Hari raya Idul Adha bagi orang Muslim hampir sama sakralnya seperti Idul Fitri Ramadhan. Ciri khas dari Idul Adha adalah semua orang Muslim di seluruh dunia melakukan Qurban dengan menyebelih kambing atau sapi (lembu) yang lalu dimakan secara bersama-sama di masjid atau di rumah masing masing bersama keluarga. Selain saat untuk berqurban, Idul Adha juga menjadi puncak bagi yang sedang menjalankan ibadah haji ke Mekkah dan Madinah di Arab Saudi. Maka dari itu perayaan Idul Adha tidak pernah sepi.
Bagi saya, berqurban memiliki makna filosofis yang penting. Daging Qurban dibagikan dimaksudkan untuk membantu saudara-saudara di sekitar agar mereka ikut menikmati makanan berupa daging. Seperti kita tahu, tidak semua keluarga khususnya di Indonesia dapat memasak daging sebagai menu utama di rumahnya. Daging adalah simbol makanan mewah dan hanya bisa dinikmati di hari-hari besar. Berqurban berarti membagikan sebagian rejeki kepada saudara-saudara sekitar secara sadar dan ikhlas.
Maka dari itu, orang-orang yang berkecukupan berkewajiban menyumbangkan satu kambing kepada saudara-saudaranya, atau seekor lembu dikumpulkan oleh 7 keluarga dengan sistem “patungan” atau “arisan”. Bagi umat Muslim, berqurban adalah salah satu capaian besar karena merupakan pelaksanaan salah satu syariat Islam.
Bagiku di perantauan, Idul Adha dan Idul Qurban adalah saat yang ditunggu-tunggu, waktu dimana saya dapat bertemu saudara-saudara Muslim di sekitar danau Toba, khususnya Desa Janji Maria, salah satu desa dampingan KSPPM. Sebagian warga desa ini adalah Muslim dan mereka merayakan lebaran haji bersama-sama. Untuk tahun ini, Desa Janji Maria bergabung dengan desa-desa lainnya di kawasan Habornas (Habinsaran, Borbor, Nassau) dan Laguboti untuk merayakan Idul Adha di Huta Salem, Desa Sintong Marnipi, Kec. Laguboti. Kami semua berkumpul di Huta Salem untuk menyembelih hewan qurban dan makan bersama sama setelah sholat Dhuhur.
Bagiku, Hari Raya Qurban tahun ini bukan sekedar masalah dimana menyembelih qurban dan siapa yang menikmatinya, tetapi juga merupakan momen membangun tali persaudaraan baru dengan saudara Muslim di Huta Salem. Saya berkesempatan untuk sedikit berbincang dengan Ustad Hasibuan, salah satu Ustad yang sekarang menaungi beberapa masjid di kabupaten Toba. Ustad Hasibuan yang akrab disapa Abu Jar adalah seorang ustad yang terdaftar di Kementerian Agama Kab. Toba, dan sering mengikuti diklat umat beragama di sana, juga aktif dalam forum-forum diskusi keagamaan lainnya di Sumatera Utara. Selain Ustad Abu Jar, saya juga bertemu dengan bapak Suherman dan bapak Samsul, dua orang penyintas penyakit kusta (Leprosy/Hansen’s Disease) yang sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Kusta Huta Salem, Desa Sintong Marnipi, Kec. Laguboti, Kab. Toba.
Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka kejadian atau prevalensi kusta yang terdaftar hingga Januari 2022 adalah 13.487 kasus, dengan 7.146 kasus baru. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae dan dapat dialami oleh anak-anak maupun orang lanjut usia (lansia). Kusta dapat dicegah dengan mengonsumsi obat rifampicin (rifampisin) yang diberikan khusus untuk seseorang yang telah melakukan kontak erat dengan pasien yang belum diobati.
Huta Salem dihuni oleh 53 KK dan 90% di antaranya beragama Islam, jelas Ustad Abu Jar. “Mereka adalah orang-orang yang dulu dirawat di Rumah Sakit Kusta, dan akhirnya sekarang berumah di sini walau sudah dinyatakan negative atas paparan penyakit ini. Mereka memilih tetap tinggal di Huta Salem tentu bukan tanpa alasan. Banyak dari mereka memilih tidak kembali ke kampung halamannya karena masih sulit menerima stigma terhadap orang berpenyakit kusta dan fasilitas kesehatan di kampungnya masih tidak selengkap di sini. “Sampai sekarang kondisi kami masih bisa diawasi oleh Dinas Sosial. Artinya, kalau ada masalah, kami masih bisa konsultasi kesehatan ke mereka,” jelas Suherman.
Walaupun sudah dinyatakan negative, kondisi fisik mereka tidak lagi seperti orang-orang yang belum pernah terkena penyakit kusta. Oleh karena itu, apabila ada yang ganjil dari kesehatannya, mereka masih sering langsung melapor ke Dinas Sosial supaya langsung dirujuk ke Rumah Sakit Kusta di Kabanjahe, Kab. Karo. “Rumah Sakit Huta Salem sudah tutup sejak 2014 karena semua pasiennya sudah dinyatakan sembuh oleh dokter dan jumlah penyandang kusta menurun tiap tahunnya. Sekarang, kusta termasuk salah satu penyakit yang jarang (rare case) di Indonesia. Namun pemerintah mesti selalu waspada dengan penyakit ini. Rata-rata kami sudah nol dari penyakit ini, namun penyakit ini membuat badan kami tidak lagi sekuat orang lain; , kami tidak tahan panas dari terik matahari, juga tidak tahan dingin di malam hari. Begitulah kondisi fisik kami sekarang. tetapi kami harus tetap bekerja karena kebutuhan kami sama dengan masyarakat lainnya yang tidak pernah sakit kusta” jelas Suherman saat ngobrol-ngobrol santai di teras Masjid Istiqomah Huta Salem.
Suherman tinggal di Huta Salem sejak tahun 1997. Dia berasal dari Aceh Tenggara dan memilih untuk dirawat di Rumah Sakit Huta Salem. Sejak saat itu, pak Suherman tinggal di kawasan Rumah Sakit, dan sekarang telah berkeluarga di sana. Untuk keperluan sehari-hari, dia berkebun di dalam kawasan rumah sakit itu, menanam jahe untuk dapat menafkahi anak-anaknya yang masih sekolah. Hal itu dilakukannya karena Dinas Sosial hanya memberikan sembako setiap 3 bulan yang tentu saja tidak cukup untuk keperluan lain-lainnya. Maka dari itu, lonjakan harga pupuk sekarang sangat berdampak bagi kehidupan keluarga pak Suherman. “Dek, lihat tangan saya, menggenggam parang saja sudah sulit, jadi membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengerjakan lahan 2 rante itu” kata pak Suherman sambil memperlihatkan tangannya sebagai efek dari penyakit kusta yang pernah dideritanya.
“Pandangan orang-orang terhadap kami masih buruk, karena kami dianggap sebagai orang-orang dengan penyakit mengerikan. Memang ada penyintas kusta yang tangannya tidak memiliki jari-jari lagi dan terlihat berdarah-darah, padahal berdarah-darah itu karena dia bekerja di lahan untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya” jelas pak Suherman. Kebutuhan hidup para penderita kusta tidak ada bedanya sama sekali dengan kebutuhan orang pada umumnya. Maka, mereka harus tetap bekerja untuk melanjutkan hidup kalaupun kondisi fisik yang tidak sekuat dulu lagi.
Mereka hanya bisa berkebun di sini. Oleh karena itu, mereka sangat mengharapkan pendampingan dari instansi pemerintah atau lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun pemerintah hanya memberikan bantuan-bantuan sosial tanpa memikirkan untuk memandirikan mereka supaya tetap bertahan hidup. “Kantor Dinas Sosial itu terbuka hanya saat bantuan datang, sedang di hari-hari biasa para staff tidak membuka kantor, maka, sampai sekarang tidak pernah ada kejelasan dari sana (Dinas Sosial)” jelas bapak Samsul, seorang tokoh masyarakat Huta Salem yang juga sekarang menjadi ketua Komunitas Kusta Huta Salem. Mereka sekarang mengorganisir diri untuk dapat menghadirkan pemerintah ke tengah-tengah masyarakat Huta Salem.
Pak Samsul sekarang tinggal di salah satu ruangan bekas penyimpanan obat Rumah Sakit Kusta Huta Salem. Gedung itu memang masih milik rumah sakit, tapi dia memakainya sebagai tempat tinggal karena dia dipilih oleh masyarakat sebagai ketua dan sekaligus menjaga gedung rumah sakit itu. Rumah Sakit Huta Salem sekarang memang menjadi pemukiman masyarakat sekitar sebab sudah tidak ada kegiatan rumah sakit di gedung tersebut.
Awalnya, Rumah Sakit Huta Salem didirikan pada tanggal 5 September 1900 oleh sorang Misionaris Steinsieck sebagai utusan Zending RMG. “Pada salah satu dinding gedung rumah sakit tertulis 1934; terdapat juga makam dengan catatan angka kematian yang diakibatkan oleh kusta sekitar tahun 1915. Maka, hingga sekarang kami tidak tahu pastinya kapan Rumah Sakit Kusta ini didirikan” jelas pak Samsul.
Pak Samsul juga menceritakan bahwa sampai tahun 60-an, rumah sakit ini dioperasikan oleh orang-orang Eropa, dengan obat-obatan dari negara Belanda dan India. Namun sejak dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia, rumah sakit ini dioperasikan oleh Dinas Kesehatan RI dengan suplai obat tetap dari negeri Belanda. Akhirnya, tahun 70-80an ditemukan obat yang dapat mengobati penyakit kusta, dan sejak saat itu angka penderita kusta tiap tahunnya semakin menurun. “Kalau kita sudah meminum obat itu, kusta yang sebelumnya dapat menular sekarang tidak lagi menular” jelas Pak Samsul, “Namun hal itu tidak tersosialisasikan dengan baik, sehingga orang dengan penyakit kusta masih mengalami stigma buruk di masyarakat Indonesia,” tambahnya.
Dulu, penyakit ini sama seperti apa yang terjadi sekarang, pandemi Covid-19, yaitu semacam virus mematikan yang menular dengan cepat dan awalnya tidak dapat disembuhkan. Maka penderitanya harus diasingkan atau dikarantinakan. Namun, saat penyebaran penyakit ini tidak lagi masif, pemerintah tidak memperhatikan bekas pasien kusta selayaknya penyintas Covid-19. Mereka tetap diasingkan dari kampungnya karena masyarakat menganggap mereka aib bagi keluarga. “Di sini mayoritas adalah orang Aceh, namun supaya jauh dari keluarga di kampung, kami memilih untuk dirawat lalu dan menetap di Toba. Kalau ditanya apakah mau pulang atau tidak, pasti mau, semua orang mau pulang, tapi kami maunya pulang kalau sudah ada kebijakan dari dinas terkait, karena kalau kami pulang dan ternyata masih ada penolakan atau penyakit-penyakit lanjutan ada pihak pemerintah yang bertanggung jawab atas kami,” jelas pak Samsul.
Kemenkes sekarang merujuk pada dokumen terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berjudul Towards Zero Leprosy. Global Leprosy Strategy 2021-2030 yang menyebutkan definisi zero leprosy sebagai triple zero, yaitu zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil ekslusi). Maka, dari itu seharusnya penanganan kusta di Huta Salem seharusnya tidak berhenti hanya karena beralihnya penanggung jawab Rumah Sakit Kusta dari Dinas Kesehatan menjadi Dinas Sosial dengan alasan tidak ada lagi penderita kusta di sana. Dengan peralihan ini, perhatian pemerintah tetap tidak serius, apalagi terkait stigma yang membuat para mantan pasien mengalami eksklusi di masyarakat.
Diskusi saya dengan Pak Samsul berkutat seputar ketidakseriusan Pemerintah Indonesia dalam penanganan stigma buruk bagi para penderita kusta atau lepra ini. Memang, menghilangkan stigma lebih sulit dibanding menyembuhkan penyakitnya. Walaupun sudah dinyatakan sembuh 100%, pandangan masyarakat terkait mantan penderita kusta/lepra masih belum membaik, bahkan menurut Pak Samsul, anak-anak bekas penderita kusta masih ditolak di Sekolah Dasar (SD) Negeri di sekitar perkampungan mereka. “Anak-anak kami harus bersekolah di Laguboti karena sekolah-sekolah di sekitar sini tidak menerima anak-anak kami. Kami jadi mengeluarkan biaya lebih besar untuk antar-jemput anak ke Laguboti,” jelasnya.
Jarak sekolah dari kampung ini memang harus menjadi perhatian khusus, karena ini mengakibatkan biaya lebih besar. Selain itu, mereka jadi tidak bisa berada di ladang setiap waktu karena harus antar-jemput anaknya. Anak-anak mereka bisa diterima di sekolah di Laguboti pun karena pada tahun 2015 seorang guru asal Aceh yang mengajar di sana bersedia menerima anak anak bekas pasien kusta.
Target zero exclusion semestinya berarti menghilangkan stigma-stigma yang masih menghantui para penderita kusta, baik yang masih terjangkit maupun yang sudah sembuh total. Banyak mitos buruk seperti kutukan atau bosa yang dilekatkan dengan penyakit ini. Sebenarnya, penyakit ini disebabkan oleh transmisi bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini juga bukan penyakit turunan sehingga penularannya tidak genetis melainkan karena bakteri yang ada di lingkungan kita.
Kementerian Kesehatan juga sudah mengeluarkan banyak modul dalam upaya penghapusan stigma ini, namun nyatanya masih banyak penderita yang tereksklusi dari kehidupan sosial mereka. Salah satunya adalah InfoDATIN, yaitu laporan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan untuk mensosialisasikan data-data terkait kusta dan mengajak masyarakat untuk menghentikan stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta.
Menurut Pak Samsul, pemerintah masih belum serius mendidik masyarakat bahwa kusta tidaklah seburuk yang dibayangkan. Sebagaimana Covid-19, ketika obatnya sudah ada, penyebaran virusnya tidak lagi seperti sebelumnya. Stigma ini sungguh berbahaya karena sudah menyentuh elemen-elemen kehidupan para penderitanya, termasuk dimensi ekonomi-politik.
Sebagai sumber penghidupan sehari-hari saat ini, masyarakat memanfaatkan tanah yang ada untuk berkebun. Namun kepemilikan tanahnya masih belum jelas karena selama ini tanah yang mereka kerjakan masih milik HKBP yang sebelumya menghibahkannya sebagai tempat untuk membangun rumah sakit kusta. Sejak 1980 para pasien rumah sakit kusta diperbolehkan untuk membawa keluarganya, dan sejak saat itu banyak di antara mereka saling menikah dan memiliki keturunan sampai sekarang.
Refleksi
Idul Adha kali ini sangat berharga bagi saya. Selain ikut berqurban, saya juga dapat menjalin tali persaudaraan baru khususnya dengan saudara Muslim yang ada di Huta Salem. Awalnya, kehadiran saya membuat orang bertanya-tanya karena ini adalah kunjungan pertama saya ke Huta Salem. Saya menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Ustad dan ikut sholat Ashar di Masjid Istiqomah Huta Salem. Sehabis sholat berjamaah, umat Muslim biasanya saling berjabat tangan, dan ini menjadi pintu masuk saya untuk mendalami komunitas ini. Pertempuan saat sholat Ashar itu membuka pintu bagi saya untuk bertemu dengan Ustad Abuzhar, Pak Suherman, dan Pak Samsul, dua penyintas penyakit kusta yang sama-sama berasal dari Aceh.
Seperti perayaan hari besar keagamaan lainnya, Idul Adha merupakan kesempatan dimana banyak keluarga berkumpul dan bersama-sama menikmati daging qurbannya. Kali ini, di perantauan saya menemukan suasana keluarga itu. Saya merasa bahwa menjalin hubungan persaudaraan baru itu sama pentingnya dengan menjaga hubungan persaudaraan yang sudah ada. Apalagi, pada Qurban kali ini, saya mengetahui jelas siapa penerima dagingnya.
Salah satu praktik sosial yang tercermin dari Ibadah kurban sungguh mencerminkan praktek sosial karena dari daging hewan yang dikurbankan, sebanyak 2/3 disedahkan dan dijadikan hadiah bagi orang lain. Namun hukum itu tidak baku alias terpaku mati. Kita sebagai peng-qurban bisa saja hanya mendapat sedikit dari jatah keseluruhan daging itu. Hal itu sungguh menyenangkan karena di sini saya mengetahui persis distribusi daging kurban. Alhamdulillah kami sekeluarga juga senang karena daging itu dapat berguna bagi masyarakat Janji Maria dan Huta Salem secara khusus.
Jalinan tali persaudaraan baru ini juga bukan sekedar berkenalan, tetapi juga berbagi cerita kehidupan. Saya pribadi bersyukur mendapatkan banyak ilmu baru setelah bertemu mereka di Huta Salem, salah satunya adalah terkait penyakit kusta yang selama ini hanya saya dengar di banyak pelajaran keagamaan seperti Alquran dan Alkitab. Baru sekarang ini saya melihat dan mendengar langsung cerita mereka sebagai penyintas penyakit kusta.
Eksklusi sosial ternyata tidak melulu diakibatkan oleh kehadiran perusahaan besar yang merampas tanah milik masyarakat, namun juga oleh mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, seperti anggapan bahwa penyakit lepra adalah penyakit yang tabu dan tidak bisa diterima banyak orang. Namun, pertemuan saya dengan mereka membuktikan bahwa ungkapan “tak kenal maka tak sayang” masih sangat relevan. Mungkin banyak orang masih apatis dengan penyakit ini sehingga stigma ini masih marak bagaikan virus yang menggerogoti masyarakat. Sudah saatnya instansi pemerintah maupun non-pemerintah terlibat untuk segera menghapus stigma-stigma buruk ini dan membantu para penyintas kusta melanjutkan hidup selayaknya masyarakat pada umumnya. **