“Rakyat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah cita-cita penting Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan”, Kata Nikson Nababan, Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, mengawali diskusi tentang pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat perda di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara pada Sabtu, 21 Mei 2021 lalu. Terinspirasi dengan nilai-nilai dan prinsip Bung Karno ini adalah sumber inspirasi bagi Nikson Nababan dalam membangun Tapanuli Utara menjadi masyarakat yang berdaulat.
“Saya masih ingat saat berkunjung ke Muara, di awal mencalonkan menjadi Bupati Taput. Banyak masyarakat mengadu bahwa tanahnya masuk dalam kawasan hutan. Mereka bermohon agar jika saya terpilih jadi pemimpin di Tapanuli Utara, tanah dan hutan mereka bisa kembali putih dan keluar dari kawasan hutan”, jelasnya.
Tidak hanya di Muara; setiap kunjungan ke desa-desa lainnya, keluhan dan pengaduan yang sama selalu datang. “Hal ini menjadi salah satu perhatian saya untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat, dan menjadikannya putih, tetapi selalu melalui peraturan yang berlaku di negara ini”, tambahnya.
Lewat berbagai diskusi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil seperti KSPPM dan AMAN Tano Batak, Bupati beserta jajarannya di Pemkab Tapanuli Utara melihat bahwa peluang untuk membebaskan tanah-tanah masyarakat adat dari Kawasan Hutan adalah dengan melalui Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Itulah yang mendasari terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Tapanuli Utara.
Menindaklanjuti Perda tersebut, Pemkab juga sudah menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat untuk tiga komunitas masyarakat adat di Tapanuli Utara. Salah satunya adalah surat keputusan bupati untuk Bius Huta Ginjang, dengan luas wilayah adat 648, 06 hektar. Atas pemberian SK ini, anggota Komunitas Masyarakat Adat Bius Huta Ginjang mengapresiasi komitmen Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, yang membantu perjuangan mereka membebaskan hutan adatnya dari Kawasan Hutan Negara.
Nikson Nababan juga menyatakan komitmennya untuk membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menghadapi persoalan yang sama dan belum mendapatkan SK Hutan Adat. “Tentu ini bisa terwujud jika masyarakatnya bersatu dan semua pihak duduk bersama, saling mendukung. Pemkab bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak ke depan harus segera dan sering diskusi untuk proses selanjutnya”, jelasnya.
Senada dengan Bupati Nikson Nababan, pembicara lain, Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum (FH) UGM mengatakan bahwa salah satu faktor penting keberhasilan masyarakat adat untuk mendapatkan SK Hutan Adat adalah kekompakan masyarakat adat. Faktor kedua tentunya adalah dukungan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati dan DPRD.
Sebagai akademisi yang telah lama memberikan perhatian dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat adat dan terakhir melakukan riset di empat wilayah di Indonesia tentang masyarakat adat, dia mengakui bahwa upaya mendapatkan pengakuan dari negara merupakan proses yang sangat rumit. Kerumitan ini tidak hanya dihadapi oleh masyarakat adat di Sumatera Utara, tetapi secara nasional. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang peraturan kehutanan sejak zaman kolonialisme yang sangat membatasi akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutan. Itu berlanjut setelah Indonesia merdeka dan sampai saat ini. “Kemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia tidak otomatis memerdekakan akses masyarakat adat terhadap tanah dan hutannya dan sampai sekarang kita terbeban menyelesaikan problem masa lalu ini”, jelas Yance.
Namun, baginya, kerumitan yang ada tidak berarti tidak ada yang berhasil. Ada beberapa daerah yang sudah berhasil mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, salah satunya Tapanuli Utara. “Kebaikan, kepeloporan, kepemimpin itu menular”, tegasnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan akan lebih banyak daerah yang menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan mengimplementasikannya.
Yance yang sudah menerbitkan bukunya “Rethinking Adat Strategies” menegaskan kembali bahwa peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi sangat penting, melalui terbitnya Peraturan Daerah.
Diskusi semakin lengkap, dengan adanya dua pembicara lain, Delima Silalahi dari KSPPM dan Roganda Simanjuntak, Ketua Komunitas AMAN Tano Batak. Mereka menuturkan jalan panjang perjuangan masyarakat adat dan harapannnya terhadap pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba ke depan. Menurut Roganda, klaim Kawasan Hutan Negara yang ada saat ini juga belum berkekuatan hukum tetap, karena masih berstatus penunjukan. Bisa dikatakan bahwa klaim negara atas wilayah adat sebagai Kawasan Hutan Negara yang kemudian pemberian izin kepada pihak lain merupakan tindakan ilegal.
“Pemerintah daerah yang mendukung perjuangan masyarakat adat untuk melepaskan wilayah adatnya dari Kawasan Hutan secara tidak langsung sesungguhnya sedang memperjuangkan kedaulatan di wilayah adaministrasinya. Bisa dibayangkan, saat ini, bupati-bupati di Tapanuli hanya memiliki wewenang sekitar 60% dari wilayahnya, sedangkan 40% lagi merupakan kewenangan pusat”, kata Roganda.
Peliknya perjuangan masyarakat adat memperjuangkan haknya juga diutarakan oleh Delima Silalahi, Direktur KSPPM. Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini dipaksa untuk manortori na so gondang na (menarikan gendang orang lain), untuk mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat yang sudah lama hidup di wilayah adatnya, dan diakui oleh masyarakat adat tetangga lainnya, hanya dapat membuktikan dirinya sebagai masyarakat adat melalui mekanisme yang dibuat oleh negara. Mekanisme ini membuat proses pengakuan itu semakin rumit dan panjang, sebagaimana dialami oleh 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi oleh Tim Verivikasi KLHK pada Oktober 2021 lalu. Nasib masyarakat adat berada di tangan tim verifikasi yang dibentuk oleh negara dengan mekanisme yang dibuat negara. Masyarakat adat seperti tidak punya pilihan lain.
Dari 18 komunitas masyarakat adat yang diverifikasi hanya lima yang dianggap “lulus”, tiga di antaranya berada di Tapanuli Utara. Oleh karena itu Delima berharap “kebaikan” yang ada di Tapanuli Utara tersebut bisa menular ke kabupaten lainnya yang sampai saat ini tidak “rela” atau “enggan” memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di daerahnya.
Delima berharap agar gerakan masyarakat adat dan pendukungnya di masa mendatang berhasil membuat masyarakat adat menarikan gendangnya sendiri, yaitu menemukan mekanisme alternatif yang lebih mudah bagi masyarakat adat untuk berdaulat di wilayah adatnya sendiri.
Para peserta diskusi juga memberikan sumbangsih pemikiran tentang pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Jhon Toni Tarihoran dari Kabupaten Toba mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang tidak hanya menerbitkan Perda tapi juga menerbitkan tiga SK Pengakuan terhadap masyarakat adat di Tapanuli Utara. Ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang mereka alami di Kabupaten Toba. Oleh karena itu, dia berharap hal-hal baik yang telah dilakukan di Tapanuli Utara bisa menular ke Kabupaten Toba.
Tokoh masyarakat adat Bius Huta Ginjang juga menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan komunitas dan semua pihak yang mendukung, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. Harapannya, komunitas masyarakat adat lainnya segera mendapatkan SK Hutan Adat agar bisa berdaulat di tanahnya.
Tidak hanya terkait masyarakat adat, Barita Lumban Gaol dari Mangobay juga berhadap bahwa perjuangan masyarakat adat mempertahankan wilayah adat juga dibarengi dengan komitmen menjaga relasi yang baik dan selaras antara bumi, manusia dan semua mahluk hidup lainnya.
Di akhir diskusi, Dian Purba, dosen IAKN Silakitang dan Rocky Pasaribu, Kordinator Studi dan Advokasi, menyerahkan kenang-kenangan berupa buku ke para Narasumber. Salah satu yang diserahkan adalah buku “Nunga Leleng Hami Mian di Son: Masyarakat Adat versus Negara” yang diterbitkan oleh KSPPM bersama Insist Press. Dian Purba menjelaskan isi ringkas buku tersebut terkait kerumitan-kerumitan perjuangan masyarakat adat untuk berdaulat atas ruang hidupnya. “Buku ini penting dimiliki oleh para PNS yang ada di Tapanuli Utara, setidaknya untuk memberikan perspektif lain terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat”, kata Dian Purba.***