Pada 6 -12 Maret lalu saya bersama dengan teman staf KSPPM, Abriani Siahaan dan dua perempuan dari komunitas, Menti Pasaribu dan Hotmiasi Sinaga, mengikuti sebuah pelatihan Fasilitator Feminis. Peserta lainnya adalah para perempuan dari 10 wilayah di Indonesia seperti Papua, Maluku, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Purwokerto, Bali, Bengkulu, Kupang dan Jakarta. Pelatihan ini menguatkan kesadaran saya bahwa perempuan di berbagai wilayah tersebut dengan beragam latar belakang dan lingkup kegiatan ternyata mengalami persoalan yang sama. Sampai hari ini, masih terjadi pengabaian hak-hak perempuan, terutama perempuan miskin, oleh aktor negara atau non-negara.
Perempuan menghadapi beragam persoalan di dalam sistem patriarki yang telah mandarah daging dalam kehidupan sehari hari di ranah rumah tangga, masyarakat maupun negara. Dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, perempuan mengalami beban ganda dan dinomor-duakan dalam pendidikan dan kesehatan. Dalam lingkup negara, perempuan kerap menjadi korban ketidakadilan akses, kesempatan dan ruang kontrol atas kebijakan pemerintah. Perempuan belum dilibatkan secara penuh dalam pengambilan keputusan dan persetujuan atas proyek pembangunan yang merusak lingkungan dan menggusur-rampas ruang penghidupan masyarakat. Ini, misalnya, terjadi dalam proyek seperti PT. Toba Pulp Lestari (TPL) dan program-program seperti Food Estate, tambang, reklamasi, perkebunan sawit, pabrik semen, yang semuanya menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas sumberdaya alam.
Resistensi Perempuan
Di kawasan Danau Toba, para perempuan, khususnya dari komunitas masyarakat adat, turut bersuara dan melawan kehadiran PT TPL. Perempuan menjadi korban yang paling merasakan dampak dari perampasan ribuan hektar tanah dan penghancuran hutan – termasuk hutan kemenyan – yang dilakukan oleh perusahaan. Pemerintah yang sekian lama abai dalam memenuhi hak-hak perempuan, malah memperparah kondisi kemiskinan dengan memberikan ijin kepada perusahaan yang merusak Sumber Daya Alam (SDA). Lagi-lagi, pendapat dan pengetahuan lokal perempuan diabaikan begitu saja. Pengalaman penindasan kultural dan struktural seperti ini akhirnya mendorong perempuan mengambil peran besar dalam melakukan perlawanan dan menyuarakan hak-haknya.
Kesadaran kritis para perempuan ini terlihat dalam berbagai kegiatan seperti konsolidasi, diskusi, dan pengelolaan kembali tanah-tanah yang dirampas oleh perusahaan. Keberhasilan perjuangan sekelompok perempuan di Sugapa pada tahun 1983 dalam menolak PT. Indorayon (sekarang PT. TPL) dan merebut kembali tanahnya menjadi simbol dan motivasi perjuangan bagi para perempuan, khususnya di kawasan Danau Toba. Kendati mengalami banyak kriminalisasi, perjuangan para perempuan di Sugapa ini menjadi contoh keberhasilan.
Para perempuan memang terbukti sebagai bagian penting dalam perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam mendapatkan pengakuan dari negara, seperti yang terjadi di Pandumaan dan Nagasaribu.
Momentum Hari Kartini
Peringatan Hari Kartini pada 21 April ini hendaknya tidak dimaknai sebagai perayaan bagi perempuan yang mengenakan kebaya dengan riasan indah, untuk kemudian mendapatkan like dan pujian di media sosial. Hari Kartini ini hendaknya menjadi momen pengingat ketidakadilan yang dialami perempuan dan peringatan atas keberhasilan perempuan memimpikan kebebasan dan memperjuangkan hak-haknya. Ini mesti menjadi saat untuk merefleksikan situasi perempuan yang masih mengalami diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan dalam rumah tangga, masyarakat dan negara yang kental dengan budaya patriarki. Lewat tulisan-tulisannya terlihat bahwa Kartini yang hidup dalam budaya dan struktur dimana perempuan tidak memiliki akses atas pendidikan memiliki semangat untuk berjuang dan mendorong para perempuan untuk bergerak merebut kebebasannya.
Sesungguhnya telah setiap hari perempuan bergerak melawan ketidakadilan. Para perempuan dari masyarakat adat di kawasan Danau Toba setiap hari bertarung melawan pemiskinan, berdiri tegak memperjuangkan dan menjaga tanah serta hutan adatnya. Mereka juga berjuang mempertahankan pengetahuan lokal (tempatan) yang mereka warisi sebagai kekayaan intelektual dengan nilai-nilai dan kearifan dalam menjaga keutuhan tanah dan hutan adat. ** [Leorana]