Pomparan Ompu Raja Enduk Pasaribu di Desa Lintong, saat ini sedang memperjuangkan wilayah adatnya agar dikeluarkan dari Kawasan Hutan Negara dan konsesi PT TPL. Sesuai namanya, seluruh anggota komunitas ini adalah keturunan Ompu Raja Enduk Pasaribu, yang mana Ompu Raja Enduk Pasaribu adalah keturunan kelima dari Saribu Raja III.
Masyarakat di Kecamatan Borbor khususnya Marga Pasaribu keturunan Ompu Raja Enduk Pasaribu meyakini bahwa mereka berasal dari Huta Lintong. Belakangan ini, Huta Lintong masuk dalam administrasi Desa Lintong, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba. Keturunan Ompu Raja Enduk Pasaribu sudah tinggal di Lintong kurang lebih 350 tahun. Belasan generasi telah hidup dari tanah warisan Ompu Raja Enduk Pasaribu, namun tanah tersebut diklaim sepihak oleh negara dan negara memberikan izin konsesi kepada PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) di atas tanah tersebut. Merasa tidak berdaulat atas tanah warisan leluhurnya, mereka pun memulai perjuangan.
Karena berada dalam klaim Kawasan Hutan Negara, maka mereka memilih sekema pengakuan hutan adat sebagai salah satu strategi perjuangan mereka untuk mendapatkan kembali haknya atas wilayah adat mereka. Dalam proses advokasi hutan adat ini, mengacu kepada berbagai kebijakan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Komunitas masyarakat adat, salah satunya adalah adanya Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Penetapan Masyarakat Adat.
Salah satu kebijakan yang mengatur tentang syarat-syarat pengakuan tersebut tertuang dalam Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa masyarakat adat harus memiliki: (1) sejarah, (2) hukum adat, (3) benda-benda adat, (4) kelembagaan adat, dan (5) peta wilayah adat. Meskipun pedoman tersebut banyak menuai kritik karena sangat politis, namun komunitas masyarakat adat harus melengkapi syarat-syarat tersebut hanya untuk ‘diakui’ oleh negaranya sendiri.
Demi mempertahankan wilayah adat mereka, Komunitas Pomparan Ompu Raja Enduk perlahan-lahan mempersiapkan syarat-syarat tersebut, salah satunya dengan melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Pemetaan partisipatif adalah bagian dari pengorganisasian rakyat karena ada penekanan agar komunitas berpartisipasi aktif dalam setiap proses pemetaan wilayah adatnya. Masyarakat adat menggunakan pengetahuan lokal dan memanfaatkan relasi yang kuat antara mereka dan wilayah adatnya sehingga terciptalah sebuah peta yang lengkap dan akurat.
Pemetaan partisipatif dilakukan untuk mengetahui lebih pasti luas wilayah adat mereka. Karena selama ini, masyarakat adat dengan budaya lisannya hanya mengetahui batas-batas wilayah adat mereka dengan hombar balok (tetangga batas wilayah adat). Itu sebabnya jika mereka ditanya berapa luas wilayah adatnya, mereka tidak tahu pasti.
Dalam konteks saat ini, di mana ada klaim Kawasan hutan negara dan konsesi perusahaan di wilayah adat mereka, pemetaan partisipatif ini juga dilakukan untuk mengetahui tumpang-tindih dengan klaim kawasan hutan.
Benar saja, peta memang mampu menggambarkan realitas secara utuh. Peta partisipatif mampu mendorong pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat karena melalui peta partisipatif kita mampu memperlihatkan fakta di lapangan, fakta hukum/tumpang-tindih kebijakan kawasan hutan, dan fakta keberadaan masyarakat adat yang sengaja dilupakan.
Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif pada 10 Juli 2022, luas wilayah adat Komunitas Pomparan Ompu Raja Enduk Pasaribu adalah 3.195,36 hektar dan di dalamnya terdapat kawasan hutan dengan fungsi hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas seluas 1.968, 64 hektar, serta izin konsesi PT TPL seluas 910,405 hektar. Masyarakat adat melihat betapa di wilayah adat mereka terdapat tumpeng-tindih kepentingan yang sebelumnya tidak mereka lihat di peta administrasi desa.
Penunjukan dan/atau penetapan status dan fungsi kawasan hutan di Lintong dilakukan secara sepihak oleh negara tanpa memperhatikan tata ruang masyarakat adat, khususnya tempat-tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat adat. Hal ini menegaskan bahwa negara mengingkari keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisonalnya. Itu sebabnya, peta partisipatif digunakan sebagai alat untuk mendorong pengakuan hak-hak masyarakat adat. Peta partisipatif adalah alat perjuangan masyarakat adat.
Sembari menunggu penetapan pengakuan masyarakat hukum adat yang telah diajukan Komunitas Pomparan Ompu Raja Enduk Pasaribu kepada Bupati Toba pada Oktober 2022, komunitas telah melakukan upaya ‘reclaming’. Komunitas mampu menguasai kembali wilayah adat seluas kurang lebih 40 ha. Dengan membuat peta secara partisipatif, mengenali lebih dekat wilayah adatnya, tidak hanya batas-batas alam yang didengar dari orangtua mereka, tetapi juga luasannya dan kondisi terkini, masyarakat adat semakin berani menolak aktivitas PT TPL di wilayah adatnya.
Komunitas Pomparan Ompu Raja Enduk Pasaribu sedang berjuang menata kembali pemanfaatan ruang hidupnya. Mereka membicarakan secara partisipatif pengelolaan wilayah adat mereka ke depan, dan upaya mengambil alih wilayah adat mereka. Mereka sepakat, bahwa tanah yang gersang akibat pertanian monokultur PT TPL tersebut akan ditanami berbagai jenis tanaman kehidupan dan tanaman pangan. Di awali dengan penanaman padi darat. Komunitas Pomparan Ompu Raja Enduk Pasaribu hendak membuktikan pada negara bahwa masyarakat adat mampu memenuhi pangannya sendiri jika tanah mereka dibebaskan dari berbagai klaim pihak manapun termasuk negara.***