ksppm
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa
Donation
No Result
View All Result
en English id Indonesian
ksppm
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa
Donation
No Result
View All Result
en English id Indonesian
ksppm
Donation
OPERASI PT TPL DI TANO BATAK TELAH MERAMPAS TANAH DAN WILAYAH ADAT MASYARAKAT, MELANGGAR HAK PARA PEKERJA

USUT TUNTAS KEJAHATAN AGRARIA DAN PRAKTIK PERBUDAKAN PT TPL

  • Oleh:
  • Tim KSPPM
  • •
  • 10 Juli 2025
OPERASI PT TPL DI TANO BATAK TELAH MERAMPAS TANAH DAN WILAYAH ADAT MASYARAKAT, MELANGGAR HAK PARA PEKERJA
Reading Time: 4 mins read
A A

Operasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Tano Batak telah melahirkan krisis multidimensi, mengukir catatan kelam praktik kotor dan kejahatan industri kehutanan yang dampaknya harus ditanggung oleh masyarakat. Masyarakat Adat Se-Tano Batak tidak hanya kehilangan tanah dan wilayah adat; mereka juga menanggung dampak atas kerusakan lingkungan yang terus meluas. Saat ini, mereka pun dihadapkan dengan potensi konflik horizontal dengan para pekerja akibat praktik adu domba yang dilakukan oleh PT TPL.

Sejak perusahaan tersebut masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) deretan persoalan dan konflik agraria menguak tanpa solusi. Awalnya, PT TPL mendapatkan izin konsesi dari seluas 269.060 berdasarkan SK.No.493 KPTS-II/Tahun 1992. Setelah mengalami delapan kali revisi, yang terakhir SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 menjadi 167.912 hektar. Sebagian umum di wilayah konsesi PT TPL banyak yang tumpang tindih dengan wilayah dan hutan masyarakat adat. Klaim negara di wilayah adat dan pemberian izin konsesi kepada PT TPL menjadi akar konflik agraria yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan hingga saat ini.

Selama nyaris empat dekade, ratusan masyarakat adat berkonflik dengan PT TPL. Tanah milik masyarakat adat dirampas, sumber-sumber agraria dan ekonomi dari hutan hilang, puluhan orang dikriminalisasi dan banyak yang dipenjara karena bertani di tanah leluhurnya. Daftar kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan PT TPL sejak 1980-an silam hingga hari ini menjadi dasar dan komitmen bersama gerakan rakyat untuk berjuang bersama masyarakat adat Tano Batak dalam melawan perampasan tanah dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT TPL.

Baca Juga

Masyarakat Adat Mengadu ke Komisi XIII DPR RI

PACDR: Kelompok Subur Tani Desa Buntu Mauli Dorong Aksi Nyata Pemerintah.

Setelah merampas tanah adat Masyarakat Batak, temuan terbaru Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL menunjukkan bahwa PT TPL, milik Sukanto Tanoto melakukan pelanggaran-pelanggaran hak-hak pekerja; yang mengindikasikan praktik-praktik eksploitatif dan menjebak pekerja dalam ‘perbudakan modern’. Dibanding memperbaiki sistem kerja yang memulihkan dan memenuhi hak-hak pekerja, PT TPL malah mengadu domba buruh TPL dengan Gerakan Rakyat yang turut memperjuangkan hak-hak pekerja untuk penghidupan yang lebih layak.

Berbekal SK.307/Menlhk/Setjen/ HPL.0/7/2020, keputusan ini dikeluarkan oleh Menteri Siti Nurbaya, kini TPL memonopoli tanah seluas 167.912 hektar yang tersebar di 12 kabupaten di Sumatera Utara. Namun permasalahan yang disebabkan bisnis PT TPL bukan hanya perampasan tanah, pencemaran lingkungan dan penggelapan pajak (Tempo, 2020), tetapi juga pelanggaran hak-hak pekerjanya.

Dalam melaksanakan operasinya, PT TPL melakukan perekrutan secara langsung dan perekrutan melalui perusahaan outsourcing. Saat ini, setidaknya terdapat 6.072 buruh yang direkrut melalui perusahaan beban kerja yang tidak manusiawi ini, PT TPL dan perusahaan outsourcing kerap melakukan praktek penggelapan iuran dan potongan upah yang tinggi. Secara sepihak, TPL akan memotong upah buruh jika ada pohon eukaliptus yang mati karena terpapar racun hama. Secara rutin, TPL dan perusahaan outsourcing diduga melakukan pemotongan upah sebesar Rp 30,000 – 45,000/hari, dari upah buruh sebesar Rp 130,000/HOK. Potongan upah ini diklaim untuk premi BPJS Tenaga Kerja, pembelian perlengkapan dan alat kerja, biaya fasilitas pemukiman, sembako dan listrik.

Kendati telah membayar untuk fasilitas pemukiman, TPL menempatkan para buruh bersama istri-anak di tenda-tenda berukuran 20 meter dengan alas tanah. Bila ingin memiliki pemukiman dengan fasilitas kamar, tempat tidur, dapur dan kakus, buruh harus menyerahkan upahnya kepada TPL dan perusahaan outsourcing untuk pembangunan rumah. Ketiadaan fasilitas yang memadai ini menambah beban ganda perempuan yang harus mengurusi kebutuhan domestik dan pangan anggota rumah tangga.

Sebagai bagian dari tenaga kerja, BHLdi PT TPL tidak memiliki organisasi serikat buruh. Padahal, Undang-Undang Ketenagakerjaan menjamin kebebasan berserikat dan perlindungan atas hak untuk berorganisasi. Ketiadaan serikat membuat para BHL tidak memiliki wadah kolektif untuk memperjuangkan hak-haknya, berbagi pengalaman dan termasuk saat terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan.

Pelanggaran-pelanggaran hak pekerja di atas membuktikan bahwa PT. TPL tidak memberikan manfaat dalam meningkatkan perekonomian buruh. Dari rangkaian permasalah di atas, derita BHL di PT TPL tidak hanya pada persoalan pelanggaran regulasi semata, melainkan kejahatan terstruktur TPL yang telah berlangsung lama.
Pengalaman dan derita buruh PT TPL merupakan gambaran masalah pekerja di berbagai wilayah di Indonesia. Atas dasar tersebut, kami gabungan dari gerakan masyarakat adat, gerakan reforma agraria dan gerakan buruh bersama seluruh Masyarakat Adat Tano Batak mendesak:

  1. PT TPL segera menghentikan perampasan tanah dan wilayah adat masyarakat, perusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak pekerja; serta menghentikan praktik adu domba antara kelompok masyarakat yang menjadi korban dari operasi industri HTI mereka;
  2. PT TPL harus bertanggung jawab dengan mengembalikan tanah dan wilayah adat masyarakat, memulihkan lingkungan dan hak-hak para pekerja yang telah dilanggar;
  3. Kementerian Tenaga Kerja segera mengusut tuntas praktik perbudakan PT TPL, memastikan pemulihan, perlindungan dan jaminan hak-hak para pekerja;
  4. Kementerian Kehutanan segera mengevaluasi dan mencabut HTI PT TPL;
  5. Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN segera melepaskan klaim ‘hutan negara’ dari tanah dan wilayah adat masyarakat sebagai upaya penghormatan, pengakuan, pemulihan dan pemenuhan negara terhadap hak atas tanah dan wilayah Masyarakat Adat Se-Tano Batak; dan
  6. Presiden Republik Indonesia segera melaksanakan Reforma Agraria; menyelesaikan konflik agraria; menata ulang monopoli penguasaan tanah dan kekayaan agraria nasional yang lebih berkeadilan bagi kaum tani, masyarakat adat, nelayan, dan seluruh kelas pekerja untuk mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera.

Demikian Pernyataan Sikap dan Dukungan Solidaritas ini kami sampaikan agar menjadi perhatian semua pihak.

Jakarta, 10 Juli 2025
Hormat kami,

  1. Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
  2. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  3. Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
  4. Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
  5. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
  6. Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
  7. Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo)
  8. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN TANO BATAK)
  9. Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL
  10. Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU)

  • Baca juga tulisan menarik lainnya dari
  • Tim KSPPM
  • atau artikel terkait
  • Berita, Siaran Pers
Tag: Tutup TPL

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Sebelumnya

Organisasi Masyarakat Sipil Samosir serukan Tutup TPL

Artikel Berikutnya

SELAMATKAN TANO BATAK, LESTARIKAN DANAU TOBA

OPERASI PT TPL DI TANO BATAK TELAH MERAMPAS TANAH DAN WILAYAH ADAT MASYARAKAT, MELANGGAR HAK PARA PEKERJA

USUT TUNTAS KEJAHATAN AGRARIA DAN PRAKTIK PERBUDAKAN PT TPL

  • Oleh:
  • Tim KSPPM
  • •
  • 10 Juli 2025
Reading Time: 4 mins read
A A

Operasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Tano Batak telah melahirkan krisis multidimensi, mengukir catatan kelam praktik kotor dan kejahatan industri kehutanan yang dampaknya harus ditanggung oleh masyarakat. Masyarakat Adat Se-Tano Batak tidak hanya kehilangan tanah dan wilayah adat; mereka juga menanggung dampak atas kerusakan lingkungan yang terus meluas. Saat ini, mereka pun dihadapkan dengan potensi konflik horizontal dengan para pekerja akibat praktik adu domba yang dilakukan oleh PT TPL.

Sejak perusahaan tersebut masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) deretan persoalan dan konflik agraria menguak tanpa solusi. Awalnya, PT TPL mendapatkan izin konsesi dari seluas 269.060 berdasarkan SK.No.493 KPTS-II/Tahun 1992. Setelah mengalami delapan kali revisi, yang terakhir SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020 menjadi 167.912 hektar. Sebagian umum di wilayah konsesi PT TPL banyak yang tumpang tindih dengan wilayah dan hutan masyarakat adat. Klaim negara di wilayah adat dan pemberian izin konsesi kepada PT TPL menjadi akar konflik agraria yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan hingga saat ini.

Selama nyaris empat dekade, ratusan masyarakat adat berkonflik dengan PT TPL. Tanah milik masyarakat adat dirampas, sumber-sumber agraria dan ekonomi dari hutan hilang, puluhan orang dikriminalisasi dan banyak yang dipenjara karena bertani di tanah leluhurnya. Daftar kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan PT TPL sejak 1980-an silam hingga hari ini menjadi dasar dan komitmen bersama gerakan rakyat untuk berjuang bersama masyarakat adat Tano Batak dalam melawan perampasan tanah dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT TPL.

Baca Juga

Masyarakat Adat Mengadu ke Komisi XIII DPR RI

PACDR: Kelompok Subur Tani Desa Buntu Mauli Dorong Aksi Nyata Pemerintah.

Setelah merampas tanah adat Masyarakat Batak, temuan terbaru Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL menunjukkan bahwa PT TPL, milik Sukanto Tanoto melakukan pelanggaran-pelanggaran hak-hak pekerja; yang mengindikasikan praktik-praktik eksploitatif dan menjebak pekerja dalam ‘perbudakan modern’. Dibanding memperbaiki sistem kerja yang memulihkan dan memenuhi hak-hak pekerja, PT TPL malah mengadu domba buruh TPL dengan Gerakan Rakyat yang turut memperjuangkan hak-hak pekerja untuk penghidupan yang lebih layak.

Berbekal SK.307/Menlhk/Setjen/ HPL.0/7/2020, keputusan ini dikeluarkan oleh Menteri Siti Nurbaya, kini TPL memonopoli tanah seluas 167.912 hektar yang tersebar di 12 kabupaten di Sumatera Utara. Namun permasalahan yang disebabkan bisnis PT TPL bukan hanya perampasan tanah, pencemaran lingkungan dan penggelapan pajak (Tempo, 2020), tetapi juga pelanggaran hak-hak pekerjanya.

Dalam melaksanakan operasinya, PT TPL melakukan perekrutan secara langsung dan perekrutan melalui perusahaan outsourcing. Saat ini, setidaknya terdapat 6.072 buruh yang direkrut melalui perusahaan beban kerja yang tidak manusiawi ini, PT TPL dan perusahaan outsourcing kerap melakukan praktek penggelapan iuran dan potongan upah yang tinggi. Secara sepihak, TPL akan memotong upah buruh jika ada pohon eukaliptus yang mati karena terpapar racun hama. Secara rutin, TPL dan perusahaan outsourcing diduga melakukan pemotongan upah sebesar Rp 30,000 – 45,000/hari, dari upah buruh sebesar Rp 130,000/HOK. Potongan upah ini diklaim untuk premi BPJS Tenaga Kerja, pembelian perlengkapan dan alat kerja, biaya fasilitas pemukiman, sembako dan listrik.

Kendati telah membayar untuk fasilitas pemukiman, TPL menempatkan para buruh bersama istri-anak di tenda-tenda berukuran 20 meter dengan alas tanah. Bila ingin memiliki pemukiman dengan fasilitas kamar, tempat tidur, dapur dan kakus, buruh harus menyerahkan upahnya kepada TPL dan perusahaan outsourcing untuk pembangunan rumah. Ketiadaan fasilitas yang memadai ini menambah beban ganda perempuan yang harus mengurusi kebutuhan domestik dan pangan anggota rumah tangga.

Sebagai bagian dari tenaga kerja, BHLdi PT TPL tidak memiliki organisasi serikat buruh. Padahal, Undang-Undang Ketenagakerjaan menjamin kebebasan berserikat dan perlindungan atas hak untuk berorganisasi. Ketiadaan serikat membuat para BHL tidak memiliki wadah kolektif untuk memperjuangkan hak-haknya, berbagi pengalaman dan termasuk saat terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan.

Pelanggaran-pelanggaran hak pekerja di atas membuktikan bahwa PT. TPL tidak memberikan manfaat dalam meningkatkan perekonomian buruh. Dari rangkaian permasalah di atas, derita BHL di PT TPL tidak hanya pada persoalan pelanggaran regulasi semata, melainkan kejahatan terstruktur TPL yang telah berlangsung lama.
Pengalaman dan derita buruh PT TPL merupakan gambaran masalah pekerja di berbagai wilayah di Indonesia. Atas dasar tersebut, kami gabungan dari gerakan masyarakat adat, gerakan reforma agraria dan gerakan buruh bersama seluruh Masyarakat Adat Tano Batak mendesak:

  1. PT TPL segera menghentikan perampasan tanah dan wilayah adat masyarakat, perusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak pekerja; serta menghentikan praktik adu domba antara kelompok masyarakat yang menjadi korban dari operasi industri HTI mereka;
  2. PT TPL harus bertanggung jawab dengan mengembalikan tanah dan wilayah adat masyarakat, memulihkan lingkungan dan hak-hak para pekerja yang telah dilanggar;
  3. Kementerian Tenaga Kerja segera mengusut tuntas praktik perbudakan PT TPL, memastikan pemulihan, perlindungan dan jaminan hak-hak para pekerja;
  4. Kementerian Kehutanan segera mengevaluasi dan mencabut HTI PT TPL;
  5. Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN segera melepaskan klaim ‘hutan negara’ dari tanah dan wilayah adat masyarakat sebagai upaya penghormatan, pengakuan, pemulihan dan pemenuhan negara terhadap hak atas tanah dan wilayah Masyarakat Adat Se-Tano Batak; dan
  6. Presiden Republik Indonesia segera melaksanakan Reforma Agraria; menyelesaikan konflik agraria; menata ulang monopoli penguasaan tanah dan kekayaan agraria nasional yang lebih berkeadilan bagi kaum tani, masyarakat adat, nelayan, dan seluruh kelas pekerja untuk mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera.

Demikian Pernyataan Sikap dan Dukungan Solidaritas ini kami sampaikan agar menjadi perhatian semua pihak.

Jakarta, 10 Juli 2025
Hormat kami,

  1. Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
  2. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  3. Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
  4. Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
  5. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
  6. Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
  7. Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-Serbundo)
  8. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN TANO BATAK)
  9. Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL
  10. Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatera Utara (JAMSU)

  • Baca juga tulisan menarik lainnya dari
  • Tim KSPPM
  • atau artikel terkait
  • Berita, Siaran Pers
Tag: Tutup TPL

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Sebelumnya

Organisasi Masyarakat Sipil Samosir serukan Tutup TPL

Artikel Berikutnya

SELAMATKAN TANO BATAK, LESTARIKAN DANAU TOBA

Related Articles

Masyarakat Adat Mengadu ke Komisi XIII DPR RI

Masyarakat Adat Mengadu ke Komisi XIII DPR RI

9 September 2025
PACDR: Kelompok Subur Tani Desa Buntu Mauli Dorong Aksi Nyata Pemerintah.

PACDR: Kelompok Subur Tani Desa Buntu Mauli Dorong Aksi Nyata Pemerintah.

6 September 2025
Aksi di depan kantor Bupati Toba, Balige

Desak Pemerintah Hentikan Kekerasan

16 Agustus 2025
Kunjungan Pastoral : Menguatkan Natinggir Yang Sedang Terluka

Kunjungan Pastoral : Menguatkan Natinggir Yang Sedang Terluka

13 Agustus 2025

Mauas di Toru Sampuran

13 Agustus 2025
Tindakan PT TPL di Wilayah Adat Natinggir

Tindakan PT TPL di Wilayah Adat Natinggir

13 Agustus 2025

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat. Pada tahun 1984, pendahulu kami sangat prihatin dan peduli terhadap realitas kemiskinan, pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, serta dampak buruk yang ditimbulkan pembangunan di Indonesia…Selengkapnya 

  • Girsang 1, Kec. Girsang Sipangan Bolon, Kab. Simalungun - Parapat, Sumatera Utara 21174
  • pksppm@yahoo.com
  • +0625 42393
Facebook Instagram X-twitter Youtube

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat. Pada tahun 1984, pendahulu kami sangat prihatin dan peduli terhadap realitas kemiskinan, pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, serta dampak buruk yang ditimbulkan pembangunan di Indonesia…Selengkapnya 

  • Girsang 1, Kec. Girsang Sipangan Bolon, Kab. Simalungun - Parapat, Sumatera Utara 21174
  • pksppm@yahoo.com
  • +0625 42393
Facebook Instagram X-twitter Youtube
© Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat - KSPPM. All Rights Reserved.
Home
Home
Buletin
Buletin
Channel
Channel
Explore
Explore
No Result
View All Result
en English id Indonesian
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa