Antara Harapan dan Kenyataan
Mempertanyakan Keseriusan
Pemerintah Membangun
Pariwisata Danau Toba
Oleh: Dr. Dimpos Manalu; Kristin Sitanggang, SH, MH; Karmel Simatupang, MA; dan Prof. Dr. Posman Sibuea.
Dunia kian melirik sektor pariwisata sebagai sebagai sumber devisa dan motor
pertumbuhan ekonomi. Era industri ekstraktif, mencakup gas dan minyak bumi,
tak lama lagi akan berakhir karena kian menipisnya cadangan di dalam perut
bumi. Begitu juga dengan eksploitasi sumber daya alam lainnya.
Pariwisata dikenal sebagai sektor yang minim modal tapi mampu mendatangkan
nilai tambah sangat besar bagi perekonomian. Baik dari sisi devisa dan
penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja, maupun pengurangan kemiskinan
ia sangat menjanjikan. Juga terbukti ramah lingkungan, mendukung masa
depan ekonomi yang berkelanjutan (green economy), dan mendorong lahirnya
beragam inovasi dan kewirausahaan.
Pariwisata menjadi primadona seiring dengan pertumbuhan ekonomi global,
meningkatnya jumlah kelas menengah, perkembangan teknologi digital,
lahirnya model-model bisnis baru, kian terjangkaunya biaya perjalanan dan
bebasnya visa.
Sebelum pandemi Covid-19, berdasarkan laporan United Nations World Tourism
Organisation (2019), pariwisata menyumbang US$1,7 triliun ke perekonomian
global, serta menempati posisi ke-3 ekspor terbesar dunia setelah bahan-bahan
kimia dan minyak bumi; di atas ekspor produk otomotif dan bahan pangan.
Kawasan Eropa memperoleh pendapatan sekitar 39%, Asia-Pasifik 30%,
Amerika 23, Timur Tengah 5% , dan Afrika 3% (UNWTO, 2019).
Sejumlah negara sudah sejak lama menggarap industri pariwisata secara serius
karena menjadi penyumbang besar bagi perekonomian. Berdasarkan laporan
United Nations World Tourism Organisation (2019), 10 negara yang menjadi
tujuan wisata tertinggi di dunia berturut-turut adalah Perancis, Spanyol, Amerika
Serikat, China, Italia, Turki, Meksiko, Jerman, Thailand, dan Inggris. Tetangga
kita, Thailand misalnya, mampu menghasilkan US$63 miliar dari pariwisata.
Indonesia sendiri, dengan pendapatan sekitar US$13 miliar, berada di posisi 30
dunia dan ke-4 Asia Tenggara setelah Thailand, Singapura, dan Malaysia.
Kini, kawasan Timur Tengah juga kian berbenah agar siap berlomba merebut
ceruk pasar pariwisata dunia. Setelah Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab dan
Qatar, Arab Saudi berhasil mencuri perhatian dunia karena menggelontorkan
dana raksasa untuk pembangunan megaproyek industri pariwisata yang
menjadi bagian dari Visi 2030 Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Mohammed
bin Salman (MBS). Mereka ingin menggandakan pendapatan ibadah haji dan
wisata religi dua kota suci Mekah dan Madinah dengan wisata ‘sekuler’, serta
bersiap bergeser dari ekonomi berbasis bahan bakar fosil. Untuk memperlancar
rencana ini, MBS pun melakukan serangkaian rekayasa sosial dan politik agar
bisa menampilkan wajah negerinya yang lebih ramah bagi orang luar (Kompas.
com, 7/10/2019; 9/10/2019; 19/5/2021).
Negara-negara yang serius meningkatkan sektor pariwisata selalu menjadikan
pembangunan infrastruktur sebagai bagian yang tak terpisahkan. Konservasi
alam dan lingkungan pun tak hanya dijadikan obyek wisata tapi juga
dipromosikan sebagai nilai-nilai penting dalam turisme; soalnya wisatawan kian
sadar lingkungan dan kesehatan.
Pariwisata Minus Lingkungan
Di Indonesia, sektor pariwisata menjadi salah satu dari 3 penyumbang devisa
terbesar selain minyak dan gas. Dari tahun ke tahun, devisa dari lapangan ini
meningkat. Setelah pandemi Covid-19 berakhir, sektor ini diprediksi akan segera
kembali ke posisi semula. Sementara itu, devisa negara dari sektor minyak bumi
semakin menurun. Indonesia kini menjadi negara pengekspor minyak bumi.
Pada 2019, pariwisata dan ekonomi kreatif menjadi penyumbang devisa
terbesar bagi Indonesia dengan nilai potensi devisa diproyeksikan mencapai
US$44 miliar atau setara Rp 616 triliun (asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS).
Sektor pariwisata menyumbang sebesar US$21 miliar dan ekonomi kreatif
US$23 miliar. (Sindonews.com, 29/01/2020).
Padahal, pada 2016, devisa pariwisata baru mencapai US$13,5 milyar per tahun.
Hanya kalah dari minyak sawit mentah (CPO) yang US$ 15,9 milyar per tahun.
Tahun 2015, ia masih di peringkat ke-4 di bawah migas (US$18,5 milyar), CPO
(US$16,4 milyar), dan batubara (US$14,7 milyar) [Kompas.com, 17/10/2017].
Pemerintahan Indonesia menyadari potensi strategis sektor pariwisata ini.
Berdasarkan PP 50/2011, sudah ditetapkan 88 Kawasan Strategis Pariwisata
Nasional (KSPN) yang tersebar di 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN). Salah
satunya Danau Toba yang disebut-sebut sebagai The World’s Finest Aquatic
Center atau Pearl of Sumatra.
Keseriusan pemerintah membangun pariwisata Danau Toba diwujudkan
dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 Tentang Badan
Otorita Pengelola Pariwisata Danau Toba. Tidak tanggung-tanggung, demi
mewujudkan Danau Toba menjadi destinasi wisata super prioritas pemerintah
bahkan telah menganggarkan sekitar Rp 1.6 Triliun (Travel.detik.com, 19/7/2019).
PP 58/2017 juga diterbitkan sebagai upaya mempercepat berbagai proyek
strategis nasional seperti pembangunan ruas-ruas jalan tol di seluruh Tanah Air,
yang di antaranya mendukung pariwisata Danau Toba.
Berbagai beleid di atas, sekali lagi, menunjukkan betapa pemerintah kita
telah menyadari bahwa infrastruktur merupakan pra-kondisi penting dalam
mempercepat pertumbuhan ekonomi yang salah satu kuncinya adalah
pariwisata. Masalahnya, kini, kebijakan-kebijakan strategis ini masih terkesan
parsial, belum diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain yang mendukung. Akibatnya,
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan sulit dicapai secara berkelanjutan.
Dalam konteks Danau Toba, kini kita sedang dihadapkan pada realitas kian
buruknya ekosistem yang mendukung bagi kepariwisataan itu sendiri.
Deforestasi yang berlangsung masif di sekitar Danau Toba selama 3 dekade
terakhir telah berdampak secara luas. Terjadinya bencana lingkungan seperti
banjir bandang yang menewaskan sejumlah penduduk, merusak harta
benda, dan lahan pertanian masyarakat, merupakan imbasnya. Contohnya
adalah yang terjadi di Kabupaten Samosir: Desa Sabulan dan Ransang Bosi,
Kecamatan Sitiotio, (29 April 2010); Desa Bonan Dolok, Kecamatan Sianjur
Mulamula (8 Maret 2018); Desa Habeahan Naburahan, Desa Aek Sipitudai, dan
Desa Sarimarihit, Kecamatan Sianjur Mulamula (21 Maret 2019); Desa Buntu
Mauli I dan Ransang Bosi, Kecamatan Sitiotio, (3 Mei 2019); dan Desa Holbung,
Kecamatan Sitio-Tio (8 Desember 2019).
Deforestasi di hulu Danau Toba juga mengakibatkan banjir bandang di
Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada 19 November 2017 air bah menghantam
Desa Marbun Tonga Dolok dan Desa Siunong-Unong Julu, Kecamatan Bakti
Raja. Pada 4 November 2020 itu berulang.
Penyebab banjir-banjir bandang ini mungkin merupakan kombinasi dari berbagai
faktor seperti curah hujan atau perubahan iklim, lahan kritis, kondisi sungai, dan
lain-lain. Namun, berdasarkan investigasi Kelompok Studi dan Pengembangan
Prakarsa Masyarakat (KSPPM), bencana ini terjadi karena berkurangnya secara
drastis luasan hutan yang selama ini berfungsi sebagai resapan air. Dan bukan
suatu kebetulan, yang kaitannya perlu diteliti lebih mendalam, lokasi banjir-
banjir bandang ini berada di hilir atau lokasi yang tidak terlalu jauh dari konsesi
di mana PT TPL beroperasi.
Sebagai catatan, sekitar 34.817 hektar konsesi PT TPL berada di daerah
tangkapan air (DTA atau catchment area) Danau Toba. DTA merupakan area
atau titik tempat air hujan ditangkap dan ditampung dan bagian terpenting dari
suatu kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Air hujan inilah yang nantinya akan
mengalir melalui lereng-lereng bukit dan bergerak menuju aliran sungai dan
akan membentuk kawasan DAS. Hutan alam di DTA Danau Toba telah berubah
menjadi lahan perkebunan eukaliptus.
Dalam 30 tahun terakhir, permukaan air Danau Toba juga mengalami
penyusutan. Saat ini, tinggi muka air Danau Toba rata-rata 903, 30 meter dpl,
telah mengalami penyusutan sekitar 1,7-2 meter (Kompas.com, 10/10/2016). Hal
ini dipengaruhi oleh rusaknya hutan di hulu Danau Toba, yang secara langsung
mengurangi suplai air dari ratusan sungai di sekitarnya. Dampaknya bukan
hanya ekologis. Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat juga terimbas.
Kebutuhan air minum kian terganggu dan kebutuhan untuk irigasi pertanian
menjadi terancam. Menurut petani lokal, pada 1970-an hingga 1980-an, hasil
panen padi mereka bisa cukup untuk kebutuhan hidup selama 6 bulan. Namun
sekarang hanya bertahan 2 bulan karena usaha pertanian mengalami krisis air.
Sistem irigasi yang dulu dikelola Raja Bondar sudah tidak berfungsi lagi sebab
sumber air semakin mengering.
Penurunan permukaan air ini juga mengganggu kelancaran transportasi air
di Tano Ponggol, Pangururan. Sedang disulap menjadi jembatan artistik yang
dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2020-2022 senilai
Rp 157 miliar, terusan ini dipermak tentu untuk mendukung program pariwisata
super prioritas Danau Toba.
Luasan danau semakin berkurang. Hal yang mendorong terjadinya “privatisasi”
pantai untuk pembangunan fasilitas hotel-hotel, pemukiman, dan areal
pertanian. Selain itu, penurunan permukaan air danau ini juga membuat
kebutuhan energi listrik nasional di Sumatera bagian Utara terganggu karena
PLTA-PLTA di hilir Sungai Asahan menjadi sulit beroperasi secara maksimal.
Air Danau Toba juga kian menurun dan tak higienis. Pemandangan buruk
karena maraknya keramba jala apung (KJA) yang telah melampaui daya
dukung lingkungan danau. Produksi ikan budidaya di danau dipatok 10.000 ton
per tahun, dengan jumlah KJA sekitar 5.000 unit. Namun kenyataannya jumlah
KJA telah mencapai 20.000 unit dengan produksi ikan sebesar 50.000 ton per
tahun, antara lain, karena kehadiran industri perikanan raksasa PT Aquafarm
Nusantara (milik Swiss) di perairan Danau Toba sejak 1998. Alhasil, kualitas
air danau yang pada tahun 1996 dinyatakan masih “berstatus baik” menjadi
“tercemar berat” pada 2016 (Hasan Sitorus, Analisa, 4/6/2017).
Harta Karun di Kawasan Danau Toba
Sebetulnya, Danau Toba memiliki sejumlah potensi besar yang dapat
dikembangkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain wisata danau sebagaimana
sudah disinggung, Danau Toba sangat berpotensi dikembangkan sebagai
perlancongan geologi, religi, dan budaya.
Pariwisata geologis menjadi satu keunikan yang layak dijual karena Danau Toba
terbentuk dari letusan supervulcano Toba sekitar 70 ribu tahun lalu yang nyaris
membinasakan penghuni bumi. Inilah salah satu yang membuatnya dinobatkan
sebagai geopark nasional dan UNESCO Global Geopark (UGG) Kaldera Toba.
Pariwisata religi dapat dikembangkan karena di sekitar Danau Toba masih
terdapat penganut kepercayaan tradisional (Parmalim). Sianjur Mulamula secara
kultural acap diakui sebagai asal-muasal suku Batak (Toba) yang kemudian
menyebar ke segala penjuru.
Wisata ekologi sangat berpotensi dikembangkan apabila lingkungan Danau Toba dapat dikembalikan ke kondisi semula melalui reboisasi dan konservasi hutan dan alam. Hutan Kawasan danau Toba menyimpan aneka flora dan fauna seperti kemenyan, anggrek Batak, Harimau Sumatera, Kambing Samosir, ikan (ihan) Batak, bebatuan, dan lainnya yang merupakan kekayaan alam tak ternilai.
Catatan-catatan perjalanan orang asing ke Danau Toba di era kolonial membuktikan keindahan alam Danau Toba yang diasosiasikan seperti lukisan yang mengundang pujian dan decak kagum, seperti diekspresikan J.J. van de Velde dalam bukunya Surat-surat dari Sumatra 1928-1949 (Pustaka Azet, 1987). Perlu diingat, bahwa hingga 1990-an awal, Danau Toba menjadi salah satu dari 3 tujuan wisata tertinggi di Indonesia selain Bali dan Borobudur!
Kawasan Danau Toba juga dapat dikembangkan sebagai sumber komoditas strategis nasional untuk
menghadapi krisis global dalam jangka panjang seperti pangan, air, dan energi terbarukan. Lembah Toba
adalah daerah pertanian yang subur. Pegunungan asli menjadi sumber kemenyan, bahan-bahan herbal untuk
pengobatan dan kosmetika, serta rempah-rempah yang bernilai tinggi dan dicatat dalam sejarah.
Air yang melimpah di hilir Sungai Asahan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik 1.000-1.100 megawatt—yang Sebagian sudah dibangun sejak 1975. Di hulu, sedianya terdapat sekitar 200 sungai besar dan kecil yang mengalir ke danau yang dapat dikembangkan menjadi sumber listrik mikro-hidro. Dan yang terpenting, dan menjadi aset bangsa dan dunia, adalah sumber daya air dari danau sekitar 1.145 kilometer persegi dan kedalaman 450 meter. Danau ini semestinya dapat mendukung kebutuhan air secara nasional, atau setidak-tidaknya kebutuhan air bersih bagi Sumatera Utara dan sekitarnya.
Sampai saat ini, kita dapat menyaksikan bahwa pemerintah memiliki keseriusan membangun pariwisata Danau Toba menjadi destinasi wisata super prioritas. Sayangnya, program strategis ini tampaknya belum diikuti kebijakan komprehensif untuk penyelamatan lingkungan dan ekosistem danau, yang pada gilirannya mendukung sektor pariwisata dimaksud. Pariwisata Danau Toba sebagai super prioritas akan tercapai apabila kondisi Danau Toba dikembalikan ke kondisi sebelum 1980-an, ketika Kawasan Danau Toba belum
dieksploitasi oleh industri kayu serta industri perikanan dan peternakan.
Kita menantikan keseriusan pemerintah!