ksppm
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa
Donation
No Result
View All Result
en English id Indonesian
ksppm
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa
Donation
No Result
View All Result
en English id Indonesian
ksppm
Donation
Tim Ekspedisi: Mengungkap Penyebab Banjir Bandang di Parapat, Danau Toba

Alih fungsi hutan besar-besaran serta menurunnya daya dukung dan daya tampung hutan di bentang alam Simarbalatuk-Sitahoan-Sibatuloting, merupakan penyebab banjir bandang di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

  • Oleh:
  • Tim KSPPM
  • •
  • 24 Maret 2025
Tim Ekspedisi:  Mengungkap Penyebab Banjir Bandang di Parapat, Danau Toba

Titik longsor di areal Simarbalatuk, Penyebab Banjir Parapat

Reading Time: 5 mins read
A A

Pendahuluan

Parapat, Sabtu, 22 Maret 2025 – Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat yang terdiri dari akademisi, rohaniawan, serta aktivis lingkungan dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak melakukan penelusuran langsung alur/jejak (tracing) longsor dari Bangun Dolok hingga harangan atau tombak (hutan) Simarbalatuk-Sitahoan. Ekspedisi ini bertujuan untuk mengobservasi secara langsung penyebab banjir bandang yang melanda Kota Parapat, pada 16 Maret 2025.

 

Baca Juga

PT Toba Pulp Lestari Kembali Gusur Masyarakat Adat Natinggir di Tano Batak

SELAMATKAN TANO BATAK, LESTARIKAN DANAU TOBA

Penelusuran dan Temuan

Tim memulai perjalanan dari harangan Bangun Dolok, mengikuti aliran Sungai Batu Gaga, yang membanjir-bandangi Kota Parapat. Selama perjalanan, tim menemukan adanya aktivitas perladangan oleh masyarakat setempat. Namun, sistem perladangan tersebut bersifat agroforestri, yang didominasi tanaman keras seperti kopi, cengkeh, coklat, durian, salak, yang masih berdampingan dengan pohon-pohon alam. Di kebun-kebun dan perladangan itu, terlihat sejumlah sopo (gubuk) dan binatang peliharaan.

Dari hulu Sungai Batu Gaga, tim melanjutkan perjalanan menuju harangan Simarbalatuk. Di lokasi ini, tepat di ketinggian sekitar 1.100-1.200 mdpl, tim sudah menemukan alur longsor yang memuncak di ketinggian 1.500 mdpl. Panjang longsor sekitar 300-400 meter, lebar 4–5 meter, dan kedalaman 3–4 meter.

Tim ekspedisi menelusuri aliran longsor

Material longsor terdiri dari batu besar, sedang, dan kecil yang bercampur dengan sebagian tanah liat dan lapisan tanah gembur. Di sepanjang alur longsor juga melintang sejumlah kayu besar dan kecil, yang dalam jangka panjang dikuatirkan akan membentuk kolam-kolam air, yang dapat menimbulkan banjir-bandang berikutnya.

Pepohonan tumbang dan melintang di areal longsor.

Berdasarkan pengukuran menggunakan Avenza Maps, lokasi longsor ini berada pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, sekitar 2,16 kilometer dari jembatan Sungai Batu Gaga—tempat meluapnya air sungai pada 16 Maret lalu.

. Jarak antara jembatan sungai batu gaga dengan titik longsor sampai ke konsesi PT TPL

 

Sepanjang perjalanan dari hulu Sungai Batu Gaga hingga titik longsor di Simarbalatuk, tim tidak menemukan adanya aliran sungai di area longsor. Dengan lain kata, alur longsor ini tidak mengikuti aliran sungai atau anak sungai. Ia merupakan aliran baru, yang pada akhirnya menyatu di Sungai Gaga.

Kondisi hutan di sekitar titik longsor masih terjaga cukup baik. Ekosistemnya tampak alamiah. Kami tak jarang menemukan pohon-pohon besar, yang menunjukkan bahwa kawasan ini belum banyak dijamah manusia. Namun, tim mencatat bahwa titik awal longsor hanya berjarak sekitar 2,33 km dari konsesi perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

 

Analisis Penyebab Banjir

Berdasarkan hasil ekspedisi dan temuan di lapangan, Tim berkesimpulan bahwa banjir bandang yang terjadi di Parapat dipicu oleh longsor yang terjadi di Dolok Simarbalatuk. Jarak yang relatif dekat antara titik longsor dan jembatan Sungai Batu Gaga memperkuat dugaan bahwa material longsor terbawa arus sungai hingga menyebabkan banjir bandang.

Namun, pertanyaan yang muncul di publik adalah: Apa penyebab utama longsor di Simarbalatuk?

Walau hutan di areal longsoran bisa dikatakan terjaga dengan baik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa tutupan hutan di bentang alam (landscape) Dolok Simarbalatuk- Sitahoan semakin berkurang dari waktu ke waktu. Hasil ekspedisi ini berkesesuaian dan saling mendukung dengan hasil riset yang dilakukan oleh KSPPM, AMAN Tano Batak, Auriga Nusantara, dan JAMSU tiga hari sebelum ekspedisi dilakukan.[1]

Hasil riset keempat lembaga tersebut mengungkapkan bahwa dalam 20 tahun terakhir (tahun 2000-2023) telah terjadi penurunan signifikan luas hutan alam seluas 6.503 hektar di lima kecamatan sekitar Parapat: Girsang Sipangan Bolon, Hatonduhan, Pematang Sidamanik, Dolok Panribuan, dan Jorlang Hataran. Pada periode yang sama terjadi peningkatan kebun kayu eukaliptus seluas 6.503 hektar. Analisis ini  membuktikan bahwa perubahan tutupan hutan di wilayah 5 kecamatan ini terjadi dan sebagian besarnya berubah menjadi kebun eukaliptus PT Toba Pulp Lestari.

Dengan demikian, longsor di Dolok Simarbalatuk disebabkan semakin berkurangnya daya dukung lingkungan di kawasan tersebut. Daya dukung lingkungan hidup sebagaimana disebutkan dalam UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 22, adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya.[2]

Daya dukung lingkungan menurun karena—namun tak terbatas oleh—kombinasi dari penggundulan hutan (deforestasi), hilangnya habitat dan keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim. Alih fungsi hutan selama 20 tahun terakhir, dari hutan alam menjadi tanaman monokultur, juga berdampak terhadap menurunnya daya dukung bentang alam Sitahoan-Sibatuloting. Curah hujan yang tinggi seperti yang terjadi sebelum banjir bandang pada 16 Maret 2025 lalu menguatkan, bahwa daya tampung bentang alam tersebut pun sudah kian menurun.

Dampak dan Potensi Bencana Susulan

Bencana yang terjadi pada 16 Maret 2025 lalu, bukanlah peristiwa pertama. Parapat sekitarnya telah berulang kali mengalami banjir bandang sebelumnya—seperti terjadi pada 2021 lalu, yang menunjukkan bahwa ada permasalahan sistemik dalam pengelolaan ekosistemnya. Situasi ini menjadi bukti bahwa ekosistem di sekitar Parapat, dan Danau Toba secara keseluruhan, berada dalam kondisi kritis. Jika deforestasi dan konversi lahan terus dibiarkan tanpa kendali, maka bencana serupa dapat semakin sering terjadi dan menimbulkan dampak yang lebih besar bagi masyarakat dan perekonomian wilayah.

Sebagaimana disebutkan di atas, Tim ekspedisi juga mengawatirkan terjadinya banjir bandang susulan akibat material longsor, berupa pepohonan tumbang, batu, dan tanah yang masih tersangkut di area longsor, yang perlu segera ditangani. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk mencegah bencana di masa depan.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan material longsor yang masih tersangkut di sepanjang titik longsor. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengirim tim ke lokasi guna mengevakuasi dan membersihkan area terdampak sebelum musim hujan berikutnya datang.

Langkah kedua, Pemerintah harus tegas memastikan moratorium penebangan hutan alam  dan mengevaluasi kembali aktivitas perusahaan yang berkontribusi terhadap degradasi hutan di kawasan ini.

Langkah ketiga, pemerintah harus memimpin upaya restorasi ekosistem dengan menanam kembali kawasan hutan yang sudah kritis. Pemerintah harus bekerja sama dengan komunitas lokal dalam upaya penghijauan untuk meningkatkan daya dukung ekologis kawasan ini. Reboisasi dengan jenis tanaman tertentu yang dapat menopang kestabilan tanah harus menjadi prioritas agar daerah-daerah rawan longsor bisa kembali memiliki daya serap air yang tinggi.

Langkah keempat, jangka panjang, kebijakan pengelolaan hutan harus diperketat. Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga kelestarian hutan dan memastikan bahwa tidak ada lagi izin eksploitasi yang mengancam keseimbangan ekosistem di sekitar Parapat dan Danau Toba. Keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan pembangunan, agar bencana seperti ini tidak terulang kembali.

Tanpa intervensi serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan, bencana ekologis seperti yang terjadi di Parapat akan terus berulang. Krisis ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi konsekuensi dari eksploitasi hutan yang tidak terkendali. Saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan kepada lingkungan dan masyarakat dengan tindakan nyata, bukan sekadar wacana.

 

Parapat, Senin, 24 Maret 2025

 

Tim Ekspedisi: Pdt. Jurito Sirait (Pendeta), Dr. Dimpos Manalu (Akademisi); Rocky Pasaribu, Iwan Samosir, Bona, Darma, Susi Halawa, Delima Padang, Lambok, Iwan Pakpahan, Yanwar, Lontas, Maruli, Aris; Supporting system: Delima Silalahi, Benni, Anugerah, dan Dewi Sirait.

 

Disclaimer:

Hasil/Laporan Tim Ekspedisi ini berada di bawah tanggung jawab lembaga KSPPM dan AMAN Tano Batak.

Cp: Rocky Pasaribu/KSPPM (0852-5262-4955); Pdt. Jurito Sirait (0813-5365-8377); Aris Simangunsong/AMAN TB (0822-7349-6492)

[1]https://docs.google.com/document/d/1BhVS1_8iBA2IShKVBUEcFSkw0FvEtC0g/edit?usp=drivesdk&ouid=106149604242955538482&rtpof=true&sd=true; https://mediaindonesia.com/nusantara/753903/hutan-alam-hilang-banjir-bandang-menerjang; https://www.kompas.id/artikel/banjir-bandang-parapat-akibat-kerusakan-hutan-alarm-darurat-pariwisata-danau-toba?utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_ios_traffic&utm_source=link

[2] Lihat pula https://www.un.org/en/climatechange/science/climate-issues/biodiversity; https://www.nrdc.org/stories/deforestation-forest-degradation-causes-effects-solutions; https://www.nationalgeographic.com/environment/article/deforestation.

  • Baca juga tulisan menarik lainnya dari
  • Tim KSPPM
  • atau artikel terkait
  • Siaran Pers

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Sebelumnya

Hutan Hilang, Bencana Datang: Banjir Bandang Menimpa Parapat.

Artikel Berikutnya

Nestapa Buruh Harian Lepas dalam Sistem yang Dikendalikan

Tim Ekspedisi: Mengungkap Penyebab Banjir Bandang di Parapat, Danau Toba

Alih fungsi hutan besar-besaran serta menurunnya daya dukung dan daya tampung hutan di bentang alam Simarbalatuk-Sitahoan-Sibatuloting, merupakan penyebab banjir bandang di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

  • Oleh:
  • Tim KSPPM
  • •
  • 24 Maret 2025
Titik longsor di areal Simarbalatuk, Penyebab Banjir Parapat
Reading Time: 5 mins read
A A

Pendahuluan

Parapat, Sabtu, 22 Maret 2025 – Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat yang terdiri dari akademisi, rohaniawan, serta aktivis lingkungan dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak melakukan penelusuran langsung alur/jejak (tracing) longsor dari Bangun Dolok hingga harangan atau tombak (hutan) Simarbalatuk-Sitahoan. Ekspedisi ini bertujuan untuk mengobservasi secara langsung penyebab banjir bandang yang melanda Kota Parapat, pada 16 Maret 2025.

 

Baca Juga

PT Toba Pulp Lestari Kembali Gusur Masyarakat Adat Natinggir di Tano Batak

SELAMATKAN TANO BATAK, LESTARIKAN DANAU TOBA

Penelusuran dan Temuan

Tim memulai perjalanan dari harangan Bangun Dolok, mengikuti aliran Sungai Batu Gaga, yang membanjir-bandangi Kota Parapat. Selama perjalanan, tim menemukan adanya aktivitas perladangan oleh masyarakat setempat. Namun, sistem perladangan tersebut bersifat agroforestri, yang didominasi tanaman keras seperti kopi, cengkeh, coklat, durian, salak, yang masih berdampingan dengan pohon-pohon alam. Di kebun-kebun dan perladangan itu, terlihat sejumlah sopo (gubuk) dan binatang peliharaan.

Dari hulu Sungai Batu Gaga, tim melanjutkan perjalanan menuju harangan Simarbalatuk. Di lokasi ini, tepat di ketinggian sekitar 1.100-1.200 mdpl, tim sudah menemukan alur longsor yang memuncak di ketinggian 1.500 mdpl. Panjang longsor sekitar 300-400 meter, lebar 4–5 meter, dan kedalaman 3–4 meter.

Tim ekspedisi menelusuri aliran longsor

Material longsor terdiri dari batu besar, sedang, dan kecil yang bercampur dengan sebagian tanah liat dan lapisan tanah gembur. Di sepanjang alur longsor juga melintang sejumlah kayu besar dan kecil, yang dalam jangka panjang dikuatirkan akan membentuk kolam-kolam air, yang dapat menimbulkan banjir-bandang berikutnya.

Pepohonan tumbang dan melintang di areal longsor.

Berdasarkan pengukuran menggunakan Avenza Maps, lokasi longsor ini berada pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, sekitar 2,16 kilometer dari jembatan Sungai Batu Gaga—tempat meluapnya air sungai pada 16 Maret lalu.

. Jarak antara jembatan sungai batu gaga dengan titik longsor sampai ke konsesi PT TPL

 

Sepanjang perjalanan dari hulu Sungai Batu Gaga hingga titik longsor di Simarbalatuk, tim tidak menemukan adanya aliran sungai di area longsor. Dengan lain kata, alur longsor ini tidak mengikuti aliran sungai atau anak sungai. Ia merupakan aliran baru, yang pada akhirnya menyatu di Sungai Gaga.

Kondisi hutan di sekitar titik longsor masih terjaga cukup baik. Ekosistemnya tampak alamiah. Kami tak jarang menemukan pohon-pohon besar, yang menunjukkan bahwa kawasan ini belum banyak dijamah manusia. Namun, tim mencatat bahwa titik awal longsor hanya berjarak sekitar 2,33 km dari konsesi perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

 

Analisis Penyebab Banjir

Berdasarkan hasil ekspedisi dan temuan di lapangan, Tim berkesimpulan bahwa banjir bandang yang terjadi di Parapat dipicu oleh longsor yang terjadi di Dolok Simarbalatuk. Jarak yang relatif dekat antara titik longsor dan jembatan Sungai Batu Gaga memperkuat dugaan bahwa material longsor terbawa arus sungai hingga menyebabkan banjir bandang.

Namun, pertanyaan yang muncul di publik adalah: Apa penyebab utama longsor di Simarbalatuk?

Walau hutan di areal longsoran bisa dikatakan terjaga dengan baik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa tutupan hutan di bentang alam (landscape) Dolok Simarbalatuk- Sitahoan semakin berkurang dari waktu ke waktu. Hasil ekspedisi ini berkesesuaian dan saling mendukung dengan hasil riset yang dilakukan oleh KSPPM, AMAN Tano Batak, Auriga Nusantara, dan JAMSU tiga hari sebelum ekspedisi dilakukan.[1]

Hasil riset keempat lembaga tersebut mengungkapkan bahwa dalam 20 tahun terakhir (tahun 2000-2023) telah terjadi penurunan signifikan luas hutan alam seluas 6.503 hektar di lima kecamatan sekitar Parapat: Girsang Sipangan Bolon, Hatonduhan, Pematang Sidamanik, Dolok Panribuan, dan Jorlang Hataran. Pada periode yang sama terjadi peningkatan kebun kayu eukaliptus seluas 6.503 hektar. Analisis ini  membuktikan bahwa perubahan tutupan hutan di wilayah 5 kecamatan ini terjadi dan sebagian besarnya berubah menjadi kebun eukaliptus PT Toba Pulp Lestari.

Dengan demikian, longsor di Dolok Simarbalatuk disebabkan semakin berkurangnya daya dukung lingkungan di kawasan tersebut. Daya dukung lingkungan hidup sebagaimana disebutkan dalam UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 22, adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya.[2]

Daya dukung lingkungan menurun karena—namun tak terbatas oleh—kombinasi dari penggundulan hutan (deforestasi), hilangnya habitat dan keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim. Alih fungsi hutan selama 20 tahun terakhir, dari hutan alam menjadi tanaman monokultur, juga berdampak terhadap menurunnya daya dukung bentang alam Sitahoan-Sibatuloting. Curah hujan yang tinggi seperti yang terjadi sebelum banjir bandang pada 16 Maret 2025 lalu menguatkan, bahwa daya tampung bentang alam tersebut pun sudah kian menurun.

Dampak dan Potensi Bencana Susulan

Bencana yang terjadi pada 16 Maret 2025 lalu, bukanlah peristiwa pertama. Parapat sekitarnya telah berulang kali mengalami banjir bandang sebelumnya—seperti terjadi pada 2021 lalu, yang menunjukkan bahwa ada permasalahan sistemik dalam pengelolaan ekosistemnya. Situasi ini menjadi bukti bahwa ekosistem di sekitar Parapat, dan Danau Toba secara keseluruhan, berada dalam kondisi kritis. Jika deforestasi dan konversi lahan terus dibiarkan tanpa kendali, maka bencana serupa dapat semakin sering terjadi dan menimbulkan dampak yang lebih besar bagi masyarakat dan perekonomian wilayah.

Sebagaimana disebutkan di atas, Tim ekspedisi juga mengawatirkan terjadinya banjir bandang susulan akibat material longsor, berupa pepohonan tumbang, batu, dan tanah yang masih tersangkut di area longsor, yang perlu segera ditangani. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk mencegah bencana di masa depan.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan material longsor yang masih tersangkut di sepanjang titik longsor. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengirim tim ke lokasi guna mengevakuasi dan membersihkan area terdampak sebelum musim hujan berikutnya datang.

Langkah kedua, Pemerintah harus tegas memastikan moratorium penebangan hutan alam  dan mengevaluasi kembali aktivitas perusahaan yang berkontribusi terhadap degradasi hutan di kawasan ini.

Langkah ketiga, pemerintah harus memimpin upaya restorasi ekosistem dengan menanam kembali kawasan hutan yang sudah kritis. Pemerintah harus bekerja sama dengan komunitas lokal dalam upaya penghijauan untuk meningkatkan daya dukung ekologis kawasan ini. Reboisasi dengan jenis tanaman tertentu yang dapat menopang kestabilan tanah harus menjadi prioritas agar daerah-daerah rawan longsor bisa kembali memiliki daya serap air yang tinggi.

Langkah keempat, jangka panjang, kebijakan pengelolaan hutan harus diperketat. Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga kelestarian hutan dan memastikan bahwa tidak ada lagi izin eksploitasi yang mengancam keseimbangan ekosistem di sekitar Parapat dan Danau Toba. Keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan pembangunan, agar bencana seperti ini tidak terulang kembali.

Tanpa intervensi serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan, bencana ekologis seperti yang terjadi di Parapat akan terus berulang. Krisis ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi konsekuensi dari eksploitasi hutan yang tidak terkendali. Saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan kepada lingkungan dan masyarakat dengan tindakan nyata, bukan sekadar wacana.

 

Parapat, Senin, 24 Maret 2025

 

Tim Ekspedisi: Pdt. Jurito Sirait (Pendeta), Dr. Dimpos Manalu (Akademisi); Rocky Pasaribu, Iwan Samosir, Bona, Darma, Susi Halawa, Delima Padang, Lambok, Iwan Pakpahan, Yanwar, Lontas, Maruli, Aris; Supporting system: Delima Silalahi, Benni, Anugerah, dan Dewi Sirait.

 

Disclaimer:

Hasil/Laporan Tim Ekspedisi ini berada di bawah tanggung jawab lembaga KSPPM dan AMAN Tano Batak.

Cp: Rocky Pasaribu/KSPPM (0852-5262-4955); Pdt. Jurito Sirait (0813-5365-8377); Aris Simangunsong/AMAN TB (0822-7349-6492)

[1]https://docs.google.com/document/d/1BhVS1_8iBA2IShKVBUEcFSkw0FvEtC0g/edit?usp=drivesdk&ouid=106149604242955538482&rtpof=true&sd=true; https://mediaindonesia.com/nusantara/753903/hutan-alam-hilang-banjir-bandang-menerjang; https://www.kompas.id/artikel/banjir-bandang-parapat-akibat-kerusakan-hutan-alarm-darurat-pariwisata-danau-toba?utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_ios_traffic&utm_source=link

[2] Lihat pula https://www.un.org/en/climatechange/science/climate-issues/biodiversity; https://www.nrdc.org/stories/deforestation-forest-degradation-causes-effects-solutions; https://www.nationalgeographic.com/environment/article/deforestation.

  • Baca juga tulisan menarik lainnya dari
  • Tim KSPPM
  • atau artikel terkait
  • Siaran Pers

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Sebelumnya

Hutan Hilang, Bencana Datang: Banjir Bandang Menimpa Parapat.

Artikel Berikutnya

Nestapa Buruh Harian Lepas dalam Sistem yang Dikendalikan

Related Articles

PT Toba Pulp Lestari Kembali Gusur Masyarakat Adat Natinggir di Tano Batak

11 Agustus 2025
SELAMATKAN TANO BATAK, LESTARIKAN DANAU TOBA

SELAMATKAN TANO BATAK, LESTARIKAN DANAU TOBA

19 Juli 2025
Hutan Hilang, Bencana Datang: Banjir Bandang Menimpa Parapat.

Hutan Hilang, Bencana Datang: Banjir Bandang Menimpa Parapat.

19 Maret 2025
The Devil is in the Detail: Aroma patgulipat izin dan kebun kayu PT Toba Pulp Lestari di Sumatera Utara

The Devil is in the Detail: Aroma patgulipat izin dan kebun kayu PT Toba Pulp Lestari di Sumatera Utara

20 Juni 2023

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat. Pada tahun 1984, pendahulu kami sangat prihatin dan peduli terhadap realitas kemiskinan, pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, serta dampak buruk yang ditimbulkan pembangunan di Indonesia…Selengkapnya 

  • Girsang 1, Kec. Girsang Sipangan Bolon, Kab. Simalungun - Parapat, Sumatera Utara 21174
  • pksppm@yahoo.com
  • +0625 42393
Facebook Instagram X-twitter Youtube

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat. Pada tahun 1984, pendahulu kami sangat prihatin dan peduli terhadap realitas kemiskinan, pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, serta dampak buruk yang ditimbulkan pembangunan di Indonesia…Selengkapnya 

  • Girsang 1, Kec. Girsang Sipangan Bolon, Kab. Simalungun - Parapat, Sumatera Utara 21174
  • pksppm@yahoo.com
  • +0625 42393
Facebook Instagram X-twitter Youtube
© Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat - KSPPM. All Rights Reserved.
Home
Home
Buletin
Buletin
Channel
Channel
Explore
Explore
No Result
View All Result
en English id Indonesian
  • Beranda
  • Profile
    • Visi dan Misi
    • Profil KSPPM
    • Tentang KSPPM
    • Struktur Organisasi
    • Pelaksana Program
    • Staff
    • Badan Pendiri
  • Berita
    • Samosir
    • Toba
    • Tapanuli Utara
    • Humbahas
    • Liputan Media
    • Wilayah Lainnya
  • Buletin Prakarsa