika menuntut hak-haknya. Pemerintah memperberat perjuangan masyarakat adat melalui Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 yang menetapkan lima indikator keberadaan masyarakat adat secara kumulatif. Padahal, dari perspektif hak asasi manusia (HAM), keberadaan masyarakat adat hanya perlu didasarkan pada pengakuan diri sendiri (self-identification) dan keterikatan dengan wilayah geografis tertentu. Itu artinya, tiga indikator lainnya bersifat fakultatif atau sebagai pendukung. Dengan cara kerja yang dipakai selama ini, tim verifikasi seperti sedang menghancurkan hak natural (bawaan/asal-usul) masyarakat adat.
Pendapat senada disampaikan oleh Abdon Nababan sebagai aktivis masyarakat adat. Dia juga kerap menerima keluhan dari masyarakat adat mengenai proses verifikasi dan identifikasi. Tim verifikasi bagaikan guru superior yang sedang menguji murid-muridnya dan mencari masyarakat adat dari ratusan tahun lalu di zaman ini. Tim verifikasi menganggap bahwa masyarakat adat harus primitif. Ia juga menyampaikan kekecewaannya mengenai pernyataan staf ahli Bupati Kab. Toba yang menyatakan bahwa tidak ada masyarakat adat di Kabupaten Toba.
Terakhir, Sandra Moniaga berharap agar buku “Nunga Leleng Hami Mian di Son” dibaca oleh para pengambil kebijakan agar mereka memahami betapa proses verifikasi dan identifikasi telah melanggar HAM. Masyarakat adat belum mendapatkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM karena belum ada pengakuan formal atas keberadaannya. Keberadaan masyarakat adat masih dianggap pemerintah sebatas persoalan administrasi dan legalisasi. Pemahaman keliru ini perlu ditinjau ulang agar tidak melanggengkan pelanggaran HAM masyarakat adat.
Marsen Sinaga, moderator diskusi buku ini, cukup berhasil ‘menjaga’ proses diskusi sedemikian rupa sehingga para pembicara fokus menyampaikan pokok-pokok pemikiran yang bisa memancing diskusi. Para peserta diskusi sungguh terlibat memberi tanggapan dan pertanyaan-pertanyaan yang sangat beragam seputar isu masyarakat adat yang memang sangat kompleks.**