Memang tulisan ini sudah relatif lama, tetapi sejumlah problem yang diangkatnya tampak masih relevan. Apa itu?
Dalam tulisannya “Credit Union Jonggi Manulus: Studi Kasus Pastoral” (hlm. 393 – 408), Pdt. Mangisi Simorangkir menghimpun sejumlah fakta menarik terkait kondisi para anggota CU Jonggi Manulus (JM). Jonggi Manulus juga adalah nama desa tempat CU ini berada, sebuah desa di Kecamatan Porsea. Desa ini berada tidak jauh dari pabrik pulp PT. Toba Pulp Lestari (TPL).
Tanpa mengabaikan keyakinan dan rasa bangga para anggotanya bahwa CU JM jauh melampaui urusan uang, sejumlah fakta sungguh menarik untuk dipikirkan lebih lanjut.
Pertama, ada keluhan mengenai “para anggota yang kurang setia mencicil pinjamannya” (hlm. 395). Artinya, problem kredit lalai sudah terjadi, dan fakta itu cenderung dipahami sebagai masalah moralitas personal sebagaimana terlihat dalam ungkapan “kurang setia”. Di sini, penyebab kredit lalai belum dilihat sebagai problem struktural dalam arti adanya kondisi-kondisi obyektif yang dihadapi petani sebagai penyebab kegagalan usaha tani mereka.
Kedua, lambatnya perkembangan CU. Anggota CU JM hanya 13 keluarga (25 jiwa) selama 3 tahun (hlm. 395). Alasan yang dikemukan adalah bantuan-bantuan dana dan material dari PT. TPL yang banyak diperoleh oleh masyarakat desa. Penduduk desa tidak merasa membutuhkan CU untuk mendapatkan dana. Ada juga koperasi-koperasi bentukan pemerintah yang karakter dasarnya berbeda dari CU JM. Tentu saja rendahnya keanggotaan CUJM ini merupakan tantangan pengorganisasian.
Ketiga, sejumlah anggota CU JM adalah petani tak-bertanah (landless farmers). Mereka bertani dengan cara menyewa tanah. Tantangannya adalah “Jika pemilik tidak senang dengan penyewa, enteng saja dia memberi alasan dan mengganti penyewa” (hlm. 396) Berlangsung kompetisi yang tidak sehat antar sesama penyewa agar si pemilik menyewakan tanah kepadanya. Ini memperlihatkan betapa rentannya posisi para penyewa ini.
Akan tetapi, fakta ketiga ini menjadi semakin menarik jika dikaitkan dengan metode bertani yang dipelajari dan dipraktekkan oleh para anggota CU JM ini, yaitu Pertanian Selaras Alam (PSA), metode bertani yang tidak menggunakan input kimiawi pabrikan. “Hasilnya luar biasa.” (hlm. 397). Namun, ada keadaan yang menyebabkan “…sia-sialah ilmu PSA yang mereka peroleh.” (hlm. 397).
Dalam metode PSA, secara implisit, ada investasi jangka panjang pada ekosistem tanah. Investasi ini hilang begitu saja saat tanah ditarik oleh pemilik. Seringkali tanah yang sudah diolah dengan metode PSA ini begitu saja ditarik oleh si pemilik. Ada warga desa yang iri melihat keberhasilan metode PSA yang dipraktekkan oleh anggota CU JM, lalu membujuk pemilik tanah untuk menarik dan menyewakannya ke orang lain.
Di sini terlihat jelas bahwa keberhasilan dan keberlanjutan metode PSA terkait sangat erat dengan struktur penguasaan sumberdaya agraria, yaitu tanah. Artinya, jika PSA hendak berhasil, upaya dan advokasi untuk membongkar ketimpangan penguasaan alat produksi pertanian, yaitu ketimpangan kepemilikan tanah, menjadi keharusan. **