Senin, 27 Mei 2024 KSPPM bersama dengan gereja HKBP Distrik VII Samosir dan organisasi lokal Punguan Pomparan Raja Sigodang Ulu Sihotang Dohot Boruna Indonesia (PPRSSBI) di Sihotang melaksanakan diskusi publik dengan tajuk “Samosir Darurat Bencana Ekologis” di Gereja HKBP Sihotang I Desa Siparmahan, Kenegerian Sihotang, Kecamatan Harian, Samosir.
Daerah Samosir yang berada di kawasan Danau Toba terbentuk oleh letusan gunung berapi raksasa. Topografi dan geologi yang unik ini membuat kawasan ini rentan terhadap bencana alam seperti tanah longsor, erosi tanah, dan bahkan gempa bumi. Sialnya, kerentanan ini justru diperparah aktivitas manusia.
Deforestasi yang berlangsung lama dan terjadi secara masif oleh aktivitas perusahaan ekstraktif menjadi salah satu penyebab utama dari krisis iklim dan kerawanan bencana ekologis di seluruh dunia, termasul di Kawasan Danau Toba. Fenomena ini tidak hanya mengancam keberlanjutan lingkungan, tetapi juga kehidupan manusia dan ekosistem secara keseluruhan.
KSPPM mencatat rentetan bencana lingsungan yang terjadi sejak 2010 telah menghilangkan nyawa sejumlah penduduk, merusak harta benda, dan lahan pertanian masyarakat, merupakan imbasnya. Contoh yang terjadi di Kabupaten Samosir adalah Desa Sabulan dan Ransang Bosi, Kecamatan Sitiotio, (29 April 2010); Desa Bonan Dolok, Kecamatan Sianjur Mulamula (8 Maret 2018); Desa Habeahan Naburahan, Desa Aek Sipitudai, dan Desa Sarimarihit, Kecamatan Sianjur Mulamula (21 Maret 2019); Desa Buntu Mauli I dan Ransang Bosi, Kecamatan Sitiotio, (3 Mei 2019); dan Desa Holbung, Kecamatan Sitio-Tio (8 Desember 2019), Sianjur Mula-mula (18 Desember 2022), Desa Siboro (3 Mei 2023), Desa Sabulan, Kenegrian Sihotang, Desa Harian Boho (November 2023).
Diskusi ini menjadi salah satu ruang berbagi pemahaman atas fenomena bencana yang terjadi belakangan ini dari berbagai perspektif seperti pemerintah, pemerhati lingkungan, gereja dan masyarakat.
Pada kegiatan tersebut turut hadir dari pihak Pemerintah Kabupaten yang diwakili oleh Hotraja Sitanggang sebagai (Asisten II Bupati Samosir), Edison Pasaribu (Kepala Dinas Lingkungan Hidup), Sarimpol Manihuruk (Kepala BPBD), selain itu turut hadir pemerhati lingkungan seperti KSPPM dan ICEL, pihak gereja yaitu Pdt Rein Justin Gultom, Praeses HKBP Distrik VII Samosir, dan tentu pada kesempatan tersebut juga turut hadir masyarakat Sihotang, perwakilan masyarakat Sitio-tio yang merupakan korban terdampak bencana ekologis di Samosir.
Diskusi tersebut diawali dari pengalaman para korban bencana, seperti Ibu Dewi Saragih yang berasal dari Desa Buntu Mauli, Kecamatan Sitio-tio. Ketika terjadi banjir pada tahun 2019 lalu, ketika beliau dalam kondisi baru melahirkan menjadi momen yang meninggalkan trauma hingga saat ini. Selain mengalami kerugian karena lahan pertanian yang rusak, kejadian tersebut juga memakan korban jiwa. “Lahan pertanian kami yang terdampak sudah dikur pemerintah namun higga kini belum ada semacam ganti rugi” ucap Ibu Dewi.
Tidak jauh berbeda disampaikan oleh Oppung Intan Silalahi, yang merupakan korban bencana yang baru terjadi pada November 2023 di Desa Sihotang. Tidak hanya harus mengalami kerusakan lahan akibat terbawa arus banjir beliau juga kehilangan rumah juga kehilangan istri yang meninggalkan duka yang dalam pada keluarga Oppung Intan.
“Saya menerima santunan 15 juta, saya bersyukur akan perhatian tersebut namun dibandingkan kerugian saya itu tidak cukup karena saya sudah kehilangan mata pencaharian, saya harus beli tanah dan membangun gubuk, rasanya sangat tak sebanding” tegas Oppung Intan.
Bencana yang terjadi khususnya di Sihotang, tidak terlepas dari aktifitas deforestasi yang terjadi secara massiv di Hutan Tele yang merupakan hulu Desa tersebut.
Sebagaimana diungkap oleh Sartono Sihotang yang merupakan masyarakat Sihotang, korban bencana, dan juga salah satu tim masyarakat yang melakukan investigasi penyebab banjir.
“Saya melihat debit air yang sangat besar. Air ini bersumber akibat dari penebangan yang besar besaran hutan di Tele, Desa Huta galung oleh Perusahaan TPL. Walaupun ada ijinnya, menurut saya ada aturan yang dilanggar karna dipanen secara terus menerus. Kita melihat bencana ini bukan sebagai bencana alam, namun bencana yang diakibatkan ulah manusia atau bencana ekologis” tutur Sartono.
Pada kesempatan tersebut Sartono juga menyampaikan ada 3 tuntutan masyarakat Sihotang pada saat Demonstasi Tutup TPL Sektor Tele, 14 Desember 2023. Seperti menutup TPL di Sektor Tele, melakukan perbaikan dan ganti rugi kerusakan lahan pertanian. Namun, tuntutan tersebut dirasa masyarakat belum sepenuhnya di lakukan dan diseriusi. Sartono pun menagih janji Pemerintah untuk melakukan investigasi mengetahui kaitan Perusahaan TPL dengan penyebab banjir.
“Rangkaian bencana tersebut menjadi fenomena yang terjadi akibat dari krisis perubahan iklim elnino dimana cuaca tidak bisa diprediksi, suhu ekstrem, hujan atau kemarau yang berkepanjangan, akibat aktivitas manusia” ungkap Edison Pasaribu. Edison Pasaribu juga menyatakan bahwa aktivitas pertanian masyarakat lah yang paling berperan besar dalam mengakibatkan krisis iklim, termasuk di kawasan hutan Sihotang hingga Tele. Meskipun pernyataan tersebut mendapat pertentangan dari Delima Silalahi yang menyatakan bahwa lahan yang dikelola masyarakat tidka sebanding dengan ribuan hektar tanah yang selama ini di eksploitasi oleh TPL di Tele.
Menurut Edison Pasaribu pemerintah Kabupaten Samosir telah menyarankan kepada pihak KLHK agar tidak lagi menenam eklaiptus di Hutan Tele dan menggantinya dengan tanaman pohon lebar atau tanaman produktif.
“Terdapat sekitar 2000 hektar dari konsesi yang dihutankan kembali. Pada saat ini kita membahas KLHS RPJMD 5 tahun kedepan, kita fokus pada penataan ruang sehingga rencana pembangunan kedepan harus mempertiimbangkan lingkungan. Harapan kita pada calon bupati baru akan mempertimbangkan KLHS yang disusun” tambah Edison.
Sedangkan Hotraja menyampaikan bahwa pemerintah kabupaten sudah melakukan beberapa Upaya dalam merespon bencana banjir bandang Sihotang seperti bantuan pangan, Kesehatan serta melakukan perbaikan lahan pertanian, dan normalisasi Sungai oleh BWS yang menurutnya belum maksimal karena adanya keterbatasan APBD. “Bupati tidak lagi memiliki kewenangan mengenai kawasan hutan sudah berada dibawah kewenangan KLHK. Kebijakan yang dilakukan daerah, alokasi dana kita di APBD terkait bencana tidak masksimal, APBD kita tidak sampai 1 Triliun sehingga tidak memadai untuk penanganan bencana” ungkap Hotraja Sitanggang.
Menurut Hotraja pemerintah belum ada kekuatan mengatakan bahwa bencana tersebut akibat penebangan yang dilakukan oleh TPL. Meskipun masyarakat sudah melakukan penjajakan ke sumber banjir dan melakukan investigasi tetapi pemerintah belum berani dan percaya pada temuan masyarakat dengan dalih tidak ilmiah.
Tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Sarimpol Manihuruk, bahwa penangangan banjir tersebut masih belum bisa maksimal karena adanya keterbatasan anggaran APBD, dan mengharapkan justru pemerintah desa yang lebih aktif untuk memunculkan semacam desa Tanggap bencana dengan memaksimalkan anggaran di Desa.
Delima Silalahi (KSPPM) menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa terus menyalahkan masyarakat dan alam atas situasi yang terjadi. Tetapi perspektif yang memandang alam hanya untuk tujuan pertumbuhan ekonomi barangkali juga harus diperhatikan, yang menempatkan sebagai komoditas yang terus dieksploitasi dan berujuang pada munculnya bencana ekologis.
Menanggapi pernyataan pemerintah yang terdengar menyalahkan aktivitas pertanian, dan juga lanskap geologis wilayah rawan bencana; Delima mengatakan inilah wujud tidak enaknya menjadi rakyat. Sudahlah menjadi korban bencana, dituduh pula sebagai penyebab kerusakan hutan.
Bella Nathania (ICEL) menyatakan bahwa lembaganya selama 30 tahun ini berfokus pada kajian lingkungan dan tidak jarang memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam merencanakan Pembangunan yang berspektif lingkungan. Poin yang disampaikan pada diskusi tersebut adalah:
- Menggunakan instrumen Rencana Tata ruang (RTRW) daerah, di mana rencana pembangunan seperti pemanfaatan SDA diatur pada RTRW;
- Memperkuat RPJMD juga menjadi salah satu hal yang penting sebagai ruang masyarakat mengakomodir hak masyarakat karena RPJMD harus mempertimbangkan kondisi lingkungan Samosir, dan memasukkan terkait penanganan bencana ekologis;
- Mendorong rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Kabupaten Samosir;
- Menyediakan anggaran yang cukup untuk penanganan bencana ekologis.
“Masyarakat harus terlibat dalam mendorong penyusunan KLHS, RPJMD, Rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pembahasan mengenai dampak perubahan iklim pada tiga poin tersebut juga akan menentukan anggarana yang dialokasikan” tegas Bella.
Terakhir, Pdt. Rein Justin Gultom menyampaikan perspektif Teologia tentang bagaimana seharusnya hubungan manusia dan alam yang mennetukan keberlangsungan hidup manusia di bumi ini.
“Bumi ini bukan milik kita tetapi titipan Tuhan kita yang harus dijaga. Ada mandat Tuhan kepada manusia untuk berkuasa atas bumi, namun dimanipulasi, dipolitisir untuk mengesploitasi bumi tetapi yang seharusnya dirawat dan dipelihara. Pohon yang ditanam tuhan ada mengalir empat batang air.” tegas Pdt. Rein.
Berdasarkan dinamika dalam diskusi publik dan pengalaman masyarakat korban bencana selama ini, dilahirkan beberapa rekomendasi kebijakan untuk penanggulangan bencana di Kabupaten Samosir.
Adapun poin rekomendasi tersebut diantaranya:
- Pemerintah Kabupaten Samosir harus dengan serius melibatkan masyarakat, khususnya di lokasi rawan bencana dalam melakukan perumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah berikut Kajian Lingkungan Hidup Strategisnya. Ini penting supaya dokumen RPJMD dapat memuat inventarisasi dampak perubahan iklim, perkiraan dampak dan risiko yang dapat ditimbulkan oleh bencana, intensitas dan cakupan wilayah bencana, serta ancaman terhadap perlindungan terhadap kawasan tertentu secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat hukum adat, dan lain sebagainya. Data yang akurat dan komprehensif penting untuk menyusun rencana penanggulangan bencana dan adaptasi-mitigasi perubahan iklim;
- Pemerintah Kabupaten Samosir harus menganggarkan Dana Siap Pakai di dalam APBD agar penanggulangan bencana tidak terbengkalai dan memakan waktu lama apalagi sampai harus berharap pada pemerintahan yang lebih tinggi. Dana siap pakai haruslah tersedia untuk bantuan sosial yang benar-benar meliputi kebutuhan hidup; pemulihan infrastruktur fisik pendidikan, kesehatan, dan pertanian; serta pemulihan trauma korban material maupun jiwa;
- Pemerintah Kabupaten Samosir harus menyusun Portal Mitigasi Bencana dan Peta Rawan Bencana berbasis Geospatial Information System (GIS). Portal dan Peta harus memuat informasi kebencanaan seperti gerakan tanah atau longsor, gempa bumi, banjir yang disertai rincian kerawanan daerah tersebut. Ini menjadi penting, guna memudahkan pemerintah dan juga masyarakat untuk meninjau segala aktivitas yang dilaksanakan di Kabupaten Samosir dalam kerangka pencegahan bencana;
- Pemerintah Kabupaten Samosir memasukkan Portal Mitigasi Bencana dan Peta Rawan Bencana ke dalam sebuah Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Tentang Rencana Aksi Daerah Adaptasi & Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim yang dilengkapi langkah-langkah konkret pencegahan hingga pemulihan pasca bencana. Pada poin pemulihan dan sebagai bagian dari adaptasi dampak perubahan iklim, harus diatur bahwa penyediaan fasilitas darurat untuk pendidikan, kesehatan, dan pertanian harus langsung tersedia jika sewaktu-waktu terjadi bencana;
- Sesegera mungkin menyelesaikan segala aktivitas penanggulangan bencana termasuk pemulihan infrastruktur dan ruang hidup masyarakat Sihotang pasca-bencana.
Dokumen rekomendasi kebijakan ini diserahkan langsung oleh masyarakat korban bencana kepada pemerintah kabupaten yang diwakili oleh Asisten II Bupati Samosir, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Samosir.
Bersama penyerahan dokumen tersebut, masyarakat berharap ada undangan diskusi maupun konsultasi publik oleh pemerintah kabupaten. Supaya pembenahan kebijakan dapat benar-benar dimiliki dan berasal dari masyarakat.