Kejahatan Kemanusiaan dan Politik
Pecah-Belah yang Dilakukan TPL
Oleh: Agustin Simamora, Wilson Nainggolan, dan Domu D. Ambarita (Koordinator)
Sejak PT Inti Indorayon Utama (PT IIU) mengajukan pendirian pabrik di
kawasan seluas 200 hektar di Sosor Ladang, Porsea, pada 31 Oktober 1984,
pro dan kontra segera muncul. Sebagian masyarakat menolak kehadiran pabrik
kotor dan polutan di hulu sungai. Sedangkan kelompok lainnya lagi, terutama
kalangan birokrasi sipil dan ABRI (sekarang TNI/Polri), mendukungnya.
Bukan hanya di tingkat rakyat akar rumput yang terjadi beda pendapat. Di
pemerintahan pun demikian. Menteri bahkan ada yang sepakat dan ada yang
tidak.
Indorayon berdiri pada 26 April 1983. Setahun kemudian, pada 19 November
1984, mereka memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas 150.000
hektar yang mencakup hutan pinus merkusi di Sumatra Utara.
Sebelum pabrik mereka beroperasi, pemerintah melalui Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengadakan rapat ilmiah yang dipimpin
Menristek/Kepala BPPT BJ Habibie. Pertemuan pada 17 Mei 1985 itu
membahas rencana proyek pulp dan rayon di wilayah Otorita Asahan. Terjadi
beda pendapat antara Menteri Negara Kehutanan dan Lingkungan Hidup Emil
Salim dengan BJ Habibie ihwal layak-tidaknya lokasi pabrik di Sosor Ladang,
hulu Sungai Asahan.
Tiga hari kemudian pakar ekologi lingkungan yang juga guru besar Universitas
Padjadjaran, Bandung, Otto Soemarwoto menolak ikut bertanggung jawab
atas keputusan rapat ilmiah tersebut. Alasan tokoh Otorita Pengembangan
Proyek Asahan (OPPA) ini adalah tidak cukup data untuk mengambil
keputusan ilmiah.
Selanjutnya, BJ Habibie meminta petunjuk Presiden Soeharto. Keputusannya,
proyek tersebut tetap dilanjutkan dengan syarat-syarat secukupnya.5 Adakah
pejabat yang berani melawan keputusan dan perintah sang penguasa otoriter
yang berlatar jenderal? Tentu tiada.
Terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri—BJ Habibie dan Emil
Salim—tentang syarat operasi Indorayon, pada 13 November 1986. Isinya
“mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh PT IIU dalam
melaksanakan pembangunan dan operasi proyek/pabrik pulp dan rayon
terpadu dengan wawasan lingkungan”.
Penduduk melakukan perlawanan pertama pada Juni-Agustus 1987. Wakil-wakil
penduduk desa Sianipar I dan II serta Simanombak memprotes karena
tanah telah menutupi sawah mereka.
Longsor terjadi akibat proyek yang dipaksakan: pembuatan jalan di hutan
Simare. Sawah 15 hektar milik 43 KK tertimbun saat itu. Korban yang tewas
15 orang. Ternyata amblas terjadi lagi pada 7 Oktober 1987. Lokasinya di Desa
Natumingka, Kecamatan Habinsaran, hanya 16 Km dari yang pertama. Yang
kehilangan nyawa 15 orang.
Warga Kembali panik. Penampungan air limbah (aerated lagoon) jebol ketika
Indorayon uji produksi pada 9 Agustus 1988. Diperkirakan sejuta meter kubik
limbah mencemari Sungai Asahan.
Organisasi pro-lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
menggugat Indorayon melalui kuasa hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI), Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Luhut MP
Pangaribuan. Gugatan terhadap BKPM, Menteri Perindustrian, Menteri
Kehutanan, Menneg KLH, Gubernur Sumut, dan Indorayon dilayangkan
dengan alasan pelanggaran UU Lingkungan. Mereka menuntut agar izin
Indorayon dibatalkan.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak seluruh gugatan. Penggugat malah
dihukum dengan membayar biaya perkara Rp 79.500, dalam siang putusan 14
Agustus 1989.
Perlawanan juga datang dari warga Sugapa, Kecamatan Silaen. Namun, polisi
menangkap 16 orang dari mereka pada 15 Desember 1989 karena mencabuti
patok Indorayon di lahan mereka yang berluas 52 hektar.
Semula bersifat penanaman modal dalam negeri, Indorayon kemudian
berubah menjadi penanaman modal asing (PMA). Ketua BKPM
mengumumkan persetujuan Presiden tersebut lewat surat. Investor asing
yang masuk adalah Cellulosa International S.A. (6,2%), dan Scann Fibre Co.
S.A. dari Luxemburg (9,3%). Pesaham dari dalam negeri adalah Sukanto
Tanoto (24,3%), Polar Yanto Tanoto (5,8%), PT Adimitra Rayapratama (25,2%),
PT Inti Indorayonesia Lestari (18,5%), Hendrik Muhamad Affandi, Semion
Tarigan, dan Hakim Haryanto.
Presiden Soeharto justru menyetujui perluasan Indorayon, pada 20 November
1990. Penambahan investasi pun berlangsung. Menteri Kehutanan Hasjrul
Harahap menambah HPH Indorayon menjadi 269.060 hektar, pada 1 Juni
1992. Areal konsesi meliputi Tapanuli Utara (termasuk Toba Samosir), Tapanuli
Selatan, Dairi, Simalungun, dan Tapanuli Tengah.
Petaka terjadi pada 5 November 1993. Boiler meledak dan klorin bocor.
Penduduk pun merusak 125 rumah karyawan pabrik, 5 mobil pikap, 5 sepeda
motor, 1 mini market, dan 1 stasiun radio (‘Bona Pasogit’). Satu traktor dibakar.
Warga memblokir jalan konvoi truk Indorayon. Muspida kemudian menutup
pabrik untuk sementara.
Indorayon meminta maaf pada 12 November 1993 dan menjanjikan bantuan
kepada masyarakat lewat Yayasan Sinta Nauli. Mereka juga akan mengaudit
dampak lingkungan dengan memakai jasa auditor internasional. Menteri
Perindustrian Tunky Ariwibowo mengizinkan mereka beroperasi kembali.
Aerated lagoon kembali jebol pada 2 Maret 1994. Sungai Asahan tercemar
dan banyak ikan mati akibat limbah. Atas saran Meneg KLH Sarwono
Kusumaatmaja, auditor lingkungan yang berkantor pusat di Mclean, Virginia,
AS, Labat-Anderson Incorporated mengaudit Indorayon mulai April 1994.
Hasil audit dirahasiakan rapat-rapat. Barulah setelah era reformasi, laporan
berjudul Environmental, Safety, and Health Audit of Pulp Mill, Rayon Plant and
Forestry Operations of PT Inti Indorayon Utama bisa diakses orang luar. Nyata
bahwa kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi ini maha serius.6
6Dampak Operasi PT Inti Indorayon Utama Terhadap Lingkungan Danau Toba, Jansen
H Sinamo, Jakarta, 1999
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), bekerja sama
dengan Walhi, juga meneliti pada 20-27 April 1998. Hasilnya membuktikan
bahwa telah terjadi pencemaran di kawasan pabrik Sosor Ladang. Akibatnya,
di sana risiko penyakit kulit buat ibu 7x dan balita 2-5x; saluran pernapasan 3x
buat ibu dan 2x untuk balita; saluran pencernaan 6x buat ibu dan juga 6x buat
balita; mata 2-3 x; mual-mual 6x; syaraf 2x senantiasa membayang.
Setelah rezim Orde Baru runtuh, yang ditandai lengsernya Soeharto dari kursi
presiden pada 21 Mei 1998, penolakan makin menguat. Para pencinta Danau
Toba dan pegiat lingkungan hidup protes dan bergerak bersama mendesak
penutupan Indorayon. Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba dan
berbagai organisasi non-pemerintah akhirnya berhasil meyakinkan Presiden
BJ Habibie sehingga Indorayon tutup sejak 19 Maret 1999.
Politik Devide et Impera
Luas areal konsesi PT IITU/TPL beberapa kali berubah. Awalnya, pada 19
November 1984, mereka memperoleh Hak Pengusahaan Hutan 150.000
hektar. Pemerintah, melalui SK Menteri Kehutanan nomor 493 tahun 1992,
meluaskannya menjadi 269.060 hektar hutan produksi (HP). Setelah
perubahan kali ke-3, melalui SK Menteri Kehutanan No. 179 tahun 2017 (Nomor
SK.179/Menlhk/Setjen/HPL.0/4/2017, luas areal konsesinya menjadi 185.016
hektar.7
Perusahaan ini memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Tanaman Industri (IUPHHK- HTI) yang tersebar di 12 kabupaten/kota
di Sumatera Utara. Penduduk di 12 kawasan, diperkirakan berjumlah 4,5 juta
(rekap data penduduk masing-masing kabupaten tahun 2019).
Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak dan Kelompok
Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) menyebut terdapat
23 komunitas adat di kawasan Danau Toba. Lazim, masyarakat adat
berdasarkan marga dan menempati huta (kampung). Mereka telah ratusan
tahun menempati desanya. Tanah ulayat memang sudah beratus tahun
umurnya; jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sejak awal kerap kali Indorayon berbenturan dengan masyarakat adat. Dalam
berkonflik, kekerasan dan pendzoliman berulang kali mereka lakukan. Di
tulisan sebelumnya telah dipaparkan bagaimana mereka memperlakukan
penduduk desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, pada 18 Mei
2021. Juga seperti apa sikap tak semena-mena mereka terhadap penduduk
Nagori/Desa Sihaporas Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten
Simalungun, pada 17 September 2019.
Merusak Tatanan Dalihan Natolu
Dalihan Natolu adalah filosofi sosial-budaya berbagai puak di Sumatera Utara.
Istilah dan penyebutan pranata sosial ini aneka namun esensinya sama. Pada
Batak Toba, Simalungun, dan Angkola-Mandailing disebut Dalihan Natolu.
Pada Masyarakat Karo, Rakut Sitelu dan pada orang Pakpat, Sangkep Nggeluh.
Dalihan Natolu menjadi kerangka segitiga yang meliputi hubungan
kekerabatan karena darah atau hubungan perkawinan yang mempertalikan
antar-kelompok. Bunyi filosofi ini somba marhulahula (sikap hormat-sembah
kepada keluarga pihak istri), elek marboru (sikap mengayomi-membujuk anak-
perempuan), dan manat mardongan tubu (sikap berhati-hati kepada teman
semarga).
Dalihan Ntolu bukan hanya sebagai pranata sosial, melainkan juga satu sistem
hukum adat yang mengikat, berlaku dinamis di tengah masyarakat, menyatu,
dan tidak bertolak belakang dengan hukum agama dan hukum positif.
Dengan demikian, ia berkontribusi positif bagi masyarakat yang ingin hidup
bersatu, rukun, damai, guyub, hormat-menghormati, dan bergotong royong.
Begitupun, prinsip yang dipraktikkan turun-temurun selama beratus tahun
telah rusak dan terancam hancur akibat politik pecah-belah Indorayon.
Membenturkan Sesama Warga
Selama 35 tahun beroperasi, PT Inti Indorayon Utama-PT Toba Pulp Lestari
acap menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat yang berada di
dekat pabrik dan konsesinya. Mereka gemar mengadu domba. Modusnya,
mereka merekrut penduduk setempat hingga ke desa-desa untuk dijadikan
kontraktor (jumlahnya sangat sedikit) atau buruh harian lepas. Kalau tidak,
mereka memberi imbalan atau iming-iming ke kalangan tertentu agar sudi
melakukan sesuatu. Orang yang dipekerjakan atau dibayar ini kemudian
dimajukan sebagai ujung tombak perusahaan dalam menghadapi mereka
yang protes atau unjuk rasa.
Cara-cara memecah-belah ini mereka gunakan di banyak tempat. Di
Desa Natumingka, misalnya. Seorang ketua komunitas adat dipengaruhi
dan direkrut pada 2019. Ia diberi iming-iming yakni putra-putrinya akan
dipekerjakan di TPL. Namun, ada syaratnya yakni yang bersangkutan
tidak boleh terlibat aktif dalam memperjuangkan dan mempertahankan
tanah adat nenek-moyang Huta Natumingka. Hal ini tentu menimbulkan
ketidakharmonisan di komunitas adat. Belakangan, orang itu undur diri dari
jabatan ketua komunitas. Sampai sekarang, ia sama sekali tidak lagi terlibat
dalam perjuangan kelompok.
Politik belah bambu ini juga diterapkan TPL ke masyarakat Sihaporas. Seorang
warga yang menjadi sekretaris Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang
Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) sontak menyampaikan surat pernyataan
mundur dari organisasi, pada 2020. Ia juga menyebut tidak ikut lagi dalam
barisan perjuangan menuntut pengembalian tanah adat nenek moyangnya.
Sebabnya? Menantunya telah menjadi pekerja TPL.
Akibat membelot dari komunitas adat, mantan sekretaris Lamtoras itu menjadi
‘marsanding’ (bermusuhan) dengan kelompoknya. Ia tak lagi saling sapa. Pula,
tak menghadiri pesta adat sesama saudara kandung dan anggota komunitas.
Tatkala saudara kandungnya meninggal dan keponakannya kemalangan,
orang itu tak menampakkan diri.
Jauh hari, pada 2002, sejumlah anggota komunitas adat yang getol unjuk
rasa untuk meminta pengembalian tanah adat juga direkrut TPL. Mereka
dipekerjakan, dengan syarat menyatakan undur diri dari komunitas. Tentu saja
setelah itu mereka menjadi jinak.
Tanah adat Sihaporas telah ditempati turun-temurun oleh 8-11 generasi.
Tanah ini diambil penjajah Belanda untuk ditanami pinus, sekitar tahun 1913.
Kolonialis itu menerbitkan peta Enclave Sihaporas, pada 1916, atau 29 tahun
sebelum Indonesia merdeka.
Mereka yang dipekerjakan korporasi tidak hanya mundur dari komunitas adat
tapi juga menjadi mata-mata untuk tuan barunya. Akibatnya, bentrokan pun
terjadi.
Setelah warga lemah, TPL mengambil tindakan hukum terhadap mereka.
Lima orang penduduk Sihaporas yang merupakan pejuang tanah adat terkena
kriminalisasi. Arisman Ambarita, Mangitua Ambarita, Parulian Ambarita,
Thompson Ambarita, dan Jonny Ambarita ditangkap polisi dan diseret ke
pengadilan. Empat yang terakhir ini divonis dan ditahan.
Komunitas masyarakat adat Aeknapa di Desa Sabungan Ni Huta IV,
Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, juga telah dipecah-belah.
TPL diduga membenturkan 2 komunitas. Masyarakat Adat Keturunan Ompu
Ronggur Simanjuntak dan Ompu Bolus Simanjuntak diperhadapkan dengan
pendatang dan penumpang, tahun 2020. Kaum pendatang ke desa itu
difasilitasi saat membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH). Padahal sebelumnya
penduduk setempat hidup berdampingan dengan damai.
Membenturkan masyarakat secara horizontal melalui pembentukan Kelompok
Tani Hutan juga terjadi di tempat lain. KTH Sipolha Nauli versus masyarakat
adat Sihaporas, masih di tahun 2020, misalnya. KTH belakangan memasuki
wilayah hutan adat Sihaporas untuk mengambil dan menguasai hasil hutan.
Kekerasan nyaris terjadi.
Di Desa Sirait Uruk, Porsea, Kabupaten Toba Samosir, juga TPL menjalankan
strategi yang mirip. Semula mereka mengajak warga dan tetua adat makan-
makan. Lalu belakangan, warga yang semula menentang ini menjadi berpihak
ke perusahaan. Dua pihak lantas berhadap-hadapan dengan kepentingan
berbeda. Sempat terjadi perusakan rumah-rumah warga di sana oleh pihak
TPL.
Persoalan Gender
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik verbal maupun non-
verbal kerap dialami kaum ibu, setelah kehadiran Indorayon/TPL. Lelaki di
Pandumaan-Sipituhuta dan Sipahutar, misalnya. Dahulu kala, warga hidup
berkelimpahan berkat hasil menyadap getah pohon haminjon (kemenyan).
Dalam perkembangannya, TPL merambah kayu alam dan menebangi
haminjon. Hutan tropis berubah menjadi hutan monokultur: eukaliptus (kayu
putih). Perekonomian petani haminjon pun merosot.
Mata pencaharian yang rusak akibat perampasan tanah oleh TPL ternyata
membuat banyak keluarga bermasalah. Suami-istri berselisih paham. Suami
takut pulang ke rumah karena tidak mampu menyetor uang untuk kebutuhan
rumah tangga. Mereka lalu berlama-lama di hutan: bersembunyi untuk
menghindar dari istri.
Kaum ibu dan perempuan masyarakat Adat Nagasaribu Onan Harbangan,
Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, berbeban ganda
akibat kehadiran Indorayon/TPL. Saat hutan asri, sumber air jernih sangat
dekat ke permukiman. Belakangan, akibat penggundulan hutan tropis
perempuan dan anak-anak mengangkut air dari sumber yang lebih jauh.
Mereka memikul atau menjunjung air untuk kebutuhan rumah tangga dari
sungai, karena mata air telah rusak kalau bukan kering.
Menghancurkan Situs Kuno dan Makam Leluhur
Indorayon masuk ke dalam wilayah adat Huta Natumimgka tahun 1987. Saat
TPL membuka jalan, hutan tropis mereka ganti dengan hutan tanaman industri
eukaliptus. Alat-alat berat mereka pun merusak, kalau bukan menghancurkan,
situs-situs sejarah saat membuka jalan dan lahan. Makam-makam leluhur
di perkampungan lama di Janji Matogu, umpamanya, hancur terlindas dan
akhirnya terkubur.8 Korporasi kala itu menggunakan alat berat tanpa seizin
dan sepengetahuan masyarakat adat setempat.
Akibatnya, tulang-belulang leluhur pun berserakan. Beberapa benda pusaka
seperti pinggan pasu (piring keramik kuno) dan benda-benda artefak lainya
luluh lantah. Kemarahan masyarakat tersulut. Mereka meminta Indorayon
memperbaikinya. Tulang-belulang leluhur tersebut akhirnya dikumpulkan di
satu lokasi dan dimakamkan kembali di kitaran tugu.
Terdapat 5 makam yang diberi tanda batu di sekitar Huta Janji Matogu.
Menurut penuturan dari para tetua Masyarakat Adat Natumingka, banyak
bagian dari tulang-belulang itu yang hilang.
Para tetua adat Natumingka mengatakan masih banyak makam tua yang
belum dapat diidentifikasi atau ditemukan kembali hingga hari ini. Kuburan itu
berada di perkebunan eukaliptus yang tanahnya sudah ditanami. Jelas, ucap
beberapa warga, Indorayon/TPL tidak menghargai sejarah dan leluhur para
masyarakat adat Natumingka. Padahal bagi masyarakat, ziarah makam untuk
menghormati arwah para leluhur sangatlah penting.
Di Desa Sihaporas, tempat-tempat ritual yang sangat dihormati dan dilindungi
masyarakat pun rusak sejak masuknya TPL. Tanda-tanda perkampungan di
kawasan hutan Siholi-holi, berantakan. Tanahnya telah rata oleh alat berat.
Padahal sampai Agustus 2000, saat tim dari Komisi A DPRD Kabupaten
Simalungun dan Pemkab Simalungun, mengecek fakta situs kuno, parit tua
masih ada di sana. Tanah yang dikeruk, parit itu. Fungsinya sebagai benteng
pertahanan penduduk saat menghadapi musuh. Juga, kubangan untuk
menjebak binatang buas.
Perusakan lainnya terjadi pada sumber mata air (umbul) untuk keperluan
ritual adat. Sumber air bersih seperti Bongbongan Nabolon (Kolam besar),
Sungai Meranti, dan Sungai Aek Sidogor-dogot pun rusak dan tercemar racun,
pada 25 Oktober 2018.9 Banyak ihan atau dekke Batak (latin: neolissochilus
sumatranus) yang mati. Ikan semah yang digunakan dalam keperluan ritual
adat masyarakat adat Sihaporas, kini nyaris punah akibat aktivitas TPL.
Untuk memotret dampak kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Provinsi