Parapat, 21 Juli 2022. Women 20 atau yang lebih dikenal sebagai W20 tengah melakukan sebuah pertemuan puncak pada 19-21 Juli 2022 di Parapat, Sumatera Utara. W20 Summit ini menyerahkan komunike atau pernyataan bersama kepada G20, di mana Indonesia menjadi presidensi tahun 2022 ini.
Di luar W20 Summit, pada 20 Juli, para perempuan adat Toba dan sejumlah aktivis membentangkan spanduk raksasa bertuliskan “Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi” di danau Toba dan sejumlah poster aksi di atas kapal yang merupakan bentuk ekspresi keresahan atas pembahasan dalam pertemuan W20 yang tidak menyentuh persoalan ketidakadilan ekonomi yang dialami perempuan Indonesia, terutama perempuan adat. Pertemuan ini sesungguhnya digelar hanya untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang lebih menguntungkan elit ekonomi dan politik tingkat negara, korporasi dan lembaga keuangan internasional, dan bukan membahas kepentingan rakyat sesungguhnya.
“Saya mengharapkan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar tidak memberikan izin kepada PT Dairi Prima Mineral karena pusat pertambangan rawan bencana dan gempa,” kata salah seorang perempuan yang tanahnya telah dirampas oleh perusahaan tersebut.
“Program food estate seharusnya mensejahterakan petani. Tapi kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan. Dalam pengembangan food estate, antara desa Siria-ria dan desa tetangga terjadi konflik horizontal,” sebut perempuan asal Desa Siria-ria.
Seorang ibu, yang wilayah hidupnya masuk konsesi TPL, dengan tegas mengatakan, “Kami menolak PT. Toba Pulp Lestari di wilayah adat kami. Tutup TPL!”
‘Recover together, recover stronger’ atau ‘Pulih bersama, pulih lebih kuat’ merupakan jargon G20 presidensi Indonesia. Namun W20 tidak cukup inklusif untuk memenuhi jargon tersebut. Anggota dan peserta W20 merupakan penunjukan para pemerintah, tanpa ada proses pemilihan sendiri representasi yang terlibat; isu yang dibahas pun lebih menekankan pada akses perempuan ke modal. Seharusnya ‘pulih bersama’ mencakup juga perempuan adat dan pedesaan di wilayah pedalaman dan pesisir, yang tidak bekerja di sektor formal dan informal saja tetapi hidup dari sumber daya alam di sekitarnya. W20 Summit mendatangkan para entrepreneur perempuan dari berbagai daerah, tapi tidak mengundang bicara perempuan adat dari sekitar Danau Toba yang sedang dilanda konflik tanah dengan para korporasi.
“Persoalan yang dialami perempuan adat Sumatera Utara, salah satunya adalah perampasan tanah untuk kepentingan korporasi, termasuk oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL)”, jelas Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) saat melakukan intervensi pada pertemuan W20, pada 19 Juli 2021 di Parapat.
Intervensi Delima menekankan pentingnya pandangan berbeda terhadap persoalan perempuan yang dibahas W20/G20, yang lebih menekankan pada aspek akses dan modal, tetapi mengabaikan bahwa tanah dan sumber-sumber kehidupan perempuan telah direbut oleh kepentingan korporasi. Perampasan itulah yang sebenarnya menimbulkan kemiskinan struktural dan proses pemiskinan yang makin meningkatkan ketidakadilan gender.
Delima melanjutkan, “Perempuan tani dan perempuan adat menjadi korban yang paling menderita akibat pembangunan eksploitatif yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan devisa negara. Oleh karena itu, perempuan-perempuan itu harus bergerak memperjuangkan hak-haknya juga. Selama ini, suara-suara mereka sering dibungkam, dipaksa kalah karena tidak pernah diberi ruang oleh para pemegang kebijakan. Delegasi dan peserta W20 seharusnya secara sungguh-sungguh memperjuangkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di semua lini.
Para perempuan Toba itu, bersuara, mewakili perempuan pedesaan dan perempuan adat di seluruh wilayah Indonesia lainnya, yang telah lama mengalami penindasan struktural akibat ketimpangan ekonomi atas nama pembangunan eksploitatif yang mengabaikan pengetahuan dan pengalaman perempuan, serta keberlanjutan kehidupan perempuan dan lingkungan.
“Kebutuhan dan kepentingan perempuan adat dan perempuan pedesaan harus dipertimbangkan dalam setiap kebijakan dan tindakan yang dinegosiasikan G20. Justru mereka lah yang bisa memberikan pandangan mengenai ketidakadilan ekonomi yang dihadapi oleh perempuan akibat kerakusan korporasi yang merampas sumber-sumber kehidupan mereka,” tegas Direktur Aksi! for gender, social and ecological justice, Titi Soentoro.
Titi melanjutkan, “Negara-negara G20 harus didorong untuk menghapus undang-undang di negara anggotanya yang membatasi partisipasi perempuan secara bermakna, khususnya perempuan adat dan pedesaan, dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan kegiatan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka”.
Narahubung:
Kinanti Munggareni
Aksi! for gender, social and ecological justice
085715878394