Pematang Raya, 28 April 2025 — Banjir yang melanda Parapat pada Maret lalu telah memantik perhatian serius dari berbagai kalangan. Menyikapi situasi tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Simalungun membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang secara resmi menggelar rapat perdana pada Senin, 28 April 2025 di Pematang Raya. Rapat ini bertujuan mengurai akar persoalan lingkungan yang menyebabkan bencana banjir, serta mengidentifikasi aktor-aktor di baliknya.
Rapat yang dipimpin Ketua Pansus Maraden Sinaga menghadirkan berbagai lembaga pemerhati lingkungan, antara lain Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak (AMAN TB), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara. Keterlibatan ketiga organisasi ini menandai langkah awal DPRD dalam membangun diskursus berbasis bukti ilmiah dan fakta lapangan.
Dalam pemaparan awalnya, Roki Pasaribu dari KSPPM membeberkan data mengejutkan: dalam kurun dua tahun terakhir, sekitar 6.148 hektare tutupan hutan hilang di lima kecamatan, yakni Girsang Sipangan Bolon, Dolok Panribuan, Pematang Sidamanik, Hatonduhan, dan Jorlang Hataran.
Menurut Roki, tutupan hutan tersebut tidak hilang secara alami, melainkan dikonversi menjadi perkebunan monokultur eucalyptus yang diduga kuat dikelola oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL)—salah satu perusahaan pulp dan kertas terbesar di Sumatera Utara.
“Jika selama ini masyarakat dituding sebagai penyebab banjir karena membuka lahan, data kami menunjukkan hal sebaliknya. Justru perusahaan besar seperti TPL yang menjadi aktor utama deforestasi di kawasan ini,” tegas Roki. Ia menambahkan, sebagian dari areal konsesi TPL bahkan masuk ke dalam kawasan hutan lindung, yang menurut Undang-Undang tentang tata Kelola kehutanan, hanya boleh dimanfaatkan untuk hasil hutan non-kayu.

Tidak hanya melakukan penebangan, TPL juga dinilai mengabaikan prinsip kehati-hatian lingkungan. Dari penelusuran tim lapangan, ditemukan aliran air baru yang muncul di dekat lokasi longsor dan banjir. “Ini menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan di sekitar Parapat telah berada dalam kondisi sangat kritis,” ujar Roki.
Sorotan tak hanya berhenti pada deforestasi. Johntoni dari AMAN Tano Batak menggarisbawahi pentingnya melihat kerusakan lingkungan secara menyeluruh, bukan sekadar terfokus pada wilayah Parapat. “Apa yang terjadi di Parapat hanyalah gejala. Kerusakan yang lebih luas sedang mengintai wilayah-wilayah lain di Simalungun. Kita bicara soal ekosistem yang saling terhubung, dari hulu hingga ke hilir,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa semua pihak memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, termasuk aparat negara dan pemangku kebijakan. AMAN, kata Johntoni, siap memberikan dukungan penuh dalam bentuk data, akses lapangan, hingga penguatan kapasitas masyarakat adat sebagai penjaga ekosistem.
Senada dengan itu, perwakilan WALHI Sumatera Utara menyatakan bahwa Simalungun saat ini dikategorikan sebagai wilayah rawan bencana tinggi, dan bahwa fenomena ini diperparah oleh kebijakan yang terlalu permisif dalam penerbitan izin lingkungan kepada perusahaan besar.
DPRD. Ferikson Purba dari Partai Gerindra menekankan pentingnya melihat perusak lingkungan secara lebih luas, tidak hanya TPL. “Jika memang ada aktor lain di luar TPL yang juga berkontribusi pada kerusakan ini, kami harus tahu. Kita sepakat untuk menumpas siapa pun yang merusak lingkungan,” katanya.
Namun, Maraden Sinaga mengingatkan bahwa kecenderungan menyalahkan masyarakat kecil tanpa bukti kuat harus dihindari. “Kita tidak boleh keliru sasaran. Mudah sekali menindak masyarakat kecil, padahal aktor besar dengan modal dan kekuatan politik bebas dari jerat hukum. Pansus ini harus benar-benar adil dan berbasis data,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Roki Pasaribu kembali menegaskan bahwa sistem pertanian masyarakat di sekitar lokasi lebih mengarah pada model agroforestri, bukan perusakan hutan. “Ada beberapa oknum penebang, tapi dari informasi yang kami dapat, mereka bukan warga lokal. Justru data kami menunjukkan bahwa 98% dari kerusakan tutupan hutan berasal dari aktivitas perusahaan besar, terutama TPL,” tegasnya.
Isu lingkungan ini ternyata berdampak langsung terhadap masyarakat hilir. Jaolo Sinaga, anggota DPRD lainnya, menyoroti krisis air yang melanda daerah seperti Tanah Jawa. “Air di wilayah hilir bersumber dari hutan-hutan di atas. Jika hutan terus berkurang, debit air turun, dan lahan pertanian menjadi kering. Ini ancaman serius bagi ketahanan pangan kita,” katanya.
Ia berharap Pansus ini mampu menjadi jalan untuk menghentikan laju kerusakan hutan, serta menegakkan aturan dengan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi.
Sebagai penutup rapat, semua pihak menyepakati bahwa data awal yang disampaikan akan dijadikan dasar untuk langkah advokasi lanjutan. DPRD Simalungun berencana melakukan kunjungan ke Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna meminta klarifikasi serta mendesak evaluasi terhadap izin perusahaan besar, terutama PT TPL.
“Ini bukan akhir, tapi awal dari perjuangan. Jika kita ingin mencegah Parapat tenggelam dalam banjir selanjutnya, maka akar masalah harus dicabut, bukan hanya rantingnya,” pungkas Maraden.