Leorana Sihotang & Dion Pardede
Danau toba dengan keindahan alamnya saja adalah sebuah atraksi. Atraksi yang mampu membuat orang rela merogoh kocek untuk menikmatinya. Hal inilah yang ditangkap oleh pemerintah sebagai sumber pendapatan negara. Pengamatan itu kemudian mewujud pada penataan regulasi guna mendukung pembangunan pariwisata.
Lewat Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional 2010-2025, ditetapkan 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di Indonesia. Danau Toba menjadi salah satu dari 10 destinasi prioritas yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah Indonesia telah berinvestasi dalam pembangunan pariwisata di kawasan Danau Toba untuk meningkatkan pendapatan negara.
Namun, polemik baru layak dimunculkan melihat luaran dari ambisi tersebut. Pengembangan pariwisata secara jor-joran memiliki kecenderungan untuk menabrakkan diri dengan wilayah kehidupan rakyat. Benturan darinya menjadikan modifikasi ruang tidak terhindarkan. Bukan sekadar berubahnya ruang secara fisik, namun juga secara sosial. Lebih-lebih ketika pariwisata dipandang sebagai sektor strategis untuk penanaman modal. Sangat strategis hingga cukup kuat untuk menyingkirkan konsep kehidupan penduduk asli secara sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya menempatkan sektor pertanian yang dihidupi masyarakat lokal sehari-hari dalam posisi yang kalah penting.
Masih pada soal itu, perlu ditekankan bahwa sektor pertanian merupakan sumber pendapatan utama penduduk di kawasan Danau Toba, termasuk Kabupaten Samosir. Berdasarkan data BPS Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir, persentase pekerjaan sektor pertanian adalah lebih dari 50 %. Namun sayangnya dukungan untuk sektor pertanian masih jauh tertinggal dari sektor pariwisata. Padahal, pertanian adalah sektor yang benar-benar dipahami dan dihidupi selama bertahun-tahun oleh masyarakat Samosir di atas ruang yang kini diproyeksikan sebagai objek wisata. Inilah yang akan kita pahami sebagai modifikasi ruang sosial.
Kebijakan pariwisata dan modifikasi ruang dalam perjalanannya perlu kita pandang secara lebih kritis, bahkan perlu kita uji. Tulisan ini akan melihat betapa pengembangan pariwisata tanpa modifikasi ruang sosial berlangsung di Desa Wisata Hariara Pohan, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir.
Dalam tulisan ini, mari memikirkan ulang bagaimana ruang dijadikan arena kontestasi, dan bagaimana seharusnya kita menyikapinya. Hariara Pohan akan membantu kita untuk melihat ruang secara lebih komprehensif.
Ruang di tengah kontestasi Pariwisata dan Pertanian
Sebelumnya sudah kita pahami, bahwa ambisi pengembangan pariwisata di Kawasan Danau Toba telah dan berpotensi untuk menyingkirkan sektor pertanian. Padahal, jika pun pariwisata mampu berkontribusi pada pendapatan negara secara signifikan, kebijakan ini juga menyisakan kekhawatiran akan penajaman ketimpangan.
Peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata hanya akan menempatkan segelintir pelaku usaha sebagai penerima manfaat paling dominan. Utamanya yang memiliki modal ekonomi, dan modal politik daerah seperti akses informasi, dan jejaring dengan pemerintah. Lebih-lebih, pengembangan pariwisata yang melibatkan pemodal kerap dilaksanakan tanpa partisipasi aktif masyarakat. Kurangnya partisipasi dapat terjadi dalam perencanaan, pengelolaan, pengawasan/manajemen, atau bahkan sama sekali tidak dilibatkan dalam ketiganya.
Ini berkaca dari pengalaman bagaimana pemerintah menyetir pengembangan pariwisata di Kawasan Danau Toba. Tercatat, pengembangan pariwisata telah meletakkan masyarakat adat dan petani pada posisi yang semakin rentan.
Mari melihat apa yang terjadi pada wisata Kaldera di Sigapiton, Kabupaten Toba. Sigapiton menjadi salah satu contoh praktik perampasan tanah di wilayah adat atas nama Pembangunan. Bagaimana tidak, masyarakat sendiri tidak pernah tahu atau dilibatkan dalam rangkaian perencanaan pembangunan di atas tanah mereka sendiri. Pembangunan yang bersifat top down ini diperlukan oleh pemerintah dan pemilik modal untuk melancarkan modifikasi ruang sosial.
Henri Lefebvre (1991), seorang sosiolog dan geografer Prancis menyebut bahwa kompetisi lah yang dapat mengubah absolute space (ruang absolut) menjadi pewujudan dari pada abstract space (ruang abstrak). Mengubah ruang absolut yang dihidupi dalam keseharian suatu komunitas penduduk, menjadi ruang yang merupakan hasil abstraksi untuk pemenuhan kepentingan akumulasi kapital.
Tak terkecuali pengembangan industri pariwisata, sebagaimana terjadi di Sigapiton. Seringkali, demi memaksimalkan akumulasi kapital, pariwisata dibangun sebagai suatu konsep baru untuk menggantikan ruang yang dipersepsikan (perceived), dipahami (conceived), dan dihidupi (lived) oleh masyarakat selama bertahun-tahun (absolute space). Singkatnya, suatu wacana (ruang abstrak) ditujukan untuk membuat suatu wilayah menjadi lebih ‘menguntungkan’.
Ruang yang dihidupi masyarakat Sigapiton untuk pemukiman, aktivitas budaya dan pertanian dalam prosesnya berkontestasi dengan wacana ruang abstrak tersebut. Dan ruang abstrak memenangkan kontestasi ini. Alih fungsi lahan pun terjadi, yang dulunya merupakan lahan pertanian kini berubah menjadi penyokong pariwisata; seperti hotel, homestay, dan akomodasi pariwisata lainnya.
Dalam dunia di mana akumulasi kapital di atas segalanya, pariwisata dianggap selalu membutuhkan intervensi dari pemodal, mulai konsep hingga pelaksanaannya. Praktik sehari-hari dari suatu ruang dengan potensi pariwisata dianggap perlu diabstraksi ulang dalam rangka pembangunan pariwisata.
Jika diterjemahkan, sebenarnya wacana-wacana tersebut bermaksud menyediakan ruang penyuntikan kapital. Praktik sehari-hari harus diubah, supaya lebih menguntungkan. Di sinilah kontestasi mewujud, antara ruang absolut dengan ruang abstrak; antara praktik ruang masyarakat dengan wacana bentukan para peneliti, pemerintah, dengan semangat dari pemodal.
Belajar kedaulatan ruang dari Hariara Pohan
Ruang adalah arena kontestasi. Sekalipun ia telah dihidupi (lived), dipahami (conceived), dan dipersepsikan (perceived) selama bertahun-tahun oleh penetap pertama atau penduduk asli, kompetisi akan selalu berlangsung, sepanjang ada antagonisme kepentingan. Umumnya – sebagaimana juga terjadi di Sigapiton – kontestasi dimulai di tingkatan wacana atau bagaimana sebuah ruang dipahami (conceived space). Sigapiton dikalahkan dalam kontestasi ini, sehingga mereka kehilangan ruang sosialnya.
Namun berbeda yang terjadi dalam kontestasi ruang dalam pembangunan di Desa Hariarapohan, Sihotang.
Desa Hariara Pohan secara admnistrasi terletak di Kenegerian Sihotang, Kecamatan Harian Kabupaten Samosir. Kenegrian Sihotang juga dikenal sebagai Rura Sihotang yang artinya Lembah, kumpulan desa yang diapit bukit-bukit dan menghadap ke pesisir Danau Toba. Secara umum masyarakat Sihotang khususnya Desa Hariarapohan mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama keluarga hingga saat ini.
Mulai 2015, Bukit Holbung, salah satu objek dengan potensi wisata di Hariara Pohan, mulai mendulang popularitas. Selain itu desa ini menjadi salah satu tanah marga asal mula persebaran Sihotang, sehingga meninggalkan banyak cerita dan situs bersejarah bagi masyarakat desa. Potensi tersebut juga ditangkap oleh pemerintah dan masyarakat desa sebagai alternatif ekonomi.
Yang jadi menarik adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat desa menindaklanjuti potensi tersebut. Pemerintah desa bersama dengan masyarakatnya merencanakan konsep pengembangan wisata secara mandiri dengan mengangkat lokalitas yang masih ada. Tidak ada alih fungsi lahan, atau perubahan ritme keseharian masyarakat. Singkatnya, tidak ada modifikasi ruang yang signifikan.
Ini juga terlihat dari atraksi beserta paket wisata yang mereka tawarkan. Makanan yang disajikan kepada pengunjung pun adalah sama dengan yang sehari-hari mereka konsumsi; seperti Ikan na di Sorbukan, arsik, tombur, pinadar, ubi rebus, aek sira, tipa-tipa, sasagun dll.
Menurut Pak Alusdin Sihotang sebagai pelaku wisata di Desa
“kami hanya akan menawarkan potensi yang ada dan budaya kita karna keunikan budaya itu membuat pengunjung datang” pungkasnya.
Begitu juga dengan konsep homestay yang memberdayakan Jabu bolon milik masyarakat, yang dikelola secara kolektif. Pengembangan wisata ini juga telah berdampak pada penambahan mata pencaharian masyarakat seperti warung, rumah makan, termasuk UMKM olahan makanan dari padi dan pisang.
Desa wisata Hariara pohan dikmebangkan lewat usaha BUMDes dan menjadi contoh sukses di Kabupaten Samosir. Meskipun menurut Piatur Sihotang selaku mantan Kepala Desa bahwa Bumdes Hariarapohan tidak mendapat penyertaan modal ataupun dukungan pemerintah Kabupaten layaknya destinasi wisata di Desa lain.
Sebagai contoh, dalam persoalan pengelolaan sampah, mereka tak mendapat dukungan dari pemerintah daerah dalam bentuk pengadaan tempat sampah ataupun angkutan sampah. Akhirnya, masyarakat secara mandiri mengembangkan konsep pengolahan sampah bekerjasama dengan pihak yang memiliki perhatian pada masalah tersebut seperti Roda Hijau.
Bicara soal kemandirian, pendapatan BUMDes Hariara Pohan juga tergolong tinggi dengan rata-rata 300 juta setiap tahunnya di mana 20% nya menyumbang ke Pendapatan Asli Desa (PADes).
Kedaulatan ruang
Pengelolaan wisata berbasis komunitas ini menjadi contoh bagi pengembangan wisata di desa lain, dengan meletakkan masyarakat sebagai subjek utama dalam perencanaan pembangunan. Wisata menjadi ‘bonus’ kala masyarakat tetap menjalankan aktivitas pertanian dan budayanya.
Kontestasi ruang penting dipahami guna merumuskan daya tahan, konsep perlawanan, dan memperjuangkan kedaulatan. Dalam Production of Space (1991) Lefebvre mengobservasi kota untuk melihat kontestasi ruang, ia kemudian menerjemahkan kedaulatan ruang sebagai hak atas kota (right to the city).
Meskipun Lefebvre menjadikan kota sebagai objek observasinya, namun konsep hak atas kota pada soal ini dapat kita maknai sebagai kedaulatan atas ruang, termasuk ruang sosial di pedesaan. Praktik Hariara Pohan sebagai desa wisata memiliki dimensi kedaulatan ruang. Terlihat dari bagaimana mereka mempertahankan absolute space di tengah gencarnya wacana ruang abstrak dalam kebijakan pariwisata. Wisatawan dalam konteks ini bukan sekadar ditawarkan atraksi ruang secara fisik, melainkan ruang sosial sebagaimana dipersepsikan, dipahami, dan dihidupi oleh masyarakat dalam kesehariannya.
Kita juga melihat kedaulatan ruang dalam bagaimana mereka menciptakan konsep desa wisata secara mandiri. Mulai dari perencanaan, pengelolaan, hingga pengawasan terhadap berjalannya konsep tersebut. Tidak ada praktik spasial yang berubah, adapun kontribusi wacana luar dalam pembangunan desa wisata ini hanyalah bagaimana wisatawan memandang praktik spasial tersebut sebagai atraksi. Inilah mengapa konsep pariwisata berbasis kedaulatan ruang ini dapat dipandang sebagai praktik baik.
Pariwisata harus dibangun di atas ruang sebagaimana dipersepsikan, dipahami, dan dihidupi penduduk asli.
Divisi Studi dan Advokasi