Ringkasan Eksekutif
INDORAYON-TOBA PULP LESTARI (TPL)
Sumber Bencana bagi Masyarakat
Kitaran Kaldera Toba
Bukan manfaat, melainkan mudharatlah yang lebih banyak dihadirkan PT Inti Indorayon Utama (IIU, kini lebih dikenal sebagai PT Toba Pulp Lestari, TPL) sejak mereka beroleh izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di penghujung 1983. Korporasi yang dimiliki taipan Sukanto Tanoto (Tan Kang Hoo) memunculkan masalah yang tak berkesudahan sedari awal hingga sekarang. Perilakunya yang sangat eksploitatif, nakal, gemar memecah-belah
masyarakat, dan menyengsarakan orang banyak menjadi musebabnya.
Menteri Kehutanan memberi izin kepada Indorayon (IIU) di tahun 1984 untuk menggarap hutan pinus 86 ribu hektar di Sumatra Utara (Sumut). Pada 1986 korporasi ini juga mendapat hak pengusahaan hutan (HPH) 150 ribu hektar dari otoritas tersebut. Soalnya adalah sebagian konsesi ini tumpangtindih dengan tanah adat, termasuk apa yang kita kenal sebagai hutan ulayat. Namun, di masa Orde Baru itu rakyat yang menyoal bisa saja dituduh subversif sebab menghalangi pembangunan.
Masalah semakin mengemuka setelah pabrik Indorayon mulai beroperasi pada 1988 di lahan 200 hektar di Sosor Ladang, Kecamatan Parmaksian, Porsea. Selain bubur kayu (pulp) dan rayon (unsur penting untuk tekstil) ternyata bahan kimia dalam jumlah besar di sana mereka produksi juga untuk digunakan sendiri. Hal ini terungkap jauh hari kelak yakni setelah Labat Anderson Incorporated, perusahaan konsultan AS yang ditugasi pemerintah (tepatnya: Bapedal) mengumumkan hasil auditnya pada 1996.
Warga Porsea sangat diresahkan oleh limbah kimia—gas, cair, dan padat—dari pabrik Sosor. Bau busuk yang harus dihirup, itu baru satu hal. Masih ada sederet perkara lain, termasuk lahan pertanian yang rusak akibat air, tanah, dan udara yang tercemar; kulit yang menjadi gatal-gatal; dan atap seng yang bolong-bolong.
Penduduk di sepanjang aliran Sungai Asahan juga ikut menderita. Masalahnya, air Danau Toba yang digunakan Indorayon dalam proses produksi dialirkan kembali ke sana dengan kondisi sudah tercemar oleh bahan kimia. Padahal, air itu mereka manfaatkan betul sehari-hari termasuk untuk keperluan rumah tangga dan pertanian.
Petaka yang lebih dahsyat terjadi setelah hutan pinus dan hutan alam konsesinya dibabati Indorayon. Pada periode 1988-1999 saja perusahaan ini menghasilkan sekitar 2 juta ton pulp dan rayon. Untuk itu perlu sedikitnya 10 juta kubik kayu.
Lahan yang sudah gundul kemudian mereka tanami dengan eukaliptus, tumbuhan yang rakus air. Keanekaragaman hayati berganti dengan monokultur. Tentu saja ini melahirkan ekses yang luar biasa terhadap flora dan fauna. Kalau bukan punah, organisme ini merana. Kawanan monyet yang ratusan tahun berhabitat di hutan Sibaganding, Parapat, umpamanya, sampai sekarang sebagian menjadi pengemis di pinggir jalan yang menanti sedekah dari penumpang kendaraan. Ada juga yang menjadi pencuri-penjarah di rumah-rumah termasuk yang di dalam kota.
Sungai yang mengalir ke Danau Toba (sekitar 145 buah) krisis serius, kalau bukan kerontang. Sebabnya? Daerah tangkapan air telah rusak, kalau bukan hancur. Hujan menjadi jarang. Alhasil, permukaan danau terbesar di Asia Tenggara (terakbar di dunia sebagai danau kaldera) terus menurun. Pada periode Mei 1984-Juni 1998 saja surut hingga 2,86 meter, menurut LAPAN; sekarang sudah jauh lebih parah.
Pada sisi lain, longsor dan banjir bandang semakin membayang.
Pada 7 Oktober 1987, misalnya, longsor terjadi 2 kali (selangnya 3 jam) di Bukit Tampean, Kecamatan Silaen. Akibatnya 18 orang tewas. Tanah amblas akibat keserampangan pembukaan jalan yang menghubungkan Silaen dengan desa Sianipar (I dan II), Natumingka, dan Dolok Jior, oleh Indorayon.
Pada 25 November 1989 malam, giliran Bulu Silape, yang longsor. Saat itu 13 orang yang kehilangan nyawa.
Contoh kekinian dari banjir besar adalah yang terjadi di tengah kota turis Parapat, pada kamis 13 Mei 2021. Air bah menerjang dari atas bukit yang ternyata sudah digunduli sejak lama.
Aksi Protes
Rakyat bangkit melawan Indorayon yang menghancurkan hutan dan meracuni alam. Itu sudah berlangsung bahkan sejak 1987. Pada Juni-Agustus tahun itu warga desa Sianipar (I dan II) serta Simanombak menyoal karena sawah mereka (15 hektar) tertimbun. Inilah perlawanan rakyat yang pertama sekali secara masif.
Desa Sugapa bergolak sejak kepala desa dan 19 warga menyerahkan 52 hektar tanah ulayat kepada pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara (diterima oleh Bupati Gustav Sinaga), pada Maret 1987. Indorayon menanami lahan itu dengan eukaliptus mulai penghujung 1988. Merasa dikhianati, 10 inang-inang (ibu-ibu) lantas mencabuti tanaman itu dari ladangnya. Ternyata mereka kemudian diadili dan divonis.
Setelah dijatuhi hukuman penjara 3 bulan oleh Pengadilan Tinggi Medan, 10 ibu pemberani mengajukan kasasi. Tak hanya itu, bersama penduduk Bulu Silape mereka mengadu ke Mendagri Rudini di Jakarta. Hasilnya, pada 13 Oktober 1989 warga Sugapa menerima kembali tanahnya. Sejak itulah kasus Indorayon menasional.
Perlawanan dari warga yang dirugikan korporasi yang menginduk ke Raja
Garuda Mas (RGM) terus meningkat seiring perjalanan waktu. Namun mereka
direpresi oleh kekuatan yang hampir selalu melibatkan tentara dan polisi.
Di tengah euforia reformasi, pada 19 Maret 1999 Presiden BJ Habibie
menyatakan PT Inti Indorayon Utama ditutup sementara. Tentu saja warga
senang. Mereka memaknainya sebagai kemenangan rakyat.
Abdurahman Wahid—Megawati Soekarno Putri resmi menjadi presiden dan
wakil presiden sejak 20 Oktober 1999. Bersemi harapan rakyat banyak bahwa
perusahaan yang sangat bermasalah itu akan tutup selamanya. Apalagi
Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf nyata bersimpati ke mereka.
Ternyata mereka harus kembali mengelus dada. Sidang kabinet yang dipimpin
Wapres Megawati pada 10 Mei 2000 memutuskan bahwa rayon saja yang
dihentikan; produksi pulp boleh jalan terus. Enam hari berselang Menteri
Perdagangan dan Industri Rini MS Suwandi mengizinkan korporasi beroperasi
kembali.
Keputusan ini seketika mengobarkan kemarahan masyarakat yang sudah
sempat menjalani kehidupan tenang seperti sediakala. Pergolakan berpuncak.
Korban kembali berjatuhan. Hermanto Sitorus (siswa STM) tewas dibedil
aparat keamanan, pada 21 Juni 2000. Sebelumnya, pada 23 November 1998,
dalam aksi unjuk rasa sekitar 10 ribu warga Toba Samosir, Panuju Manurung
yang kehilangan nyawa. Pemuda yang baru meraih gelar insinyur elektro dari
UKSW, Salatiga, disekap dan dianiaya karyawan Indorayon di pabrik mereka.
Sejak 15 November 2000 PT Inti Indorayon Utama berganti nama menjadi
PT Toba Pulp Lestari. Mengangkat putra daerah sebagai Direktur Utamanya,
Bilman Philipus Butarbutar, mereka lantas mengumumkan komitmen baru.
Intinya, mereka akan lebih ramah lingkungan, menjalin hubungan yang saling
menguntungkan dengan masyarakat sekitar, dan membangun kemitraan
bisnis dengan perusahaan dan penduduk sekitar. Satu hal yang mereka
tekankan adalah pernyataan sang Komisaris Utama, Palgunadi T. Setyawan
yakni akan menyisihkan 1% hasil penjualan pulp setiap tahun (Rp 5 milyar)
untuk kemaslahatan orang banyak.
Setelah berhenti 4 tahun (sejak 19 Maret 1999 hingga 6 Februari 2003)
Indorayon alias Toba Pulp Lestari kembali menjalankan kegiatannya yang
sangat eksesif. Ternyata mereka hanya berganti kesing (bungkus). Kejahatan
berdimensi ekologi, ekonomi, sosial, hukum, keuangan, dan yang lain yang
mereka lakukan tak kurang dari 33 tahun berdampak luar biasa.
Lapar Kayu
Di tahun 1992 HPH yang dimiliki Indorayon sudah 269 ribu hektar. Sebarannya
di Kabupaten Tapanuli utara (17.943 Ha), Tapanuli Selatan (41.818 Ha),
Dairi (31.627 Ha), Simalungun (22.533 Ha), dan Tapanuli Tengah (5.139 Ha).
Begitupun, mereka terus-menerus lapar kayu. Sebabnya adalah pabrik mereka
membutuhkan bahan yang lebih banyak dan lebih banyak lagi.
Sejak bersebutan TPL, mereka memang tidak memproduksi rayon di pabrik
Sosor Ladang. Yang mereka lakukan adalah mengirimkan pulp ke pabriknya
di Cina untuk dirayonkan. Dari sana dan dari pabrik mereka di sejumlah
negara, serat panjang itu disalurkan ke industri tekstil, sepatu, dan tas global.
Penggunanya termasuk pemilik merek-merek paling top se-jagat
Indorayon yang telah menjadi Toba Pulp Lestari memuaskan lapar kayunya
dengan cara legal maupun ilegal. Menanam di kawasan hutan lindung
yang berada dalam konsesinya, menanam di konsesinya yang sebenarnya
berfungsi sebagai Areal Penggunaan Lain (APL; maksudnya bukan kawasan
hutan), memanfaatkan pola Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) untuk menanam
eukaliptus, serta menebang kayu hutan alam (jenis kulim dan kempas)
di dalam konsesinya, itu antara lain perbuatan ilegalnya. Hasil investigasi
Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, dan Jaringan Kerja
Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) pada 2-16 Juni 2021 di Tele, Habinsaran,
Padang Sidempuan, dan Aek Raja memperlihatkan hal itu.
Dalam meluaskan lahan eukaliptus mereka bisa melakukan segala cara.
Perbenturan dengan masyarakat setempat pun terjadi.
Ratusan hektar hutan kemenyan (syntrax sp) mereka tebang di Kecamatan
Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, pada 2007. Alasannya, tanah
tersebut merupakan areal konsesi mereka. Rakyat setempat bangkit melawan.
Pada Juni 2009, perlawanan kembali muncul. Kali ini masyarakat adat di Desa
Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Pollung, yang hutan kemenyannya
dirusak TPL, yang menentang.
Menggunakan pendekatan kekerasan, sedari dulu disukai awak korporasi ini
manakala bersitegang dengan masyarakat. Juga, mengadu domba sesama
warga. Adat Batak yang bertumpu pada Dalihan Natolu (tungku nan tiga) pun
terancam.
Saat menghadapi penduduk desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten
Toba, pada 18 Mei 2021, umpamanya. Rekaman video yang viral memperlihatkan
bagaimana mereka menyerang, memukuli, dan menganiaya warga dengan
menggunakan kayu dan bambu. Akibatnya, 12 orang luka-luka. Nenek-nenek
dan kakek-kakek termasuk yang berdarah-darah.
Kasus yang mirip terjadi di Nagori/Desa Sihaporas Kecamatan Pamatang
Sidamanik, Kabupaten Simalungun, pada 17 September 2019. Menurut warga,
puluhan pekerja TPL datang ke sana dan memprovokasi. Situasi lantas
memanas. Pekerja perusahaan memukul anak (berusia 3 tahun 6 bulan) dan
seorang warga dewasa. Ternyata korban dari pihak warga yang justru dituntut
ke pengadilan. Mereka divonis bersalah, sedangkan penganiaya malah bebas.
Saat ini KSPPM dan AMAN Tano Batak mendampingi 23 komunitas masyarakat
adat yang tersebar di 5 kabupaten kawasan Danau Toba yang berkonflik dengan
TPL. Total wilayah adat yang diklaim sepihak sebagai konsesi perusahaan
sekitar 20.754 hektar.
Janji Palsu
Sudah 33 tahun lebih korporasi ini mengada. Benarkan kleimnya bahwa
mereka telah mensejahterakan rakyat yang bermukim di kitaran pabrik Sosor
Tolong dan di kawasan lain yang merupakan konsesinya? Ternyata justru
sebaliknya.
Penduduk Porsea, misalnya. Kalaupun ada beberapa yang bekerja di
sana, mereka paling buruh harian lepas (HBL); yang menjadi asisten tiada.
Sedangkan yang menjadi rekanan, mereka semakin digantikan orang luar.
Umumnya warga kota ini tetap mengandalkan pertanian dan perdagangan
sebagai sumber penghidupan.
Sejak lama Porsea, kota kecil yang di zaman baheula banyak menghasilkan
sarjana—termasuk profesor terkemuka: Midian Sirait dan K. Tunggul Sirait
(kakak-adik), WP Napitupulu, dan Firman Manurung—terkenal sebagai
lumbung padi untuk dan kawasan Toba. Sekarang itu tinggal cerita.
Kehadiran Indorayon-TPL membuat produktivitas sawah di sana terus
menurun. Air telah makin hilang dan tercemar. Hama berbiak akibat
penggunaan bahan kimia di pabrik di Sosor Ladang.
Bagi penduduk, air untuk keperluan sehari-hari bahkan telah lama menjadi
masalah. Air galonlah yang mereka beli kalau hendak minum atau memasak
sebab danau, sungai, dan tanah sudah sangat tercemar. Tentu, kaum ibu, yang
lebih menderita.
Krisis air ini berpengaruh pada produksi ikan mas. Dulu, Porsea lama sekali
identik dengan ikan mas yang prima. Komoditas ini mengalir jauh hingga
Sumatra Timur dan Medan. Kini, itu pun tinggal kenangan. Para petani tidak
mungkin lagi menghasilkan ikan bermutu apalagi dalam jumlah yang banyak.
Selain itu, warga kampung yang kediamannya berjarak 100 meter dari pabrik
Sosor Ladang pun masih saja mencium bau busuk limbah. Aroma memualkan
itu muncul teratur sekitar pukul 22.00 dan 02.00; terkadang pada petang
juga.
Tak hanya Porsea yang menderita tapi juga semua kawasan tempat konsesi
TPL berada (tersebar di 12 kabupaten). Warga hanya terserap sebagai buruh
harian lepas dan itu pun tak banyak. Secara umum, perekonomian di sana
tidak menjadi lebih baik padahal alamnya bertambah rusak. Penduduk banyak
yang kehilangan mata pencaharian. Contohnya, 3 kecamatan di kabupaten
Toba, yakni Balige, Silaen, dan Laguboti. Di sana, penduduk kehilangan 2.000
hektar lahan sawah sejak masuknya perkebunan eukaliptus di areal konsesi
TPL dan di lahan-lahan milik warga.
Di 3 kabupaten yang masuk areal konsesi TPL—Humbang Hasundutan,
Tapanuli Utara dan Toba— tercatat 50. 000 hektar hutan/kebun kemenyan
yang mengalami deforestasi dan degradasi sejak 1990. Akibatnya? Sekitar
50% produksi kemenyan di Tano Batak menurun. Mata pencaharian lain yang
hilang sejak tahun 1990 adalah kolam ikan dengan perkiraan luas 6.000 hektar
yang tersebar di 7 kecamatan di Kabupaten Toba, yaitu Parmaksian, Bona
Tua Lunasi, Uluan, Silaen, Sigumpar, Sianta, dan Narumonda. Berdasarkan
perhitungan Gerakan Tuntut Acta 54 (GTA5), kerugian para petani ikan akibat
beroperasinya pabrik Sosor Ladang berkisar Rp 8, 24 triliun.
Mutu lingkungan di kampung-kampung yang di sekitarnya telah berubah
menjadi perkebunan eukaliptus jelas sangat buruk. Realitas ini dengan mudah
bisa ditemukan di Sipahutar, di komunitas adat Ompu Ronggur Simanjuntak di
Desa Sabungan Nihuta II dan di Sitonong, Desa Sabungan Nihuta V.
Hampir seluruh komunitas masyarakat adat di Tano Batak yang hidup
bersama atau berdampingan dengan konsesi TPL tercemar pupuk kimia,
herbisida, pestisida, insektisida dan fungisida. Ketika hujan turun maka sisa
pestisida akan mengalir ke sungai yang dimanfaatkan masyarakat sebagai
sumber air. Selain itu, TPL menggunakan sludge dan boiler ash berdosis tinggi
di perkebunan eukaliptus.
Sejak tahun 2010, TPL sudah masif menggunakan insektisida dan fungisida.
Herbisida dipakai sejak 1987 sampai umur tanaman eukaliptus 3 tahun.
Akibatnya, muncul hama dan penyakit di area pertanian masyarakat.
Penggunaan insektisida bahkan dapat menyebabkan ternak milik warga mati
keracunan.
Tutup TPL
PT Toba Pulp Lestari (d/h PT Inti Indorayon Utama), seperti yang disebut di
laporan keuangannya tahun 2019—ini yang termutakhir yang diumumkannya
ke publik—ternyata hanya menciptakan lapangan kerja bagi 691 orang
sebagai karyawan dan 486 orang sebagai mitra kerja. Padahal, lahan yang
dimanfaatkannya 270 ribu hektar.
Pendapatannya, menurut laporan keuangan itu, cuma Rp 2 triliun. Mereka rugi.
Dengan begitu tak perlu bayar pajak. Malahan mereka masih punya utang
pajak US$570 ribu.
Manipulasi laporan keuangan telah mereka lakukan. Demikian temuan sebuah
konsorsium lembaga yang telah menyelidiki. Laporan mereka, Dugaan
Pengalihan Keuntungan dan Kebocoran Pajak pada Ekspor Pulp Indonesia,
terbit pada November 2020.
Sudah sangat kecil sumbangannya ke negara, mengaku rugi pula! Padahal
selama 33 tahun lebih telah melakukan banyak kejahatan, termasuk merusak
lingkungan hidup dan mengusik ketenteraman orang Batak.
Manfaatnya bagi rakyat banyak tak seberapa dibanding mudharatnya. Jadi,
sudah waktunya kegiatan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dihentikan di kitaran
Kaldera Toba, kawasan yang telah dinyatakan pemerintah Presiden Joko
Widodo sebagai 1 dari 5 Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP). Lagi pula,
merupakan sebuah ironi besar kalau saja mereka masih terus menggagahi-
menjarah wilayah yang telah berstatus taman dunia (geo park versi Unesco)
dan DPSP.
Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung, Irwandi Sirait, dan kawan-kawan
mereka di TIM 11 telah berjalan kaki dari Soposurung, Balige ke Jakarta (1.700an-Km)
untuk menuntut penutupan TPL. Tentu saja banyak orang Batak dan etnik lain
yang mendukung perjuangan heroik mereka.
Tutup TPL!!!
<<halaman selanjutnya page 2>>