Tulisan ini bertujuan menggambarkan kehidupan tragis buruh harian lepas (BHL) di bawah perusahaan sub kontraktor mitra PT. Toba Pulp Lestari (TPL) Tbk (perseroan), khususnya sektor Habinsaran, Kabupaten Toba. BHL bermukim di Desa Simare, Kecamatan Bor-bor, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. TPL merupakan perusahaan penghasil bubuk kertas (Pulp) di kawasan Danau Toba. Bahan baku dasar adalah pohon eukaliptus. Salah satu elemen pekerja yang menyokong lancarnya produksi bahan baku pohon eukaliptus adalah BHL. Latar belakang BHL mayoritas berpendidikan rendah dan sebagian besar berasal dari Pulau Nias. BHL merupakan pekerja harian lapangan yang mengerjakan seluruh proses produksi di lahan, mulai dari pembukaan lahan, penanaman, hingga perawatan pohon eukaliptus.
Bagian pertama tulisan ini menguraikan kondisi hunian BHL yang kondisinya tidak layak ditempati. Bagian berikutnya mengungkapkan bagaimana BHL terjebak dalam lingkaran setan regenerasi pekerja yang lebih menguntungkan perusahaan, sebuah sistem dimana keturunan BHL seolah dipersiapkan untuk menjadi BHL kembali. Hal ini dipengaruhi persepsi BHL yang keliru tentang makna pendidikan. Bagian selanjutnya mengutarakan paradigma fatalis BHL dalam hidup yang secara tidak sadar “meninabobokan” mereka untuk pasrah pada penderitaan, dan tidak melawan eksploitasi yang mereka alami. Selain itu, tulisan ini juga menyoroti tipu daya perusahaan dalam mendapatkan tenaga murah, di balik label pekerja harian lepas yang upahnya di bawah ketentuan upah minimum, dan tidak mendapatkan perlindungan kesehatan. Tulisan ini juga akan menunjukkan penghisapan oleh sub kontraktor dengan menjadikan BHL sebagai “Mesin Penghasil Uang” lewat harga kebutuhan pokok yang tinggi, penggelapan iuran premi BPJS Ketenagakerjaan, serta kerja paksa berkedok pemotongan upah untuk premi BPJS Ketenagakerjaan.
Tidak hanya eksploitasi buruh, PT TPL juga ditengarai melakukan tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat sekitar area konsesi yang mengancam eksistensi dan sumber mata pencaharian utama mereka dari tanah mereka sendiri. Bahkan, perusahaan diduga ikut berkontribusi merusak lingkungan.[1]
Rumah Hunian yang Tidak Layak
Kondisi para BHL yang memprihatinkan terlihat dari rumah hunian yang disediakan oleh sub kontraktor. Para BHL tinggal di mess seadanya dengan lantai tanah, berdindingkan papan, sempit, tidak ada sanitasi, dan tanpa toilet yang memadai. Kondisi dinding mess yang bercelah mengharuskan BHL menutupnya dengan karung tua dan atap yang bocor dengan tenda lusuh.

Kondisi hunian tersebut mau tidak mau harus dinikmati oleh para BHL. Fasilitas vital seperti toilet tidak tersedia di dalam mess. Oleh karena itu, BHL sebagai penghuni mess membuat toilet “darurat” ala kadarnya. Toilet ini dibuat menempel langsung di bagian belakang mess, ditutupi dan dikelilingi oleh tenda-tenda tua yang memiliki bolongan dan celah yang cukup besar di beberapa bagian. Toilet dibuat memanjang dengan luas sekitar 1,5 meter x 50 cm, nyaris seperti lorong sempit yang hanya cukup untuk satu orang berdiri atau berjongkok. Di dalamnya terdapat drum karet biru, pengganti bak untuk menampung air. Jika berdiri untuk menyedok air dari bak, orang akan terlihat cukup jelas dari luar, tanpa perlu mengintip. Lantainya dari papan yang sudah menghitam dan berlumut. Jika tidak berhati-hati, orang bisa tergelincir. Toilet ini hanya bisa digunakan untuk mandi dan buang air kecil. Sedangkan untuk buang air besar, orang harus ke semak-semak di belakang mess. Kendati demikian, tempat ini menjadi pilihan satu-satunya di tengah keterbatasan, meski kenyamanan dan privasi dikorbankan.

Lingkaran Setan Regenerasi Pekerja
Kesadaran akan pentingnya pendidikan masih belum merata. Orang tua dan anak dari BHL masih cenderung menganggap bahwa pendidikan bukanlah kebutuhan esensial. Hal ini akibat dari pandangan jangka pendek, yang lebih berorientasi pada uang.[2] Mereka menganggap bahwa muara dari sekolah adalah mencari pekerjaan dan uang. Biaya pendidikan yang begitu tinggi dan sumber mata pencaharian pas-pasan, membuat mereka melihat pendidikan hanya sebagai kendaraan untuk mencari pekerjaan. Mereka menunjuk lulusan pendidikan tinggi yang kualitas hidupnya tidak jauh berbeda dari mereka sebagai pembanding. Keadaan ini memperkuat anggapan mereka bahwa pendidikan hanya ajang mencari gelar yang memerlukan biaya tinggi, sedang pendapatan sebagai BHL tidak mendukung. Maka, pendapatan tersebut lebih baik dipakai untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak—seperti cicilan motor. Mereka tidak melihat pendidikan sebagai investasi dan proses membangun kesadaran kritis terhadap realitas sosial, terutama realitas yang sedang dialami.

Anggapan bahwa sekolah tidak penting membuat para BHL lebih menganjurkan anaknya untuk langsung bekerja dan menghasilkan uang dengan kembali menjadi BHL. Anjuran ini semakin menguntungkan perusahaan, karena menghasilkan tenaga kerja yang berkesinambungan. Banyak dari BHL yang sudah bekerja selama bertahun-tahun bahkan beranak cucu dan menetap di hunian yang disediakan.[3] Keturunan seolah dipersiapkan untuk menjadi pekerja BHL kembali, dan tidak ada yang menyadari atau menyadarkan mereka. Inilah sisi gelap dari kurangnya kesadaran kritis, imbas dari pemahaman pendidikan yang keliru.
Adapun siklus yang terjadi, yakni: sesama BHL menikah, mereka memiliki anak, anaknya tidak sekolah, setelah dewasa si anak menjadi BHL kembali, kemudian si anak menikah dengan anak sesama BHL yang lain, keduanya memiliki anak, setelah dewasa bekerja lagi menjadi BHL, dan begitu seterusnya. Para orang tua yang sudah pensiun, juga mendukung dengan menjaga cucu-cucunya supaya anak-anaknya dapat fokus untuk bekerja. Ini merupakan lingkaran setan yang terus berulang dan tidak disadari oleh para BHL.
Dalam perkembangannya, anak-anak di bawah umur tidak diperbolehkan untuk bekerja sebagai BHL. Namun, kenyataannya masih saja ada anak-anak di bawah umur yang bekerja secara diam-diam sebagai BHL.[4] Di samping itu, ada anak di bawah umur tidak bersekolah, tidak juga bekerja sebagai BHL, tetapi bekerja menjaga momongan (anak-anak balita para BHL), setiap hari diupah Rp15.000 per anak.[5]
Keadaan tersebut lebih menguntungkan perusahaan dan sub kontraktor, karena menjadi peluang menghasilkan regenerasi pekerja yang berkelanjutan. Kondisi yang tercipta tidak memungkinkan anak-anak para BHL untuk mendapatkan wawasan yang luas dan pendidikan yang bertujuan mengajak mereka untuk berpikir memperbaiki kualitas hidup dan sadar akan haknya. Oleh sebab itu, minimnya pendidikan berdampak pada terbatasnya kemampuan para BHL untuk berpikir lebih jauh tentang eksploitasi yang dialami.
Fatalisme Kian Meninabobokan Pekerja
Secara paradigma, minimnya pendidikan membuat BHL cenderung menganut pandangan yang fatalis. Pandangan ini sering dikaitkan dengan kekuasaan takdir atau nasib atau peruntungan, yaitu kekuatan-kekuatan yang tidak dapat dielakkan atau suatu pandangan keliru tentang Tuhan. Di bawah pengaruh kekuatan magis dan mitos, mereka memandang penderitaan akibat dari pemerasan sebagai kehendak Tuhan, seolah-olah Tuhanlah pencipta dari “kekacauan teratur” ini.[6]
Sederhananya, pandangan ini menilai bahwa kondisi yang terjadi—baik atau buruk—merupakan takdir, nasib yang sudah digariskan selama hidupnya oleh kuasa yang lebih tinggi. Semua yang terjadi di dalam hidup berada di luar kendali manusia, maka tidak akan ada seorang pun yang mampu untuk mengubahnya. Hal inilah yang terus diyakini oleh BHL, sehingga memampukan mereka untuk bertahan, bahkan dalam kondisi tertindas sekali pun.
Paradigma fatalis ini pun semakin dilanggengkan oleh ceramah-ceramah religi yang mengarahkan mereka untuk selalu bersyukur dan pasrah keadaan. Di dalam organisasi agamawi seperti gereja, penatua yang memberikan ceramah/khotbah—selain pendeta, yang hanya bisa berkunjung ke pos pelayanan sekali dalam dua minggu[7]—adalah BHL itu sendiri. Isi ceramah terbatas pada pengetahuannya sebagai BHL, yang mendefinisikan dirinya sebagai pekerja yang naif. Lagi-lagi, hal ini kian mendorong sesama BHL lain supaya menjadi pekerja yang baik, telaten, dan serba patuh pada majikan. Kecenderungan fatalistik ini semakin membuat BHL diam dan “tertidur”, tidak memunculkan rasa gelisah yang kuat untuk memberontak atas ketertindasan yang dialami.
Bersembunyi di Balik Label Pekerja Harian Lepas, Demi Tenaga Murah
Penggunaan istilah “Buruh Harian Lepas” hanya tipu daya perusahaan dalam menghindari biaya kerja yang tinggi. Tipu daya ini terlihat dari waktu kerja BHL yang melebihi ketentuan. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, para BHL masuk dalam status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa “PKWT dapat dilaksanakan terhadap pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap berupa pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta pembayaran upah pekerja/buruh berdasarkan kehadiran”. Selanjutnya PKWT dilakukan dengan perjanjian kerja harian (ayat 2).
Ketentuan waktu kerja selanjutnya diatur pada ayat 3: “Perjanjian Kerja Harian, dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan”; Lalu ayat 4: “Dalam hal Pekerja/Buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka Perjanjian Kerja Harian menjadi tidak berlaku dan Hubungan Kerja antara pengusaha dengan Pekerja/Buruh demi hukum berubah berdasarkan PKWTT”, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu sebagaimana diperuntukkan untuk para karyawan tetap.
Dengan kata lain, PP 35/2021 menegaskan bahwa perusahaan tidak boleh mempekerjakan pekerja harian lepas lebih dari 21 hari setiap bulannya. Namun, jika suatu kondisi mengharuskan perusahaan mempekerjakan pekerja lebih 21 hari tiap bulannya, dan terjadi tiga bulan berturut-turut maka status pekerja harus berubah dan harus diangkat menjadi karyawan. Pada dasarnya, penggunaan tenaga pekerja harian lepas dimaksudkan untuk membantu pekerjaan perusahaan yang cenderung fluktuatif. Jika intensitas pekerjaan yang dimaksud cenderung tinggi, berulang, dan bersifat tetap, itu berarti perusahaan membutuhkan tenaga kerja tambahan dalam jangka waktu yang lama. Maka perusahaan wajib mengangkat pekerja harian lepas menjadi karyawan tetap serta memenuhi hak-haknya. Dengan begitu, hubungan antara keduanya lebih setara, yaitu pekerja yang membutuhkan sumber penghasilan dan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja.
Realitanya hari kerja BHL setiap bulannya melewati 21 hari kerja dan sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Intensitas waktu kerja para BHL setiap bulan diketahui mencapai 23-25 hari kerja.[8] Hal ini merupakan bentuk pelanggaran serius. Di sini, perusahaan menggunakan akronim “BHL/Buruh Harian Lepas” sebentuk upaya membedakan mereka dari pekerja/karyawan tetap sekaligus menghindari biaya kontrak kerja yang tinggi sebagaimana hak-hak dari karyawan tetap yang jauh lebih menjanjikan ketimbang BHL. Dengan kata lain, perusahaan tidak mau menanggung pengeluaran yang tinggi jika harus mengangkat ribuan BHL menjadi karyawan tetap. Namun, ketidaktahuan para BHL terkait ketentuan dan hak-hak tersebut membuat perusahaan tetap diam, dan menjadikannya sebagai peluang besar mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari tenaga BHL.
Secara pendapatan, BHL mendapat upah di bawah upah minimum per 2025 (baik UMP Sumut: Rp 2.992.559; maupun UMK Toba: Rp. 3.151.356)[9]. Upah harian BHL yang ditetapkan per Februari 2025 sebesar Rp92.000 bahkan ada juga Rp90.000[10]. Jika BHL memaksakan hingga 25-30 hari kerja sekalipun, pendapatan masih belum mampu mencapai nilai upah minimum. Di samping itu, BHL tidak memiliki cuti kerja. Jika tidak bekerja, maka tidak mendapat upah. Jika absen sakit, maka BHL yang menanggung biaya pemulihan sendiri. Saat pemulihan, biasanya BHL memilih berdiam diri di mess sementara waktu dengan obat-obatan seadanya yang dibeli dari warung-warung.[11]
Ketidaktahuan BHL mengenai hak-haknya menjadikannya tidak memiliki posisi tawar, sehingga perusahaan bertindak sewenang-wenang. Cara berpikir BHL cenderung sempit dan sederhana: tuntaskan pekerjaan dan terima upah. Sedangkan alat tawar yang dimiliki (tenaga) seolah tidak memiliki harga. BHL sudah seperti alat, jika rusak tinggal diganti. Sama halnya, jika BHL sakit (maupun sudah tidak produktif) maka akan digantikan oleh BHL lain yang jauh lebih bertenaga dan sehat. Hal ini tidak bisa dibiarkan terjadi terus-menerus. Penyadaran harus dilakukan melalui ideologisasi guna menumbuhkan kesadaran kritis akan nilai-nilai (martabat) sebagai seorang manusia.
“Dengan Ideologi, buruh akan dipahamkan hak-hak dan kewajibannya di dalam sistem masyarakat. Buruh dikembalikan kesadarannya akan nilai-nilai lebih dirinya, baik itu dalam relasi ekonomi dengan pihak korporasi, politik dengan negara, dan sesama buruh sendiri. Buruh tidak boleh lupa bahwa nilai kemanusiaannya ditentukan oleh seberapa besar kesadaran mereka dalam menentukan posisi dalam hubungan-hubungan ini.” (Andito, 2012).[12]
Tanpa ideologi, BHL tidak memiliki pijakan yang kuat untuk berjalan menyuarakan haknya. Namun, ideologi tidak sekedar ideologi yang dangkal. Hal ini akan membuat seseorang mudah terombang-ambing oleh tekanan-tekanan yang dihadapi saat melawan, hingga akhirnya kembali memilih untuk diam dan terjebak dalam sistem. “Buruh tanpa ideologi adalah buruh yang rapuh, dan rentan tercampak dalam kubangan kemelaratan”.[13]
BHL sebagai “Mesin Penghasil Uang” Para Sub Kontraktor
Penghisapan tenaga kerja BHL, juga dilakukan para sub kontraktor sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan BHL. Sub kontraktor menjadikan para BHL sebagai “Mesin Penghasil Uang”. Hal ini dikondisikan melalui harga sembako yang tinggi di warung-warung sub kontraktor. Mereka seakan hanya bisa bertransaksi jual-beli kepada sub kontraktornya. Caranya, saat gajian setiap bulan, sub kontraktor akan berdalih “Upah belum cair dari perusahaan”. Hal ini membuat BHL tidak memiliki uang pegangan untuk membeli sembako di warung lain yang jauh lebih terjangkau, sehingga mengharuskan mereka untuk membeli dengan cara mengutang di warung sub kontraktor dengan harga yang tinggi. Salah satu contohnya adalah beras per 30 kg. Jika di kota harganya Rp365.000 maka di warung sub kontraktor sebesar Rp485.000.[14] Hal ini membuat para BHL kesulitan untuk menabung dari upahnya, bahkan masih menyisakan utang setiap bulannya. Tanpa sadar, BHL bekerja hanya untuk melunasi utang kepada sub kontraktor yang tidak ada habisnya. Dengan kata lain, upah sebagai BHL hanya cukup untuk mengisi perut setiap hari, tidak untuk menabung. Hal ini sama seperti kembali ke zaman manusia primitif yang hanya menghabiskan waktunya untuk mengumpulkan makanan, karena jika mereka menggunakan untuk yang lainnya, mereka akan mengalami kelaparan[15].
Selain itu, ketergantungan yang lain adalah persoalan tempat tinggal. BHL sulit pindah sub kontraktor karena tidak semua sub kontraktor menyediakan tempat tinggal (Mess). Hal ini semakin menyulitkan BHL untuk keluar dari sistem tersebut. Bisa dikatakan, sistem pekerjaan ini merupakan “Perbudakan Modern”. Bedanya, saat ini sudah ada istilah “upah” untuk menghargai nilai pekerjaan. Namun “upah” tersebut sebenarnya sama dengan upah makan dan tempat tinggal saja, karena tidak mampu mendatangkan nilai lebih untuk memenuhi kebutuhan lain dalam mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Penghisapan lain yang dilakukan oleh sub kontraktor terhadap BHL adalah melalui BPJS Ketenagakerjaan. Sub kontraktor melakukan praktik penggelapan iuran dan potongan upah yang tinggi melalui premi BPJS Ketenagakerjaan. Di sini, sub kontraktor mewajibkan BHL untuk mendaftarkan diri secara mandiri. Sub kontraktor menyebutkan bahwa BPJS tersebut diurus sebagai jaminan sosial, misalnya jika ada kecelakaan kerja maka BPJS yang menanggung.[16] Selanjutnya, untuk pembayaran iuran setiap bulannya dipotong sebesar Rp52.000 dari upah kerja oleh sub kontraktor saat gajian. Pemotongan ini juga berdasarkan target kerja, jika mencapai 20 hari kerja maka dipotong Rp52.000, sedangkan jika tidak mencapai 20 hari kerja, maka akan dipotong Rp165.000. Sementara, jika pekerjaannya sebagai pengawas alat berat, setiap bulannya dipotong sebesar Rp180.000.[17] Hal ini merupakan bentuk lain dari kerja paksa yang mengatasnamakan potongan untuk premi BPJS Ketenagakerjaan.
Namun, saat ini BHL sudah mencabut keanggotaan BPJS-nya dari sub kontraktor karena belakangan diketahui sub kontraktor seringkali tidak membayar iuran setiap bulannya, padahal upah selalu dipotong setiap bulannya. Hal ini diketahui oleh para BHL saat terjadi kecelakaan kerja yang mengakibatkan satu orang BHL meninggal dunia dan beberapa lainnya luka-luka. Insiden ini bermula saat truk yang mengangkut para BHL mengalami rem blong dan terjun ke jurang. Nahasnya, korban terjepit oleh tangki air yang berada di dalam truk tersebut, sehingga nyawanya tidak dapat diselamatkan. Setelah kejadian, keluarga korban hanya menerima santunan dari perusahaan sebesar Rp5.000.000. Sedangkan jaminan dari BPJS Ketenagakerjaan tidak dapat dicairkan dengan dalih proses pengajuan belum sempat dilakukan.[18] Dari kejadian itu, BHL beramai-ramai menarik semua uang yang diinvestasikan karena merasa tidak ada dampak positif dari BPJS tersebut. Namun, tidak semua bisa ditarik karena besarnya potongan-potongan dari sub kontraktor. Seperti ADG (50 tahun) yang sudah terdaftar menjadi peserta selama empat tahun, sebagai BHL dua tahun dan pengawas dua tahun. Setelah dihitung-hitung jumlah investasi sudah Rp5.000.000 lebih, sedangkan uang yang dicairkan oleh sub-kontraktor hanya Rp2.300.000. Akhirnya, BHL lebih memilih menanggung sendiri resiko kerja. “Makanya kubilang, ga usahlah BPJS itu, ah, kalau mati saya, (saya) tanggung sendiri”.[19]
Tidak kalah penting, meski insiden tersebut menyebabkan korban jiwa, aspek keselamatan kerja BHL masih saja tidak diperhatikan. Kejadian tersebut seakan tidak menjadi pelajaran berharga. Setiap truk yang mengangkut para BHL ke lapangan, masih saja berisi tangki air.[20] Hal ini merupakan bentuk ketidakpedulian para sub kontraktor yang sewaktu-waktu dapat mengancam nyawa para BHL.

Penutup
Ketimpangan kuasa dalam sebuah sistem, menyebabkan satu pihak diuntungkan dan pihak lain dirugikan. Pemutusan akses terhadap informasi menjadi faktor utama dalam melanggengkan eksploitasi. Pemutusan akses merupakan bentuk pembungkaman “halus” yang ampuh dalam menghambat adanya pemberontakan. Terutama informasi terkait hak-hak dan kewajiban sebagai pekerja. Ironisnya, sistem yang dibangun telah menyentuh ruang ideologi, dinaturalisasikan, sehingga kebanyakan (terutama pekerja) tidak menyadarinya. Eksploitasi merupakan tindakan dehumanisasi, karenanya harus dilawan dengan humanisasi melalui pembaruan ideologi. Derita buruh tidak lagi terbatas pada persoalan pelanggaran regulasi semata, melainkan kejahatan terstruktur yang sudah berlangsung lama. Tidak dinafikan, meruntuhkan kejahatan terstruktur bukanlah perkara mudah, namun bukan berarti kita hanya diam melihat dan mendengar penindasan yang terjadi tanpa melakukan perlawanan apa-apa.
Perlawanan harus dimulai dengan mengokohkan fondasi dasar, yaitu dengan menumbuhkan kesadaran buruh (BHL) bahwa ketidakadilan yang terjadi tidak terbatas karena persoalan individual, melainkan bagian dari sistem yang sudah diatur. Buruh harus memahami bahwa penindasan yang terjadi juga lahir karena “kesepakatan” antara penindas dan yang ditindas. Bisa jadi, karena buruh tidak cukup kuat untuk menghadapi tekanan, pada akhirnya mengalah dan “sepakat” dengan nasib yang menimpa mereka.[21] Kesadaran kritis yang mengakar dan kokoh menjadi pengaman yang kuat untuk bertahan memperjuangkan hak.
Penyadaran harus dilakukan melalui organisasi. Organisasi dipakai sebagai wadah berdiskusi, menyatukan gerakan kolektif untuk menyuarakan tuntutan dan kepentingan buruh. Melalui organisasi, buruh memiliki perasaan senasib dengan orang-orang sekelompoknya. Buruh dapat mengakses informasi atas hak-haknya. Dengan mengetahui haknya, buruh (BHL) akan menyadari bahwa ia merupakan alat produksi penting (bukan komoditi), yang memiliki posisi tawar.
Upaya selanjutnya, BHL dapat diorganisir secara diam-diam untuk mengumpulkan sejumlah bukti-bukti yang kuat terkait sifat pekerjaan yang dilakukan sudah tidak sesuai ketentuan hukum. Bukti yang terkumpul dapat dipakai untuk menggugat perusahaan maupun sub kontraktor atas pelanggaran yang dilakukan.
Catatan kaki:
[1] Lihat https://www.kompas.tv/nasional/199302/presiden-jokowi-tahu-ada-pencemaran-lingkungan-yang-diduga-dilakukan-pt-toba-pulp-lestari-tpl; https://www.mongabay.co.id/2021/04/07/konflik-lahan-dan-kerusakan-lingkungan-terus-terjadi-dalam-operasi-tpl/; https://katadata.co.id/berita/nasional/610d46bfaac56/menyeret-pt-tpl-dugaan-pencemaran-danau-toba-dilaporkan-ke-jokowi
[2] Diolah dari hasil wawancara dan pengamatan lapangan.
[3] Wawancara dengan BHL (IIH), 16 Februari 2025.
[4] Wawancara dengan BHL (IIH), 16 Februari 2025.
[5] Diolah dari hasil wawancara (IAL), 9 Februari 2025.
[6] Paulo Freire, “Pendidikan Kaum Tertindas”, 2008:39.
[7] Pos Pelayanan Kasih Simare Gereja BNKP yang berdiri tahun 2022.
[8] Wawancara dengan BHL (IIH), 16 Februari 2025; Via WhatsApp (LH), 23 Februari 2025.
[9] Kompas.com, “Daftar Lengkap UMP dan UMK Sumut 2025”, https://money.kompas.com/read/2025/01/28/110750326/daftar-lengkap-ump-dan-umk-sumut-2025 , diakses 11 Maret 2025.
[10] Setiap Sub Kontraktor berbeda, namun yang paling tinggi saat ini Rp92.000,00; Wawancara dengan BHL (IIH), 16 Februari 2025;
[11] Wawancara dengan BHL (ISL), 7 Februari 2025.
[12] Andito Suwignyo, “Buruh Bergerak, Membangun Kesadaran Kelas” (Edisi Revisi), 2012:30.
[13] Andito Suwignyo, “Buruh Bergerak, Membangun Kesadaran Kelas”, (Edisi Revisi), 2012:32.
[14] Wawancara dengan BHL (IIH, LH) 16 Februari 2025.
[15] Ernest Mandel, “Tesis-tesis Pokok Marxisme”, 2006:3.
[16] Wawancara dengan BHL (ADG), 17 Februari 2025.
[17] Wawancara dengan BHL (ADG), 17 Februari 2025.
[18] Wawancara dengan BHL (ADG), 17 Februari 2025.
[19] Wawancara dengan BHL (ADG), 17 Februari 2025.
[20] Dokumentasi tidak tersedia. Dokumentasi tidak sembarang diambil, demi keamanan.
[21] Andito Suwignyo, “Buruh Bergerak, Membangun Kesadaran Kelas”, (Edisi Revisi), 2012:169.