Catatan Dari “Dialog Publik Urgensi Peraturan Daerah Perlindungan Masyarakat Adat di Humbang Hasundutan”
Masyarakat Adat di Tanah Batak memiliki prinsip ‘huta na marmarga, marga na marhuta’ yang memiliki arti setiap wilayah di Tano Batak memiliki marga, dan setiap marga memiliki kampung atau wilayah adat. Kalimat ini setidaknya salah satu hal yang menunjukkan kedekatan masyarakat adat batak dengan tanahnya. Namun, masyarakat adat sering sekali menghadapi perampasan tanah karena diklaim sepihak oleh negara sebagai Kawasan Hutan Negara.
Posisi masyarakat adat sebagai pemilik wilayah adat menjadi lemah, karena sewaktu-waktu negara atas alasan pembangunan bisa merampas hak-haknya atas wilayah adat tersebut. Walau konstitusi dan banyak peraturan mengakui keberadaan masyarakat adat, namun tidak berlaku otomatis, tetapi penuh syarat dan berbelit-belit. Salah satu syarat dalam proses pengakuan ini adalah adanya Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat adat dan haknya atas wilayah adatnya. Sayangnya belum banyak masyarakat adat dan pemerintah menyadari pentingnya perda ini untuk proses pengakuan masyarakat adat atas wilayah adatnya.
Atas dasar itu, KSPPM bersama AMAN Tano Batak mengadakan Dialog Publik bertema Pentingnya Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Humbang Hasundutan pada 20 November 2023.
Dialog ini menghadirkan tiga narasumber yaitu Eko Cahyono, Peneliti Sajogyo Institute, Yance Arizona, Dosen Universitas Gajah Mada, dan Guntur Simamora, Anggota DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan. Acara yang dimoderatori oleh Lambok Lumban Gaol, Divisi Studi dan Advokasi KSPPM tersebut dihadiri oleh perwakilan masyarakat adat di Kabupaten Humbang Hasundutan, juga dihadiri unsur pemerintah kecamatan dan desa.
Eko Cahyono, menjelaskan bahwa perjuangan masyarakat adat bukan sekadar perjuangan atas tanah namun merupakan perjuangan atas tanah airnya. Masyarakat adat memiliki hubungan yang sangat dekat dengan tanahnya. Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, salah satu aturan hukum yang mengatur ulang tanah-tanah pascakolonial agar dikembalikan kepada rakyat Indonesia. Salah satu hal penting dalam undang-undang tersebut bahwa hubungan masyarakat adat dengan tanahnya bersifat abadi.
Kedua, tanah tidak hanya memiliki fungsi komoditi tetapi fungsi sosial. Ini menunjukkan bahwa jika masyarakat adat kehilangan tanahnya bukan berarti hanya kehilangan sumber ekonomi namun juga sosial, adat, budaya, religius, bahkan peradaban. Dalam banyak kasus, pemerintah sering hanya menganggap hubungan masyarakat adat dengan tanahnya sebagai fungsi ekonomi. Ganti rugi merupakan salah satu manifestasi tanah hubungan masyarakat dengan tanah hanya bersifat ekonomis.
Dalam perjalanannya, perjuangan masyarakat adat sering dihadapkan pada berbagi permasalahan. Masyarakat adat harus dihadapkan pada konflik baik dengan swasta maupun negara. Negara kerap memberikan izin usaha dan konsesi kepada swasta yang mengabaikan hak masyarakat adat. Prioritas pembangunan mengabaikan hak masyarakat adat.
Perjuangan masyarakat adat adalah perjuangan merebut kembali hak yang telah direnggut yang telah berlangsung sejak pasca reformasi. Sampai pada putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. Ini menjadi tonggak banyaknya tuntutan atas pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Sekarang setidaknya ada 108 masyarakat adat yang telah diakui baik melalui surat keputusan maupun Perda.
Eko belajar banyak dari berbagai masyarakat adat di berbagai daerah. Saat ini, pengakuan hutan adat masih pada pengakuan terhadap teritori. Pemerintah belum sampai pada pengakuan adatnya. Bahayanya, orang adat masuk Taman Nasional bisa ditangkap karena tata ruang masyarakat adat belum diakui.
Selain itu, belum ada skema atas jaminan keadilan di internal masyarakat adat. Ada kekhawatiran bahwa setelah pengakuan justru tanah dikuasai oleh orang-orang tertentu. Menjadi penting memastikan memperkuat sistem adat yang berprinsip pada keadilan sosial.
“Jangan sampai pengakuan ini malah melanggengkan dan memperparah ketimpangan sosial. Perda adat penting tapi kalau tidak hati-hati justru dapat menimbulkan masalah baru”, tegasnya.
Persoalan lain yang terjadi di beberapa daerah yaitu adanya pengakuan yang berbenturan dengan pembangunan. Eko menekankan bahwa pengakuan masyarakat adat memang harus diapresiasi tetapi tidak bisa menutup mata bahwa situasi ekonomi politik saat ini berupaya mencengkram masyarakat adat. Seperti program Food Estate, pengembangan wisata, industri, jalan raya, dan berbagai pembangunan lain.
Eko menambahkan bahwa Perda pengakuan saat ini penting untuk menjamin bahwa tanah itu ada pemiliknya. Pasti ada yang menolak pernyataan tersebut dan mengatakan bahwa tanah tidak ada yang punya. Namun, Eko menekankan bahwa kita hidup di negara hukum yang menyatakan tanah kosong milik negara. Sehingga penting untuk memastikan adanya perlindungan bagi masyarakat adat.
Skema Hutan Adat Belum Ideal tapi Memanfaatkan Skema yang Tersedia
Yance Arizona Dosen Universitas Gadjah Mada mengatakan pentingnya Perda masyarakat adat sebenarnya bukan sebagai hal ideal. Namun sekadar jalan untuk menjawab persoalan yang terjadi saat ini bahwa ada permasalahan konflik agraria.
Konflik agraria ini sebenarnya sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda. Masa itu ada anggapan bahwa hanya negara yang dapat mengurus hutan sedangkan masyarakat merusak. Ditambah lagi, UU kehutanan dan kebijakan kawasan hutan kesepakatan yang menempatkan masyarakat sebagai ancaman. Sekarang pemerintah membuat banyak skema misalnya perhutanan sosial dan tanah komunal. Sayangnya, dari banyak skema yang dibuat realisasi pada skema hutan adat masih sangat sedikit dibandingkan skema lain.
Bagi Yance, modal utama masyarakat adat adalah persatuan. Yance memberikan saran agar pertemuan ini dibuat formal dengan pemangku kepentingan untuk membuat kesepakatan tentang komitmen agar merealisasikan perda. Di Humbang Hasundutan kemungkinan akan lebih mudah karena sudah adat contoh Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah.
Perjuangan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta tidak mudah. Sejak 2016 mereka sudah berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas tanah adat mereka bahkan hingga menyebabkan korban kekerasan dan kriminalisasi. Pandumaan-Sipituhuta bukan hanya jadi contoh di lokal tapi nasional.
Saat ini momentum politik yang tepat untuk mendorong pemerintah untuk perda perlindungan masyarakat adat. Bahkan masyarakat harus mendorong Bupati untuk membuat panitia pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
“Ini memang bukan yang paling ideal, tetapi hanya ini mekanisme saat ini yang tersedia dan bisa digunakan”, tegas Yance.
Senada dengan Yance, Guntur Simamora Anggota DPRD mengatakan bahwa saat ini merupakan momentum politik yang tepat. Guntur berharap hasil dari pertemuan ini dapat menghasilkan pemahaman masyarakat adat untuk segera mendorong secara bersama-sama pemerintah daerah. Karena menurutnya, jika hanya mengharapkan pada DPRD saja maka akan sulit dan sangat panjang.
Tulus Sinambela perwakilan dari Naposo Pature Bona yang juga merupakan pemuda adat Pandumaan-Sipituhuta mengatakan pentingnya perlindungan terhadap masyarakat adat. Meski, Pandumaan-Sipituhuta sudah mendapat pengakuan, menurutnya perlindungan harus diberikan kepada semua masyarakat adat tanpa terkecuali.
Ia menegaskan bahwa perlindungan masyarakat adat bukan hanya untuk melindungi kesejahteraan masyarakat namun juga melindungi hutan adat. “Kalau orangtua kami sebagai masyarakat adat dirampas hak-haknya, bagaimana kami sebagai pemuda adat bisa sejahtera. Perlindungan terhadap masyarakat adat juga melindungi generasi muda dan pemuda adat!”, serunya. ***