Sabtu, 20 Mei 2023, sebagai bagian dari “Kampanye Satu Bulan untuk Lingkungan yang Lebih Baik”, KSPPM, AMAN Tano Batak dan Pemkab Toba mengadakan FGD tentang Pentingnya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Toba yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun pemahaman bersama tentang percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Toba.
Dialog yang dilakasanakan di gedung Serbaguna tersebut menghadirkan beberapa pembicara di antaranya; Koordinator Study dan Advokasi KSPPM, Roki Pasaribu; Ketua BPH Aman Tano Batak, Jhontoni Tarihoran; Staf Ahli Bupati Toba, Audi Murphy Sitorus; Kepala Bagian Hukum Kabupaten Toba, Anthony Sianipar; Camat Borbor, James Pasaribu , DPRD Kabupaten Toba Dapil IV, Gumontan Pasaribu dan Junior Hutapea.
Selain komunitas Masyarakat Adat yang didampingi oleh KSPPM dan AMAN Tano Batak hadir juga masyarakat dan beberapa Kepala Desa dari Kecamatan Borbor sebagai peserta dialog. Dialog ini bukan hanya untuk masyarakat adat yang sedang berjuang, namun masyarakat lain dan Kepala Desa juga perlu mendengarkan hasil dari pertemuan ini, agar sama-sama memahami proses pengakuan masyarakat adat, sehingga tidak memunculkan saling curiga dikemudian hari antara masyarakat adat dengan masyarakat lainya, ungkap Camat Borbor dalam kata sambutanya mengawali dialog.
Gumontan Pasaribu, anggota DPRD Toba, menyampaikan bahwa DPRD sangat mendukung adanya penetapan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Toba. Menurutnya, terbitnya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Toba menjadi bukti bahwa DPRD mendukung adanya penetapan masyarakat adat. Namun kendalanya proses penetapan masyarakat hukum adat di Kabupaten Toba khususnya komunitas masyarakat adat yang saat ini sedang berjuang belum ‘memenuhi syarat’ sebagai masyarakat adat sesuai dengan bab 7 Perda Nomor 1 Tahun 2020. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pendalaman lagi tentang syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh perundang-undangan. Kedepan, jika diperlukan DPRD Perlu menfasilitasi masyarakat adat di Kabupaten Toba, untuk belajar terhadap masyarakat yang sudah mendapat pengakuan di Kabupaten lain, seperti Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan, agar pengakuan ini segera bisa diterbikatkan surat keputusannya, tambah Gumontang Pasaribu.
Sementara itu, Junior Hutapea anggota DPRD dari Fraksi Parta Demokras Perjuangan Indonesia (PDIP) menyampaikan bahwa impelentasi kedepan masyarakat adat juga harus melibatkan Pemerintah Desa untuk mndapatkan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. “Selama ini, terkesan masyarakat adat mengabaikan keberadaan Pemerintah Desa dan cenderung melapor ke Pemerintahan yang lebih tinggi. Harapan saya untuk kedepannya, karena disini kita ingin menyamakan persepsi, kita harus mulai koordinasi dengan desa agar Perda itu implementatif dan juga supaya tidak ada urusan administrasi yang terlewatkan”, terang Junior.
Selanjutnya dari Pemerintah Kabupaten Toba, Audy Murphy Sitorus, staf ahli bidang hukum menilai bahwa kegiatan ini merupakan satu langkah maju terkait bagaimana Pemerintah, Komunitas Masyarakat Adat dan Lembaga Pendamping bisa duduk bersama untuk menuju pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Toba. Namun, Murphy Sitorus mengatakan bahwa penetapan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Toba masih terkendala karena beberapa komunitas yang sudah diverifikasi masih belum memenuhi syarat sesuai dengan Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Menurut aturan tersebut, masyarakat adat harus memenuhi lima indikator, yaitu (1) Wilayah adat, (2) Sejarah, (3) Hukum adat, (4) Lembaga adat, dan (5) Benda-benda adat/pusaka. Persyaratan kaku tersebut dianggap menjadi pesoalan yang besar bagi Pemkab Toba. Oleh karena itu, Murphy Sitorus mengatakan bahwa perlu dilakukan diskusi dengan Kementrian Dalam Negeri untuk meringankan persyaratan yang ditetapkan dalam aturan tersebut.
Pembicara selanjutnya Jhontoni Tarihoran, menyampaikan bahwa perjuangan masyarakat adat bukanlah sumber konflik seperti yang sering disampaikan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Justru sebaliknya, klaim Kawasan Hutan Negara dan Perusahaan di wilayah adat masyarakat adalah awal mula konflik. Oleh sebab itu, Pemerintah diharapkan segera menerbitkan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat sebagai langkah untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan.
Terkait syarat penetapan masyarakat hukum adat, Jhontoni menambahkan, bahwa ketiadaan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat menyebabkan masyarakat adat menjadi tidak percaya diri untuk mengimplementasikan hukum adatnya sendiri. Sehingga penetapan status Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Toba sangat penting untuk memperkuat hukum adat itu sendiri.
Senada dengan itu, Roki Pasaribu Koordinator Divisi Study dan Advokasi KSPPM menyampaikan, salah satu penyebab konflik masyarakat adat dengan negara dan Perusahaan saat ini ialah adanya klaim sepihak Kehutanan terhadap wilayah masyarakat adat. Berdasarkan data yang ada, saat ini terdapat 60% daratan di Sumatera Utara masuk ke dalam kawasan hutan negara. Mirisnya lagi, 60% kawasan hutan ini lebih banyak berada di Kawasan Danau Toba. Padahal, semua tanah yang di Tano Batak adalah milik masyarakat adat sejak ratusan tahun lalu.
Konflik tenurial yang dialami oleh masyarakat adat di Tano Batak, sudah berlangsung lama bahkan sejak zaman kolonial. Untuk mengurangi konflik yang berkepanjangan Pemerintah kemudian mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai upaya menyelesaikan konflik. Namun beberapa kebijakan yang dikeluarkan seperti Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial (PS), dinilai belum dapat menjawab masalah masyarakat seutuhnya. Sebut saja Perhutanan Sosial, dari 5 jenis Perhutanan Sosial yang ditawarkan, 4 diantaranya hanya memberikan akses kelola terhadap masyarakat. Begitu juga dengan TORA, selain kebijakannya yang dianggap Top-Down, mekanisme ini juga masih sering menuai kritik, karena dianggap belum dapat menjawab persoalan masyarakat.
Setelah pembicara selesai menyampaikan materi, moderator memberikan kesempatan kepada peserta. Dari beberapa tanggapan, sebagian besar peserta yang hadir mengapresiasi kegiatan ini, menurut mereka, baru kali ini terjadi dialog yang antara Masyarakat ada Pemerintah. Oleh sebab itu, proses pengakuan masyarakat adat di Kabupaten Toba bisa segera ditetapkan. Namun ada juga beberapa peserta yang mengeluh dengan sikap Pemerintah selama ini, sekaligus berharap agar Pemerintah jangan hanya berjanji.
Diakhir acara Moderator, Abadi Aritonang menyampaikan, bahwa tujuan dialog ini untuk menyamakan persepsi mengenai pentingnya perda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kabupaten Toba. Selama ini, kita melihat bahwa seperti ada jarak antara Pemerintah Kabupaten Toba, Komunitas Masyarakat Adat, dan Lembaga pendamping dalam perjuangan pengakuan masyarakat adat di Kabupaten Toba. Sehingga berdampak pada saling curiga dan saling menyalahkan.
Kedepan antara masyarakat adat, pemerintah dan lembaga pendamping seperti KSPPM, AMAN harus saling bergotong royong demi mewujudkan percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Toba tegas Abadi. Acara kemudian ditutup, sambil menyampaikan dokumen permohonan pengakuan masyarakat adat dari komunitas masyarakat adat Ompu Raja Enduk Pasaribu, Ompu Raja Naso Malo Marhohos Pasaribu, Ompu Sunggu Barita Pasaribu, Ompu Duraham Simanjuntak dan terakhir si Menak menak.