PT Toba Pulp Lestari dan
Pelanggaran Hukum-HAM
yang Dilakukannya
Oleh:
Delima Silalahi (KSPPM), Tongam Panggabean (BAKUMSU), Roganda Simanjuntak (AMAN TANO BATAK), Rocky Pasaribu (KSPPM), dan Wilson Nainggolan (AMAN TANO BATAK)
Kehadiran PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang sekarang berganti nama
menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah menorehkan sejarah panjang
perlawanan masyarakat di Tapanuli. Sejak tahun 1980-an, ketika perusahaan
ini baru berdiri, gerakan perlawanan sudah muncul. Pemicunya adalah
perampasan tanah dan pencemaran lingkungan hidup di sekitar pabrik.
Perusahaan penghasil pulp dan rayon yang pabriknya berada di Sosor
Ladang, Kecamatan Parmaksian, Porsea, dituduh menimbulkan pencemaran
lingkungan yang sangat serius tidak hanya di sekitar pabrik, tetapi juga di
desa-desa sepanjang daerah aliran Sungai Asahan. Gerakan perlawanan
dengan isu lingkungan ini semakin meluas ke daerah-daerah lain yang
juga terkena dampak lingkungan serupa. Aksi massa yang berujung pada
kekerasan kerap terjadi. Korban jiwa pun tak terhindarkan, baik dari pihak
masyarakat maupun perusahaan.
Gerakan perlawanan tersebut akhirnya membuahkan hasil. Pada 19 Maret
1999, Presiden BJ Habibie memutuskan untuk menghentikan sementara
operasi PT IIU. Keputusan itu disambut hangat oleh masyarakat dan dianggap
sebagai sebuah kemenangan gerakan rakyat.
Namun di era kepemimpinan Presiden Abdulrahman Wahid, korporasi ini
kembali dibuka. Melalui sidang kabinet 10 Mei 2000 yang dipimpin Wakil
Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah memutuskan untuk menutup
pabrik rayon namun membuka kembali pabrik pulp. Keputusan ini memicu
kemarahan masyarakat.
Perlawanan pun kembali marak. Namun, perusahaan terus menjalankan
pelbagai strategi supaya bisa beroperasi kembali. Salah satunya adalah
mensosialisasikan apa yang disebutnya dengan ‘paradigma baru’ Indorayon.
Telah berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahaan resmi
beroperasi kembali pada 6 Februari 2003 walau tetap mendapat perlawanan
keras dari berbagai elemen masyarakat.
Konflik Agraria di Zaman TPL
Perlawanan kembali muncul pada 2007 di Kecamatan Pollung. Perlawanan kali
ini datang dari petani yang kebun kemenyannya masuk dalam wilayah konsesi
TPL. Ratusan hektar hutan kemenyan (syntrax sp) ditebang oleh perusahaan
dengan alasan tanah tersebut merupakan areal konsesi mereka. Berbagai aksi
massa lantas dilakukan sebagai bentuk protes masyarakat setempat.
Pada Juni 2009 perlawanan kembali muncul dari masyarakat adat di Desa
Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang
Habinsaran. Juga dipicu oleh penebangan hutan kemenyan oleh TPL tanpa
sepengetahuan mereka.
Selain penduduk Pandumaan-Sipituhuta, masyarakat adat lainnya di wilayah
Tano (Tanah) Batak terus melawan di semua wilayah konsesi TPL. Saat ini
Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak (AMAN TB) mendampingi 23
komunitas masyarakat adat yang tersebar di 5 kabupaten kawasan Danau
Toba yang berkonflik dengan perusahaan tersebut. Total wilayah adat yang
diklaim sepihak sebagai konsesi perusahaan sekitar 20.754 hektar.
1. Keberadaan Masyarakat Adat di Republik Indonesia
Keberadaan masyarakat adat di Indonesia diakui oleh konstitusi. Oleh karena
itu mereka sebenarnya harus benar-benar dilindungi sebagaimana warga
negara lainnya di republik ini.
Konstitusi, sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 Pasal 18B (2) Bab VI tentang
Pemerintahan Daerah, menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang.”
UUD 1945 pasal 28l (3) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan:
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup pasal 1 butir 31 berbunyi: Kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidupnya, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.
Putusan MK No.31/PUU -V/2007, merumuskan Masyarakat Hukum Adat
sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
yang bersangkutan secara de facto masih ada dan atau hidup apabila setidaktidaknya mengandung unsur-unsur: masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok, pranata pemerintahan adat, harta kekayaan atau benda-benda adat, perangkat norma hukum adat, dan wilayah hukum adat.
Putusan MK No 35/PUU-X/2012: Pertama, oleh karena itu, menempatkan
hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian
terhadap hak-hak masyarakat adat. Kedua, hutan adat dikeluarkan dari hutan
negara kemudian dikategorikan hutan hak.
Dugaan Pelanggaran HAM
UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) mendefinisikan
Hak Asasi Manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Selama lebih 30 tahun beroperasi, PT Toba Pulp Lestari merupakan
perusahaan yang tidak ramah Hak Asasi Manusia. Sejarah mencatat berbagai
pelanggaran HAM yang dilakukannya. Berikut uraian singkatnya, mengacu ke
UU No.39 Tahun 1999 (tentang Hak Asasi Manusia):
1. Pasal 9, Hak untuk Hidup. Rusaknya fungsi Daerah Aliran sungai (DAS) juga
berperan dalam penurunan jumlah sawah di wilayah hilir DTA. Data Dinas
Pertanian Kabupaten Toba mencatat selama 5 tahun terakhir terjadi alih fungsi
persawahan dari 19.917 Ha berkurang menjadi 17.089 Ha. Selama lima tahun
areal persawahan di Kabupaten Toba yang terkenal menjadi lumbung padi di
kawasan Danau Toba menurun 2.830 ha.
2. Pasal 13, 14 DAN 15, Hak Mengembangkan Diri,
3. Pasal 17, Hak Memperoleh Keadilan
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan
dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam
perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara
yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Namun dalam praktiknya, diskriminasi hukum kerap dialami oleh masyarakat
adat di wilayah konsesi TPL. Ini terlihat dari perbedaan tanggapan aparat
kepolisian terhadap pengaduan TPL terhadap masyarakat adat (sangat cepat)
dan, pada sisi lain, sahutan terhadap pengaduan masyarakat adat terhadap
tindakan TPL (lambat betul).
Contoh diskriminasi hukum yang dialami oleh masyarakat adat, antara lain:
a. Pada 18 September 2019 masyarakat adat Sihaporas, atas nama
Thomson Ambarita, melaporkan Bahara Sibuea (humas PT. TPL)
ke Polres Simalungun terkait penganiayaan yang dialaminya dalam
aksi menolak kehadiran TPL yang terjadi pada 16 September
2019 di Tanah Adat Sihaporas, Kab. Simalungun. Kemudian, pada
24 September 2019, Thomson Ambarita dipanggil sebagai saksi
pelapor atas laporan penganiayaan dengan pelaku Bahara Sibuea
(Humas TPL). Ternyata sesampai di Polres Simalungun justru
Thomson Ambarita ditangkap dan ditahan atas laporan TPL. Pada
27 Mei 2020 masyarakat adat mengetahui bahwa Bahara Sibuea
telah ditetapkan oleh Polres Simalungun sebagai tersangka. Namun
hingga saat ini dia belum juga diseret ke pengadilan dan tidak
pernah ditahan. Sedangkan pada 24 September 2019 Thomson
Ambarita dan Jonni Ambarita ditangkap dan ditetapkan sebagai
tersangka, oleh Polres Simalungun. Pada 13 Februari 2020 keduanya
divonis dengan hukuman penjara 9 bulan oleh Pengadilan Negeri
Simalungun.
b. Pada 17 September 2020, Komunitas Masyarakat Adat Ompu
Panggal Manalu melaporkan TPL ke Polres Tapanuli Utara
(Taput). Tindak pidana perusakan tanaman milik masyarakat adat
yang terletak di Ladang Parbutikan, Desa Aek Raja, Kecamatan
Parmonangan, yang diduga dilakukan oleh Pegawai TPL, dasarnya.
Namun, pihak kepolisian tidak melanjutkan pengaduan ini
hingga sekarang dengan alasan masyarakat adat tersebut mesti
menunjukkan Bukti Surat Kepemilikan Tanah.
4. Pasal 29, 30, 3133, dan 35, Hak Atas Rasa Aman
Masyarakat Adat yang sedang berjuang mempertahankan wilayah adatnya
kerap mendapatkan tindakan kekerasan, kriminalisasi, dan intimidasi. Hak atas
rasa aman yang dijamin oleh UU menjadi barang langka yang sulit didapatkan.
Data yang dihimpun oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat
Sumatera Utara (Bakumsu) memperlihatkan bahwa sejak tahun 2002 tercatat
16 kasus kriminalisasi masyarakat adat yang dilakukan atas dasar laporan
TPL kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari 16 kasus itu terdapat
12 komunitas masyarakat adat dan 93 orang masyarakat adat yang menjadi
korban kriminalisasi.
Dari 93 orang yang dikriminalisasi tersebut ada 40 orang yang diseret ke meja
hijau. Dari mereka, 39 orang dinyatakan majelis hakim terbukti bersalah dan 1
orang diputus bebas murni. Selain itu, ada 47 orang menjadi tersangka dan 6
orang berstatus terlapor.
Hilangnya Hak Atas Rasa Aman dialami oleh komunitas-komunitas masyarakat
adat. Ada ketakutan mereka tatkala melakukan pekerjaan di wilayah adat.
Jika ada aksi massa, polisi kerap melakukan sweeping ke desa-desa dan ke
hutan adat untuk mencari kaum laki-laki. Pada 2013, puluhan laki-laki dari
masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta terpaksa lari dari desa karena diburu
polisi setelah diadukan TPL. Kondisi ini juga menimbulkan rasa trauma di
kalangan perempuan dan anak-anak.
Berikut ini beberapa kasus hilangnya Hak atas Rasa Aman yang dialami
masyarakat adat di Tano Batak akibat kehadiran TPL.
a. Pada Januari 2021, TPL melaporkan 3 anggota masyarakat adat (Anggiat
Simanjuntak, Pirman Simanjuntak, dan Risna Sitohang), Huta Natumingka,
Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, dengan tuduhan merusak tanaman
milik mereka.
b. Selasa 18 Mei 2021. Sebanyak 12 orang warga masyarakat mengalami
luka-luka dan berdarah-darah akibat tindak kekerasan oleh pekerja
TPL. Korban adalah Jusman Simanjuntak (Ompu Leo, 76 tahun), Jepri
Tambunan (34 tahun), Swardi Simanjuntak (28 tahun), Ricard Simanjuntak
(21 tahun), Samson Hutagaol (34 tahun), Hasiholan Hutapea (38 tahun),
Hisar Simanjuntak (56 tahun), Setio Minar Simanjuntak (56 tahun), Tiurlan
Sianipar (45 tahun), Nursita Simanjuntak (35 tahun), Sabar Sitorus dan
Agustin Simamora (26 Tahun).
c. Sejak 2002, TPL telah mengkriminalisasi 5 warga Sihaparoas. Tahun
2002, polisi menangkap Arisman Ambarita. Lalu, pada 6 September 2004
pukul 16.00 WIB, anggota Brimob Polri bersama sekuriti TPL menangkap
Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita.
d. Pada 17 September 2019 tindakan kekerasan dialami masyarakat adat
Sihaporas, Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik,
Kabupaten Simalungun. Saat itu, warga anggota Lembaga Adat
Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras)
Bertani di wilayah adat mereka. Thomson Ambarita dan Mario Teguh
Ambarita (anak usia 3 tahun 6 bulan) menjadi korban dari tindakan
kekerasan Bahara Sibuea (Humas Sektor Aek Nauli) dan sekuriti TPL.
Kedua korban dituntut ke pengadilan oleh TPL dan divonis 9 bulan
penjara. Sedangkan Humas TPL Bahara Sibuea yang diadukan oleh
komunitas sudah berstatus tersangka, namun tidak pernah ditahan polisi.
Proses persidangan pun belum mulai.
e. Pada Oktober 2019, TPL menurunkan polisi bersenjata dan tentara
untuk mengintimidasi Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok
Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun.
Saat itu warga sedang bertani di wilayah adat. Setelah itu pihak
melaporkan 2 orang masyarakat— Hasudungan Siallagan dan Sorbatua
Siallagan—dengan tuduhan menduduki hutan negara.
f. Pada 15 Desember 2020, 5 warga Masyarakat Adat Keturunan Ompu
Ronggur, dilaporkan TPL ke polisi, yakni Dapot Simanjuntak, Maruli
Simanjuntak, Pariang Simanjuntak, Sudirman Simanjuntak, dan Rinto
Simanjuntak dengan tuduhan menggunakan kawasan hutan negara.
g. Pada Juni 2020, TPL melaporkan 5 warga Masyarakat Adat Huta
Tornauli yang berada di Dusun Tornauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan
Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara. Mereka adalah Buhari Job
Manalu, Manaek Manalu, Nagori Manalu, Damanti Manalu, dan Ranto
Dayan Manalu. Tuduhannya? Berkebun tanpa izin di kawasan hutan.
h. Pada Juni 2009, 8 anggota masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta
ditetapkan sebagai tersangka dan dimasukkan dalam Daftar Pencarian
Orang (DPO). Masyarakat adat menolak persidangan dan sampai saat ini
status tersangka belum pernah dicabut.
i. Senin 25 Februari 2013, sebanyak 31 anggota masyarakat adat
Pandumaan-Sipituhuta ditangkap polisi dan 16 orang ditetapkan
tersangka, antara lain Hanup Marbun (37 tahun), Leo Marbun (40), Onri
Marbun (35), Jusman Sinambela (50), Jaman Lumban Batu (40), Roy
Marbun (35), Fernando Lumbangaol (30), Filter Lumban Batu (45), Daud
Marbun (35). Dari Desa Pandumaan terdapat Elister Lumbangaol (45),
Janser Lumbangaol (35), Poster Pasaribu (32), Madilaham Lumbangaol
(32), dan Tumpal Pandiangan (40).
j. Pada Juli 2015, Humas TPL melaporkan Sammas Sitorus ke Polres Toba
dengan tuduhan menganiaya salah satu kolega mereka saat aksi unjuk
rasa di depan pabrik TPL. Polres pun menetapkan Sammas Sitorus
sebagai tersangka dan melimpahkan kasusnya ke Kejaksaan Negeri
Balige. Setelah 8 bulan persidangan, PN Balige memutuskan untuk
membebaskan Sammas dari tuduhan penganiayaan. Kejaksaan Negeri
Balige kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan
Mahkamah Agung ternyata memperkuat putusan PN Balige untuk
membebaskan Sammas Sitorus.
k. Pada Februari 2017, TPL melaporkan Sakkan Simanjuntak dan Lambok
Simanjuntak ke Polres Tapanuli Utara dengan tuduhan membakar di
wilayah konsesi mereka.
5. Pasal 36,37, 38, dan pasal 40 Hak untuk Kesejahteraan
Kemenyan merupakan sumber mata pencaharian utama turun-temurun
masyarakat adat di Tano Batak. Pohonnya tersebar di Kabupaten Tapanuli
Utara, Toba, Humbang Hasundutan, sebagian Samosir, Dairi, dan Tapanuli
Tengah. Kehadiran TPL mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian
utama sekaligus sumber kesejahteraan masyarakat tersebut.
Dari data dampingan KSPPM dan AMAN Tano Batak tampak bahwa beralihnya
lahan kemenyan menjadi peruntukan eukaliptus mengakibatkan hilangnya
pekerjaan sekitar 10 ribuan keluarga petani kemenyan di Tano Batak. Ini belum
termasuk jumlah petani kemenyan yang tidak didampingi KSPPM maupun
AMAN Tano Batak.
6. Pasal 61, 63 dan pasal 64 tentang Hak Anak
Pembangunan seyogianya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun sayangnya, perampasan ruang hidup masyarakat adat tidak hanya
berdampak terhadap hilangnya mata pencaharian utama keluarga petani dan
masyarakat adat di wilayah konsesi. Dampaknya terhadap anak-anak pun
cukup besar.
Perampasan ruang hidup juga menghilangkan ruang bermain anak-anak
di desa. Areal penggembalaan kerbau dulunya merangkap tempat
bermain anak dan ajang mengaktualisasikan diri. Sekarang itu tinggal
kenangan.
Terjadinya konflik sosial, kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap
keluarga petani dan masyarakat adat di wilayah konsesi juga membuat
kanak-kanak trauma. Hak untuk dijauhkan dari tindakan kerusuhan sosial
dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan sebagaimana
diatur dalam UU HAM sering diabaikan.
Pada Februari 2013 dinihari, misalnya, ratusan aparat kepolisian
melakukan sweeping dan penggeledahan di rumah warga Pandumaan-Sipituhuta.
Kejadian itu menyisakan trauma pada perempuan dan anak-anak.
Suara tembakan, teriakan, dan pemukulan yang dialami orangtuanya seperti
kabut kelam yang membekas dalam ingatan mereka. Peristiwa serupa
acap terjadi di wilayah konsesi lainnya. Di Sihaporas, antara lain.
Hilangnya ruang hidup dan sumber mata pencaharian utama keluarga
juga menambah beban anak-anak. Harusnya mereka berhak mendapat
perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan
yang membahayakan dirinya. Dengan begitu tak terganggu pendidikan,
kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.
Saat ini, banyak anak di wilayah konsesi yang harus ikut membanting
tulang di sawah dan ladang setelah orang tua mereka kehilangan
pekerjaan di hutan kemenyan. Hilangnya kemandirian ekonomi yang
pernah dimiliki keluarga petani di Tano Batak, menjadi beban bagi anak-anak.
Mereka harus terlibat dalam menambah pendapatan keluarga
dengan bekerja lebih giat di ladang dan sawah.
1. Pelanggaran Hukum Di Sektor Kehutanan di Wilayah Konsesi
1. Ilegalitas Kawasan dan Konsesi PT TPL
Setelah mengalami revisi 8 (delapan) kali, terakhir SK 307/Menlhk/Setjen/
HPL.0/7/2020, luas izin PT Toba Pulp Lestari kini menjadi 167.912 hektar,
tersebar di 10 kabupaten.
No. | Sektor | Luas Wilayah (hektare) | Kabupaten |
1 | Sektor Tele | 46.885 | Kabupaten Samosir, Kabupaten Pakpak Barat dan Humbang Hasundutan |
2 | Sektor Aek Nauli | 20.360 | Simalungun |
3 | Sektor Aek Raja | 45.562 | Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Humbang Hasundutan |
4 | Sektor Habinsaran | 26.765 | Toba dan Tapanuli Utara |
5 | Sektor Sidempuan | 28.340 | Tapanuli Selatan |
Jumlah | 167.912 |
KSPPM, Aman Tano Batak, dan Jikalahari melakukan pemantauan langsung
di areal TPL untuk melihat kondisi terkini di sana baik dalam kawasan lindung
maupun kawasan lainnya dengan fungsi Areal Peruntukan Lain (APL).
Setelah melakukan investigasi pada 2-16 Juni 2021 di sektor Tele, Habinsaran,
Padang Sidempuan dan Aek Raja,
Konsorsium ini menemukan:
Pertama, PT TPL melakukan penanaman dalam kawasan Hutan Lindung
di konsesinya. Areal yang seharusnya menjadi kawasan yang dilindungi,
justru mereka ubah menjadi areal produksi. Ditemukan adanya penanaman
eukaliptus yang berdekatan dengan tanaman hutan alam. Padahal kawasan
dalam fungsi Hutan Lindung yang pastinya memiliki nilai high carbon stock
(HCS, stok karbon tinggi, SKT) dan high conservative value (HCV, nilai
konservasi tinggi, NKT) dan menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna
yang dilindungi. Nyatanya,TPL abai dan justru menanam eukaliptus di
kawasan ini.
Kedua, PT TPL melakukan penanaman di dalam konsesinya yang berada
dalam fungsi Areal Penggunaan Lain (APL). TPL harusnya mengeluarkan
areal dengan fungsi APL dari izin konsesi mereka. Karena pada hakikatnya,
izin penggunaan kawasan hutan berada di atas fungsi kawasan hutan
produksi atau hutan produksi tetap dan tidak dibenarkan berada dalam
fungsi APL yang peruntukkannya jelas bukan untuk kehutanan. Dengan tidak
dikeluarkannya areal APL dari konsesi PT TPL, hal ini meruncingkan konflik
lahan dengan masyarakat.
Ketiga, PT TPL memanfaatkan pola Perkebunan Kayu Rakyat (PKR)
untuk menanam eukaliptus di luar izin konsesinya demi memenuhi
bahan baku produksi. Pola PKR ini memanfaatkan areal milik masyarakat
yang dikerjasamakan dengan TPL untuk ditanami eukaliptus. TPL akan
menanggung biaya untuk pembelian bibit hingga penanaman dan masa
panen. Kayu yang ditanam akan dibeli oleh TPL. Pola PKR ini pada awalnya
didukung pemerintah karena dianggap akan meningkatkan nilai guna lahan
dan ekonomi masyarakat. Namun pertanyaan besar dari pola yang diterapkan
PT TPL ini adalah: benarkah dengan pola PKR, masyarakat di sekitar konsesi
menjadi lebih sejahtera?
Keempat, TPL menebang kayu hutan alam jenis kulim dan kempas di dalam
konsesinya. Ditemukan aktifitas pembukaan hutan alam yang diperuntukkan
sebagai areal penanaman bibit eukaliptus baru di konsesi TPL sektor
Habinsaran. Pembukaan ini menggunakan alat berat dan diperkirakan
berlangsung sejak 2 bulan lalu. Bertempat di Desa Natumingka, Kecamatan
Borbor, tegakan kayu hutan alam ini berdiameter lebih dari 30 cm.
2. Bertentangan dengan UU Kehutanan dan Pertanahan
2.1. Kehutanan
Hasil investigasi memperlihatkan bahwa areal kerja atau konsesi TPL berada
di atas kawasan hutan dengan Fungsi Lindung (HL), Fungsi Hutan Produksi
yang dapat dikonversi (HPK), dan Areal Penggunaan Lain (APL). Ini tidak
dibenarkan menurut UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah
diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Penggabungan 2 data atau lebih secara tumpang susun (overlay) berdasarkan
Geographic Information Systems (GIS) dilakukan tim Jikalahari untuk
mengetahui kawasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau
IUPHHKHT TPL dengan fungsi kawasan hutan. Hasilnya?
Areal TPL berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 hektar,
Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT)
12.017,43 hektar, Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) 1,9 hektar, dan
Areal Penggunaan Lain (APL) 21.917,59 hektar. Dari 188.055 hektar konsesi
TPL, setidaknya 28% (52.668,66 hektar) adalah ilegal karena berada di atas
HL, HPK, dan APL.
Merujuk pada aturan Kehutanan sebelum UU Cipta Kerja terbit, seharusnya
total areal ilegal TPL seluas 141.537 hektar (HPTerbatas, HL, HPK, dan APL)
dari 188.055 hektar atau 75,26% karena TPL hanya diizinkan di areal Hutan
Produksi Tetap (HPTetap) seluas 122.368,91 hektar. Namun, pasca UU Cipta
Kerja terbit, HP Terbatas dilebur menjadi Hutan Produksi Tetap , sehingga total
luasan TPL menjadi 135.386,34 hektar.
Pasal Peralihan 184 huruf b UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
berbunyi “Perizinan Berusaha dan/atau Izin Sektor yang sudah terbit sebelum
berlakunya Undang-undang ini dapat berlaku sesuai dengan Undang-undang
ini”.
Paska terbitnya UU Cipta Kerja, pemerintah menerbitkan antara lain Peraturan
Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan jo
PermenLHK No 7 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan
Peruntukan Kawasan hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta
Penggunaan Kawasan Hutan jo PermenLHK No 8 Tahun 2021 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan
Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
Pasal 31 Ayat 1 huruf b dan c PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Kehutanan berbunyi mengatur Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi
(HP). Hutan Produksi (HP) terdiri atas hutan produksi tetap (HPT) dan Hutan
Produksi yang dapat di Konversi (HPK). Pengaturan legalitasnya diatur
tersendiri. Dalam HL disebut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH)
pada Hutan Lindung, dalam HP disebut PBPH pada Hutan Produksi.
PBPH Pada Hutan Lindung salah satunya Pemungutan Hasil Hutan Bukan
Kayu berupa rotan, madu, getah, buah, biji, jamur, daun, bunga, sarang burung
walet dan atau hasil hutan bukan kayu lainnya dilakukan dengan ketentuan:
hasil hutan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami dan atau
hasil rehabilitasi, tidak merusak lingkungan, tidak mengurangi, mengubah,
atau menghilangkan fungsi utamanya, dan memungut hasil hutan baku sesuai
jumlah, berat atau volume yang diizinkan. Jangka waktu Pemanfaatan Hutan
pada Hutan Lindung paling singkat 35 tahun.
PBPH pada Hutan Lindung Bukan Kayu pada prinsipnya melarang menebang
pohon pada areal PBPH, melakukan pemanenan atau pemungutan hasil hutan
melebihi daya dukung hutan, memindahkan PBPH kecuali dengan persetujuan
tertulis dari pemberi Perizinan Berusaha, membangun sarana dan prasarana
yang mengubah bentang alam, menggunakan peralatan mekanis dan alat
berat dan atau meninggalkan area kerja.
PBPH pada Hutan Produksi Hasil Hutan Kayu budidaya tanaman berupa
penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan,
pemanenan, pengolahan dan pemasaran . PBPH pada Hutan Produksi
diberikan untuk jangka waktu paling lama 90 tahun. PBPH pada hutan
Produksi dilarang diberikan dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan
yang telah mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan hutan,
kawasan hutan yang telah dibebani PBPH, kawasan hutan yang telah
diberikan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial, dan kawasan hutan
yang telah diberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan dan pelepasan
kawasan hutan.
Khusus untuk HPK peruntukan pembangunan di luar kawasan hutan atau non
kehutanan, itu biasanya langsung dilepaskan dari kawasan hutan menjadi
APL. Perizinan APL berlaku merujuk ke UU No 5 Tahun 1960 tentang Undang-
Undang Pokok Agraria.
PBPH pada Hutan Lindung tidak boleh diberikan pada PBPH pada Hutan
Produksi begitu pula sebaliknya. Rujukannya Pasal 31 Ayat 3 Huruf C PP 23
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang berbunyi “Hutan
Produksi Tetap, di luar kawasan hutan lindung, kawasan hutan suaka alam,
kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru.”
Bila PBPH pada Hutan Produksi Tetap berada di atas PBPH Hutan Lindung
dan Hutan Produksi yang Dapat di Konversi (HPK), selain dikenakan sanksi
administrasi, juga dapat dikenakan sanksi pidana, apalagi sampai menebang
kayu di dalam Hutan Lindung.
UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan sebagaimana diubah dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Pasal 36 No 12 yang mengubah ketentuan Pasal 82 ayat 3 huruf a, b dan c
yang intinya korporasi menebang pohon dalam kawasan hutan tidak sesuai
dengan Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Hutan, penebangan pohon
dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari pemerintah pusat
dan melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah,
pengurusnya dipidana penjara paling singkat 5 tahun, paling lama 15 tahun,
denda paling sedikit Rp 5 milyar, paling banyak Rp 15 milyar. Korporasi dikenai
pemberatan 1/3 dari denda pidana yang dijatuhkan.
Temuan hasil investigasi, TPL menanam eukaliptus di dalam Hutan Lindung
yang masuk dalam areal kerja PT TPL. Tahun 2007, alat berat mereka
menebang kayu alam di titik N 04 62’ 725” E 02 74’ 03”, sekitar 318 meter
dari jarak penebangan. Tahun 2021, tim investigasi menemukan bahwa
areal tersebut telah ditanami eukaliptus. Artinya, tanaman eukaliptus yang
ditemukan tim Investigasi 2021 bekas kayu alam yang ditebang oleh TPL tahun
2017.
Temuan lainnya, TPL telah melakukan penebangan hutan alam jenis kayu
kulim dan kempas dengan diameter lebih dari 30 cm di dalam HPT. Dua jenis
kayu ini termasuk tanaman yang dilindungi sesuai dengan PermenLHK No 20
Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi terbit pada
29 Juni 2018.
Enam bulan kemudian, pada 28 Desember 2018, terbit PermenLHK No 106
Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas PermenLHK 20 Tahun 2018 tentang
Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, di mana kempas dikeluarkan dari
jenis tumbuhan yang dilindungi. PermenLHK tersebut bertentangan dengan
moratorium hutan sejak 2010 hingga 2019 yang diterbitkan oleh pemerintah
dalam bentuk Inpres.
Inpres terakhir bukan lagi moratorium tapi penghentian permanen merujuk
pada Inpres No 15 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Hutan Gambut terbit
pada 17 Agustus 2019. Salah satunya Menteri LHK harus menetapkan Peta
Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPIB) hutan alam primer pada
kawasan hutan yang telah direvisi serta melakukan upaya pengurangan emisi
dari hutan alam primer melalui perbaikan tata kelola pada kegiatan usaha
yang diusulkan pada hutan alam primer yang ditetapkan pada PIPIB.
Semestinya areal di dalam konsesi TPL yang masih berupa hutan alam
secepatnya direvisi oleh KLHK untuk dimasukkan dalam PIPIB agar tidak
ditebang oleh TPL. Penebangan akan berpengaruh pada peningkatan emisi.
2.2. Pertanahan
Areal kerja TPL yang di dalam Areal Penggunaan Lain (APL) umumnya berada
di luar kawasan hutan sehingga bertentangan dengan UU Kehutanan maupun
UU Pokok Agraria. Menurut regulasi ini, pada prinsipnya APL berada di luar
kawasan hutan. Pula, tidak boleh ada izin atau perizinan berusaha di kawasan
hutan dalam APL. Mengelola APL yang berasal dari kawasan hutan menjadi
kewenangan Menteri Agraria dan tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN)
Ketidakpatuhan TPL terhadap perkembangan produk perundangan-undangan
di bidang kehutanan juga terlihat pada pola kerjasama yang dibuatnya
bersama masyarakat dalam wujud Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) baik dalam
konsesi mereka maupun di luarnya atau di APL. Pola PKR dalam konsesi TPL
tidak dikenal dalam Khazanah kehutanan.
Dalam kehutanan dikenal pola kerjasama antara masyarakat dengan korporasi
berupa Kemitraan Kehutanan merujuk pada Permenhut 39 Tahun 2013 tentang
pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan. Lalu,
pada 2016 terbit P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial jo P9 Tahun 2021
tentang pengelolaan perhutanan sosial. Ringkasnya, kemitraan TPL dengan
pola PKR dalam areal konsesinya bertentangan dengan aturan kehutanan.
Adapun pola PKR antara TPL dengan masyarakat sekitar di luar kawasan
hutan, itu dibenarkan jika merujuk Permenhut No 30 tahun 2012 tentang
Penataan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Hak.
Pola kerjasama dengan pendekatan PKR yang dilakukan oleh PT TPL
sesungguhnya tidak diminati masyarakat; jadi, dipaksakan oleh perusahaan.
Hal ini tertuang dalam thesis yang ditulis oleh Dame S Lumbantobing pada
2015, Analisis Stratejik Manajemen PT Toba Pulp Lestari untuk program
pengembangan Perkebunan Kayu Rakyat (PKR).
Analisis Dame bertujuan untuk menemukan faktor internal maupun eksternal
yang mempengaruhi keberhasilan program ini. Dia memaparkan bahwa TPL
mengusung pola PKR bersama masyarakat dengan menanam eukaliptus di
atas tanah hak milik masyarakat. Perusahaan akan menyediakan bibit. Pula,
menanggung semua biaya dari penyiapan lahan hingga pemanenan dan
pengangkutan hasil ke pabrik.
Dari kerjasama pola PKR ini masyarakat akan mendapatkan keuntungan
berupa upah atas pengerjaan lahannya serta hasil pemanenan kayu dengan
pembagian persentase: 40% (untuk masyarakat) dan 60% (pengembalian
modal investasi yang dikeluarkan perusahaan dari awal hingga proses
penanaman).
Namun program yang sudah diusung sejak 1991 ini tidak terlalu diminati
masyarakat. Pada 2013, jumlah area PKR menurun karena warga sudah tidak
ingin melanjutkan perikatan. Rendahnya pendapatan dari hasil kerjasama—
cuma Rp 2,5 juta per bulan atau Rp 30,8 juta per tahun—sementara daur atau
jangka waktunya lama, 5 tahun, membuat pola ini tidak disukai masyarakat.
TPL berupaya menarik masyarakat untuk tetap mempertahankan pola PKR ini
dengan melakukan promosi hingga ke rumah-rumah serta menaikkan harga
pembelian kayu. Tapi, hasilnya tidak maksimal. Masyarakat tetap tidak tertarik
melanjutkan.
1.3. Keberadaan Konsesi TP TPL Tanpa Pengukuhan Kawasan Hutan di Wilayah Adat
Konsesi PT. Toba Pulp Lestari (TPL) diberikan berdasar peta Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK) 1982. Peta TGHK ini sifatnya memberikan arahan
ihwal alokasi kawasan hutan dan fungsinya. Statusnya dalam konteks tata
perencanaan kehutanan berupa ‘penunjukan’ yang kemudian ditetapkan
melalui Surat Keputusan Menteri. Peta TGHK 1982 belum masuk ke status
penunjukan.
Bila mengacu peraturan perundangan-undangan, Pengukuhan Kawasan
Hutan adalah rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan,
dan penetapan kawasan hutan untuk memberikan kepastian hukum atas
status, letak, batas dan luas wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Status
‘penunjukan’ ini belumlah memiliki kekuatan hukum tetap.
Dalam pengukuhan kawasan hutan untuk mendapatkan kepastian hukum,
seharusnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dijadikan rujukan;
termasuk dalam penataan batas dan pemetaan kawasan hutan.
Pertama, Putusan MK No. 45/2011 Mengenai pengujian konstitusionalitas
kawasan hutan tidak sekadar penunjukan kawasan hutan. Itu harus dilakukan
melalui penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan.
Kedua, Putusan MK No. 35/2012 terkait status hutan adat yang tidak lagi
berstatus hutan negara. Jadi status hutan terdiri dari: hutan negara, hutan
adat, dan hutan hak.
Ketiga, Putusan MK No. 34/2011 terkait penguasaan hutan oleh negara, yang
wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum
adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak
masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-
undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Pengukuhan kawasan hutan harus menjadi pintu masuk untuk mendorong
percepatan penyelesaian konflik tenurial (hak dan jaminan atas hak) yang
merupakan permasalahan mendasar selama ini.
Proses pengukuhan kawasan hutan tidak lagi hanya sebatas untuk pemenuhan
syarat administrasi legal formal. Aspek legitimasi dari sebuah proses
pengukuhan kawasan hutan harus mengutamakan inventarisasi kepemilikan
lahan dan social mapping (pemetaan sosial). Dan, itu harus terbuka atau
transparan.
Merujuk Pasal 22 ayat 3 PP 23 Tahun 2020 tentang Perencanaan Kehutanan,
Hasil Penetapan Kawasan Hutan berupa berita acara tata batas kawasan
hutan dan peta tata batas kawasan hutan yang telah temu gelang (artinya:
telah bertemu kedua ujungnya laksana gelang; para pihak sudah bersepakat),
terbuka untuk diketahui masyarakat.
Sampai sekarang, masyarakat pemilik lahan yang berbatas dengan kawasan
hutan tidak dapat mengaksesnya. Bukti penataan batas ini akan dikatakan
selesai jika Berita Acara Tata Batas (BATB) ditandatangani sebagai bentuk
persetujuan dari pemilik lahan yang berbatasan dengan kawasan hutan yang
dikukuhkan.
Proses pemetaan pun akan dianggap selesai kalau sudah temu gelang.
Artinya, bukan hanya sekadar pemajangan tata batas, tetapi pelaksanaan
tata batas kawasan hutan sudah temu gelang dan telah disepakati oleh
semua pihak. Tahapan inilah yang bisa membuktikan bahwa semua hak pihak
ketiga sudah diakomodir dan diakui dalam proses tata batas. Setelah itu baru
kawasan hutan itu dikukuhkan lewat keputusan menteri.
Dalam kasus TPL, status kawasan masih berupa arahan alokasi (penunjukan)
tapi pemerintah sudah menerbitkan konsesi di atasnya. Kawasan hutan yang
masih berstatus arahan alokasi (penunjukan) dan belum dikukuhkan (ditata
batas, dipetakan, dan ditetapkan) sebagai kawasan hutan sudah diberikan hak
penguasaannya kepada perusahaan.
Kampung/huta dan wilayah adat yang ada dan belum keluarkan dari “peta
alokasi/penunjukan kawasan hutan” langsung ditimpa dengan konsesi.
Ini namanya pencurian atau pengambilan sepihak secara paksa hak-hak
masyarakat adat.
Oleh karenanya, pengukuhan kawasan hutan di wilayah adat merupakan
prioritas menteri. Menteri LHK memprioritaskan percepatan Pengukuhan
Kawasan Hutan pada daerah strategis; salah satunya adalah hutan adat yang
merupakan bagian dari wilayah adat masyarakat adat.
I. Kerusakan Fungsi Hidrologi Daerah Tangkapan Air Danau Toba Akibat
Aktivitas PT Toba Pulp Lestari
Luas Daerah Tangkapan Air Danau Toba adalah 390.000 hektar (luas perairan
Danau Toba sekitar 112.000 hektar dan luas daratannya sekitar 279.000
hektar).
Konsesi TPL berada di 4 wilayah Hulu DTA dan DAS Danau Toba : DAS Aek
Silang, DAS Aek Bolon, DAS Aek Nauli, dan DAS Aek Simare yang terletak
di 4 kabupaten yaitu Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba, dan
Simalungun. Ada sekitar 36.544 hektar areal konsesi TPL berada di Daerah
Tangkapan Air Danau Toba, dimana terdapat 55 sungai besar dan 3.039
anak sungai yang menjadi pemasok air untuk Danau Toba yang rusak akibat
aktivitas TPL di Hulu DTA tersebut. Hal ini membuat lahan pertanian seperti
sawah, salah satunya di Kabupaten Toba, beralih fungsi seluas 2.000 hektar
lebih akibat terganggunya pasokan air dari hulu.
Banyak tanaman maupun aktivitas TPL berada sangat dekat dengan
sempadan anak sungai maupun anak sungai. Jarak tanam eukaliptus yang
seharusnya berjarak 100 meter dari sungai dan 50 meter dari sempadan anak
sungai dan 200 meter dari mata air. Hal ini melanggar Permen KLHK No12
Tahun 2015 tentang Pembangunan Tanaman Industri (Tata Ruang IUPHHKHTI) Pasal 7.
Sekitar 17 ribu hektar aktivitas masif PT. TPL ini berada di Daerah Tangkapan
Air Danau Toba sejak tahun 2001-2020
II. Hasil Analisis Tutupan Lahan (1990-2019) dan Deforestasi TPL selama
Tahun 2001-2020
Unit Kerja Pemetaan Partisipatif (UKP3) AMAN Tano Batak menganalisa hasil
tutupan lahan yang bersumber dari data webgis Departemen Kehutanan
Republik Indonesia dan beberapa data spasial lainya. Hasilnya menunjukkan
perubahan signifikan tutupan lahan atau pun hutan di sekitar konsesi PT. Toba
Pulp Lestari selama 30 tahun terakhir.
• Pada 1990, TPL memiliki Hutan Tanaman seluas 38.000 hektar dan
tutupan hutan di wilayah konsesi tersebut 67.196 hektar.
• Pada 1996, luas hutan tanaman ini masih seperti semula.
• Dalam rentang 1996-2000, luas hutan tanaman tadi bertambah
menjadi 44.565 hektar dan tutupan hutan alam (primer dan
sekunder) berkurang menjadi 59.000 hektar atau menyusut sekitar
8.000 hektar dalam 4 tahun.
• Pada 2000-2006, perluasan hutan tanaman tidak terjadi.
• Pada 2006 – 2009, atau dalam waktu 3 tahun, masif pembukaan
hutan untuk perkebunan eukaliptus. Dari 44.000 hektar, sekitar
10.000 hektar hutan alam (primer dan sekunder) habis untuk
perluasan tanaman eukaliptus. Dari 59.000 hektar, hutan tanaman
menjadi 60.000 hektar. Pada sisi lain, tutupan hutan menyusut
menjadi 49.000 hektar, dari 44.000 hektar.
• Pada 2009-2019, atau dalam kurun 1 dekade, luas hutan tanaman
bertambah menjadi 72.000 hektar atau naik sekitar 12.000 hektar.
• Sejak masa Indorayon hingga sekarang (3 dekade lebih) perusahaan
sudah membuka hutan dan lahan 72.000 ribu hektar.
• Dalam 2 dekade (2001-2020) kehilangan tutupan hutan/deforestasi
(primer ataupun sekunder) oleh aktivitas TPL 67.000 hektar.
Sebanyak itu bentang alam hutan yang hilang di seluruh konsesi.
Demikian menurut analisis citra, analisis peta tutupan lahan, dan
sumber data deforestasi dari Global Forest Watch
Sungguh luar biasa, bukan kejahatan PT Inti Indorayon Utama yang
belakangan hari ganti kesing menjadi PT Toba Pulp Lestari?
Parapat, 24 Juli 2021.