(Catatan Lokakarya: Tata Kelola Wilayah Adat untuk Masyarakat Adat yang Berdaulat dan Sejahtera)
Tatkala wilayah adat diakui oleh negara secara hukum, hal yang paling mudah dipahami adalah bahwa masyarakat adat yang hidup di wilayah tersebut telah sah untuk menguasai dan mengelolanya secara mandiri. Mudah karena memang itulah tujuan dari pada perjuangan masyarakat adat.
Di samping hal tersebut, Masyarakat adat harus mahfum bahwa ditempuhnya mekanisme pengakuan administratif akan mengintegrasi masyarakat adat dan wilayahnya dengan sistem hukum dan kebijakan negara. Termasuk dalam bidang pertanahan, Masyarakat Adat yang diakui berdasarkan peraturan atau keputusan administrasi negara juga harus berupaya menyesuaikan ketentuan adat dengan hukum positif. Ini tentu bukan tanpa masalah, karena Hukum Adat dan Hukum Positif sama-sama memiliki kekuatan mengikat terhadap anggota komunitas Masyarakat Adat.
Paling tidak, hal-hal tersebutlah yang melatarbelakangi KSPPM menyelenggarakan Lokakarya “Tata Kelola Wilayah Adat Untuk Masyarakat Adat yang Berdaulat dan Sejahtera” pada Selasa, 21 November 2023 di Balige.
Lokakarya ini menghadirkan Jonris Simanjuntak dari Komunitas Masyarakat Adat Onan Harbangan-Nagasaribu yang sudah memperoleh SK Pengakuan masyarakat adat dari Bupati dan SK Hutan Adat dari KLHK, Delima Silalahi (Direktur Program KSPPM), Eko Cahyono (Sajogyo Institute), Yance Arizona (Dosen Fakultas Hukum UGM), serta Audi Murphy Sitorus (Staf Ahli Bupati Toba). Lokakarya ini dipandu oleh Marsen Sinaga (Toba Initiatives),
“Sebenarnya Masyarakat Adat Batak memiliki tata kelola wilayah yang sempurna. Di mana terdapat tujuh unsur dalam tata ruang wilayahnya yakni: parhutaan (pemukiman), pangkaisan ni manuk (halaman), sawah atau ladang, parjampalan ni horbo (penggembalaan ternak), parbandaan (pemakaman), mual (sumber air), tobat (kolam ikan), hingga harangan (hutan). Hampir di semua komunitas ada tata ruang wilayah adatnya hingga saat ini. Hak kepemilikan juga sudah sempurna, ada komunal dan juga pribadi. Dalam pengelolaannya juga masyarakat adat memiliki pertimbangan ekologis, keberlanjutan, dan komunalisme (kebersamaan). Itulah 3 nilai yang masih dipegang sampai saat ini”, ujar Delima Silalahi
Ia pun menegaskan bahwa nilai-nilai dan kearifan itu tidak hanya kontekstual di masa lampau, bahkan masih relevan menghadapi tantangan masa kini seperti krisis iklim dan krisis pangan. Tantangan yang justru amat sulit dihadapi menggunakan kacamata pembangunanisme.
“Tetapi yang penting untuk dijawab juga adalah kesejahteraan macam apa yang bisa dibuahkan oleh nilai-nilai tersebut?” Marsen Sinaga bertanya lebih lanjut.
Delima pun menegaskan bahwa kesejahteraan Masyarakat Adat tidak bisa diukur dengan uang, melainkan kegembiraan, kenyamanan, dan jaminan rasa aman. Ini yang membuat pemerintah sulit memahaminya, karena narasi pembangunannya tidak mampu mengukur kesejahteraan Masyarakat Adat.
“Pernah satu pengembang berkata ke komunitas ‘apa artinya tanah ini? Kenapa tidak diserahkan ke pengembang untuk lebih menghasilkan secara ekonomi?’ perempuan adat menjawab ‘tanah ini tidak bisa diukur dengan uang. Kebahagiaan kami tidak bisa diukur dengan uang’. Bahkan pada saat kami berjalan kaki bersama pemuda adat melintasi hutan dan pemukiman adat, kami menemukan bahwa di daerah-daerah yang disebut tersentuh Pembangunan karena dekat dengan wilayah Perusahaan, justru masyarakatnya lebih miskin, karena ternyata Pembangunan justru meningkatkan pengeluaran dan membuat mereka konsumtif” cerita Delima.
Cerita tersebut ditimpali oleh Marsen, yang pernah membaca sebuah ungkapan Eme Jumpa Eme yang bermakna Masyarakat Adat memiliki sumber pangan yang berlimpah yang bahkan masih bersisa sampai musim panen berikutnya. Ini menurutnya adalah tanda bahwa kesejahteraan Masyarakat Adat bukan uang ukurannya, tapi kedaulatan. Mereka tidak peduli dinamika pasar, karena mereka berdaulat secara subsisten.
“Masyarakat Adat harus percaya diri mengatakan ‘kami punya makna kesejahteraan yang berbeda, bukan seberapa besar uang kami, tapi seaman dan senyaman apa kehidupan kami” ujarnya.
Hal senada ternyata diutarakan oleh Jonris Simanjuntak dari komunitas Masyarakat Adat Nagasaribu. Ia mengatakan Masyarakat Adat Nagasaribu tidak sulit memaknai kesejahteraan. Kemenyan sudah tua, tanam lagi. Pembagian lahan persawahan juga adil mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan tiap rumah tangga.
“Boleh datang ke Nagasaribu, tidak ada yang beli beras di situ” tegas Jonris.
Ia juga menyatakan bahwa kehadiran negara tidak sepenuhnya baik. Justru di beberapa hal, kehadiran tersebut memiliki efek samping. Ia bercerita soal konflik horizontal yang terjadi di komunitasnya karena pemahaman yang berbeda dalam menafsirkan hukum negara.
Menurutnya, negara cukup mengakui hak-hak Masyarakat Adat dan memenuhi kewajibannya sebagai pemerintah. Negara tidak perlu ikut campur terlalu jauh, karena Masyarakat Adat sudah memiliki kearifan-kearifan untuk memastikan kesejahteraannya.
Ternyata, kenyataan yang terjadi di Nagasaribu dan kesehariannya tidak jauh berbeda dengan kearifan-kearifan lain di Masyarakat Adat yang berbeda. Hal ini disampaikan oleh Eko Cahyono dari Sajogyo Institute yang sudah turut dalam kajian atas masyarakat adat di tempat yang berbeda-beda.
“Dalam hal kesejahteraan, benar bahwa Masyarakat Adat tidak menggunakan ukuran uang atau pemaknaan ekonomi klasik. Misalnya di Papua, sagu itu bukan sekadar pangan. Sagu memiliki posisi penting dalam tradisi, dan juga merupakan identitas. Sehingga ketika Sagu diganti menjadi sawit atau tambang misalnya, ganti rugi material tidak akan pernah cukup; karena hilangnya Sagu bukan hanya setara dengan hilangnya pangan, tetapi budaya juga hilang, tradisi juga hilang” ujar Eko.
Ia juga menyoroti pandangan umum yang seolah menganggap ekologi dan ekonomi tidak bisa berjalan beriringan. Seolah jika ingin mendapatkan kelestarian ekologi, harus mengorbankan kesejahteraan ekonomi, dan sebaliknya.
“Di salah satu Masyarakat Adat di Ambon, ada sasi (larangan adat) yang di mana melarang anggota komunitas untuk memanen lobster, dan hasil laut lain sebelum panen tahunan yang dilakukan secara bersama-sama. Ternyata dengan sistem ini, hasil panen malah lebih melimpah dan bernilai tinggi, serta menjaga keberlanjutan sumber daya laut. Artinya ekologi dan ekonomi itu bisa berjalan beriringan” tegas Eko.
Marsen Sinaga kemudian mengajak peserta untuk bertanya apakah kewenangan untuk menafsirkan kesejahteraan harus diserahkan ke pihak luar atau dimaknai sendiri. Jika ingin dimaknai sendiri, Masyarakat Adat perlu berani untuk secara terbuka menyatakan dan menyebarluaskan pemaknaan kesejahteraan mereka.
Hal lain yang disorotinya adalah bahwa anggapan Masyarakat Adat akan kesatuan dirinya dengan alam adalah unsur penting dalam diri Masyarakat Adat. “Saya semakin yakin, penghayatan demikian, bukan hanya mengamankan kebutuhan hidup dalam waktu tertentu, namun ternyata membuat manusia semakin bahagia” pungkasnya.
Kehadiran Negara dalam Pengakuan Masyarakat Adat
Diskusi berlanjut pada soal tantangan masa kini dan masa depan yang akan dihadapi Masyarakat Adat dalam konteks perkembangan hukum Indonesia. Apakah ia bisa bertahan, atau justru akan tergerus?
Menanggapi hal ini, Yance Arizona yang merupakan Dosen di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang banyak melakukan kajian soal Masyarakat Adat, menarik pembahasan ke Sejarah pengakuan dan keberadaan Masyarakat Adat dari masa kolonial. Ia memaparkan, bahwa Pemerintah Hindia Belanda memahami Masyarakat Adat sebagai suatu satuan pemerintahan adat yang disebut sebagai Masyarakat Hukum Adat. Penyebutan ini untuk mengasosiasikannya sebagai subjek hukum. Jadi Masyarakat Hukum Adat berkumpul dalam satuan pemerintahan, dengan nama adat sebelum disebut desa.
“Tapi perlu kita pahami, bahwa Masyarakat Adat sudah hadir lama sebelum Republik berdiri bahkan sebelum masa kolonialisme. Jadi, bukan masyarakat adat yang merupakan bagian dari negara, tetapi negara yang hadir memaksa mereka tunduk pada hukum negara dengan penyebutan Masyarakat Hukum Adat untuk mengasosiasikan mereka sebagai subjek hukum yang tunduk pada hukum negara” tegas Yance.
Pun demikian, Yance melihat persoalan organisasi tidak lebih signifikan dari pada persoalan tanah, karena hubungan Masyarakat Adat dengan tanah itu sangat spesial. Menurutnya, organisasi bisa diotak-atik bahkan digerus oleh hukum negara, tetapi tidak dengan tanah. Perlawanan Masyarakat Adat umumnya muncul karena tanahnya diganggu.
“Kemudian terkait munculnya friksi-friksi horizontal di antara Masyarakat Adat pasca pengakuan, saya rasa yang perlu dipikirkan adalah memastikan perhatian terhadap hak individu sama pentingnya dengan hak komunal, itu harus dimunculkan di internal komunitas. Dari kasus Nagasaribu kita harus belajar untuk menyebarluaskan dan meluruskan pemahaman, karena ini kasus pertama, harus ada upaya pencegahan kesalahpahaman yang memicu konflik” saran Yance.
Mempertanyakan Komitmen Pemerintah Kabupaten Toba
Atas pemaparan empat pembicara sebelumnya, Marsen kemudian memberikan kesempatan untuk Audi Murphy Sitorus mewakili Pemerintah Kabupaten Toba. Perlu dicatat, sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Toba belum sekalipun menindaklanjuti permohonan pengakuan Masyarakat Adat.
“Apa masalah dalam pengakuan Masyarakat Adat secara umum, dan sesungguhnya apa kesulitan dari pihak Pemerintah Kabupaten Toba sehingga belum sekalipun menindaklanjuti permohonan pengakuan? Apakah cita-cita kesejahteraan di bayangan pemerintah sejalan dengan pengakuan Masyarakat Adat?” tanya Marsen.
Murphy menjawab bahwa untuk mensejahterakan rakyat adalah unsur yang niscaya dimiliki oleh setiap pemerintahan.
“Tapi yang perlu dicatat, adanya suatu aturan juga adalah unsur penting dari suatu negara maupun pemerintahan. Kita semua di sini terikat pada hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sama-sama penting” tambahnya.
Ia juga membenarkan telah banyak komunitas yang mengajukan permohonan pengakuan ke Pemerintah Kabupaten Toba, namun dia mengatakan segala sesuatu dalam proses itu terikat dengan hukum yang ada.
“Kalau semua sudah sesuai hukum yang ada, pasti kami akui. Persoalannya, coba kawan-kawan baca Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014, itu persyaratannya sulit sekali. Kami juga tidak mau tersandung kasus hukum. Jadi saran saya, mari sama-sama kita minta untuk Peraturan tersebut ditinjau dan dilonggarkan” ujar Murphy.
Menanggapi hal tersebut, Yance mengatakan bahwa syarat-syarat yang dimaksud oleh Murphy tersebut bukanlah syarat yang mutlak harus dipenuhi, melainkan unsur-unsur yang “perlu dicermati”, jadi ia perlu dideskripsikan, ia perlu dijelaskan.
“Power of Definition sangat penting di sini. Kemampuan pemerintah daerah untuk menafsirkan peraturan secara kontekstual sangat penting. Di daerah lain, karakteristik Masyarakat Adat yang diakui itu tidak seragam, karena pemerintah daerahnya coba mengkontekstualisasi penafsiran peraturan tersebut. Tapi jika pun memang itu tetap dianggap tantangan, silakan Pemerintah Toba memfasilitasi masyarakatnya untuk meninjaunya” ujar Yance.
Tanggapan Masyarakat Adat
Moderator memberikan kesempatan kepada peserta yang didominasi Masyarakat Adat untuk memberikan tanggapannya.
“Terkait adanya gugatan terhadap SK rekan juang kami di Nagasaribu, kami tidak yakin itu konflik sesama mereka. Pasti ada Perusahaan yang ada di baliknya, bukan konflik karena SK. Jadi, kami tetap berharap kepada pemerintah Kabupaten Toba untuk mengakui kami. Sebenarnya proses ini sudah berulang-ulang kami kerjakan. Dari dulu, kenapa tidak ada kelonggaran kepada masyarakat, terlalu keras kepada Masyarakat. Menurut kami Permendagri itu sudah kami penuhi, tinggal pemerintah kabupaten yang harusnya memberikan kelonggaran” ujar Rudolf Pasaribu, perwakilan Masyarakat Adat Pomparan Ompu Nasomalomarhohos Pasaribu, Natinggir.
Hal ini ditimpali oleh Edi Piater Pasaribu dari Komunitas Masyarakat Adat Pomparan Ompu Raja Enduk Pasaribu, Lintong. Ia mengatakan, di Kawasan Danau Toba, hanya di Kabupaten Toba belum ada Masyarakat Adat yang belum diakui.
“Semua dokumen dan persyaratan yang bapak minta sudah ada, sudah lengkap. Tetapi, pertanyaannya, kok pemerintah tidak ada niat baik untuk menjelaskan apa yang belum lengkap. Jadi kami sudah hilang kepercayaan kepada pemerintah Toba. Saya duga, karena ada wilayah suatu perusahaan besar di Toba, berarti ada sesuatu antara pemerintah dengan Perusahaan” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Murphy menyebutkan Perusahaan itu bagaikan orang yang menyewa rumah, ada hak dan kewajiban di dalamnya yang harus dipenuhi. Ia juga mengatakan Pemerintah Kabupaten Toba tidak untung apa-apa dari Perusahaan, karena izinnya dari pusat.
Hal itu langsung ditanggapi oleh Delima Silalahi. “Jangan bersembunyi di balik itu izinnya dari pemerintah pusat. Ada otonomi daerah, pemerintah daerah bisa mendesak pemerintah pusat. Izin konsesi bisa diubah, konstitusi saja bisa diamandemen” bantah Delima.
Terakhir, Jonris Simanjuntak mengatakan bahwa pengakuan terhadap Masyarakat Adat tidak akan merugikan pemerintah, justru akan menguntungkan. Hal ini menanggapi pemaparan Eko Cahyono yang mengatakan terdapat kajian yang membuktikan secara ekonomi, Masyarakat Adat bisa lebih menguntungkan.
”Peneliti dari UI, IPB, UNPAD pada Januari-April 2018 pernah melakukan riset di 6 Masyarakat Adat. Hasilnya, hitungan kumulatif pendapatan masyarakat adat itu dua kali lipat dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Ini berangkat dari konteks pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo bahwa mengurus Masyarakat Adat itu merugikan negara. Kajian ini menunjukkan bahwa pengakuan terhadap MA tidak merugikan negara” ujar Eko Cahyono.
Para pembicara sepakat bahwa Political Will dari Pemerintah Daerah sangat sentral dalam perjuangan pengakuan Masyarakat Adat.***