Dalam tulisannya “Studi Tentang Indorayon: Pertarungan ‘Intelektual-Organik’ vs ‘Intelektual Tukang’” (hlm. 213 – 227), Dimpos Manalu melakukan survei yang kaya dan menarik untuk menopang kesimpulannya. Dia membuktikan bahwa studi atau penelitian yang ada mengenai PT. Inti Indorayon Utama (IIU) yang telah berganti menjadi PT. Toba Pulp Lestari (TPL) tidak pernah bebas nilai dan mengusung kepentingannya masing-masing.
Dimpos Manalu melacak hasil-hasil studi atau penelitian mengenai PT. IIU/TPL selama 3 (tiga) dasawarsa, yaitu 1980-an, 1990-an dan 2000-an. Fokus, pendekatan dan ‘kepentingan’ dari masing-masing penelitian itu dipetakan dengan jernih untuk menetapkan posisi para pembuatnya terhadap keberadaan PT. IIU/TPL.
“Banyak studi yang dilakukan untuk mendedah praktik buruk bisnis yang dijalankan IIU di lapangan, tapi tak sedikit juga di antara karya ilmiah tersebut yang dibuat untuk mendukung IIU, atau setidaknya mengaburkan praktik buruk bisnis yang dijalankannya. Bahkan, ada studi yang ‘baunya’ benar-benar pesanan. Yang terakhir ini, walau sulit dibuktikan, namun mudah dirasakan.” (hlm. 213).
Studi dan karya ilmiah, baik yang dilakukan oleh para aktivis NGO maupun para akademisi, ternyata sangat berperan dalam pembentukan opini publik yang sangat penting perannya dalam mendorong perubahan arah kebijakan publik mengenai sebuah persoalan. Terkait keberadaan PT. IIU/TPL, posisi dan kepentingan studi atau penelitian ini terlihat cukup jelas: antara membela rakyat yang tertindas dan membela perusahaan penindas.
Pemetaan atas studi atau penelitian dalam tulisan ini jelas-jelas membuktikan bahwa klaim ilmiah dan obyektivitas sesungguhnya mitos dan kedok belaka untuk mengaburkan ‘kepentingan’ atau ‘pesanan sponsor’ tertentu.
Kendati secara implisit, tulisan ini mau menegaskan bahwa pertarungan wacana lewat hasil-hasil studi atau penelitian mengenai sebuah persoalan seperti keberadaan PT. IIU/TPL akan terus berlangsung. Pihak korporasi memiliki sumberdaya melimpah untuk memobilisasi ‘intelektual pesanan’ untuk membela dan membenarkan ‘secara ilmiah’ praktek bisnis yang dilakukannya. Sementara itu, di sisi lainnya, para korban yang berjuang mencari keadilan juga membutuhkan para intelektual yang mendukung mereka.
Dimpos Manalu mengajukan gugatan etis terhadap orang-orang yang mengaku diri sebagai peneliti-akademisi yang memperoleh banyak manfaat atau keuntungan – gelar kesarjanaan, royalti dan renumerasi – dari penelitian yang dilakukannya. Kepentingan mereka untuk memperoleh informasi dan menghimpun pengetahuan dari rakyat (masyarakat) sudah terpenuhi. Akan tetapi, apa kontribusi mereka terhadap penguatan gerakan rakyat dan terhadap pemecahan masalah yang dialami rakyat? (hlm. 226).
Mengingat PT. IIU/TPL masih tetap beroperasi dan perlawanan rakyat terhadapnya juga tidak pernah padam, di bagian akhir tulisannya Dimpos Manalu merumuskan semacam harapan bahwa, “penelitian dan studi baru perlu dilakukan terus-menerus untuk menyuarakan dan menentang ketidakadilan yang ditimbulkan oleh PT. IIU/TPL…studi-studi baru itu diharapkan berangkat dari perspektif korban…mereka yang melakukan studi-studi berikutnya diharapkan menjadi pembela orang-orang yang tertindas, dan tak sudi menjadi intelektual-tukang” (hlm. 227).
Persentuhan dan interaksi para aktivis NGO dan organisasi rakyat dengan orang-orang yang mengaku sebagai peneliti-akademisi hendaknya senantiasa ditempatkan dalam harapan yang sama, yaitu pentingnya menegaskan dan memperjelas kontribusi penelitian tertentu terhadap penguatan gerakan rakyat dan pemecahan masalah yang mereka alami. **
Buku ini pertarungan dua nilai, nilai kapital ditukar dgn kemiskinan berbasis hasil penelitian pesan sponsor kapitalis, dan nilai hasil penelitian berbasis nilai yg terpatri pada perjuanganbrakyat yg ruang hidupnya dihegemonisasi oleh kapitalis lewat agen2nya.