Senin, 3 Oktober 2022. KSPPM bersama Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan melaksanakan Diskusi Buku “Nunga Leleng Hami Mian di Son”: Perjuangan Panjang Masyarakat Adat Mendapatkan Pengakuan Negara. Diskusi ini berlangsung di Gedung Perpustakaan UHN Medan dan dihadiri sekitar seratus mahasiswa UHN Medan, Akademisi, perwakilan Dinas Kehutanan Sumatra Utara, dan tim KSPPM.
Diskusi ini dilaksanakan sebagai upaya mempublikasikan buku-buku yang diterbitkan KSPPM. Dalam tiga tahun terakhir, KSPPM telah menerbitkan tiga buku (Tombak Haminjon Do Ngolu Nami, Mangan Sian Tano Ni Ompung, dan Nunga Leleng Hami Mian di Son). Diskusi ini membahas buku terakhir. Buku ini menjelaskan bagaimana kesulitan masyarakat adat ketika diperhadapkan dengan negara dalam menuntut pengakuan atas hak-hak tradisionalnya.
Narasumber diskusi ini berasal dari lintas profesi, yakni aktivis, akademisi, serta pihak pemerintah sehingga terdapat berbagai perspektif dalam mengkaji persoalan-persoalan agraria yang sedang dihadapi masyarakat adat.
Nawacita RPJMN 2015-2019 berhasil merangsang aktivis-aktivis agraria untuk mendukung perjuangan penyelesaian konflik-konflik agraria. Nawacita Joko Widodo tersebut menjanjikan 9 juta hektar tanah akan dikembalikan kepada rakyat melalui TORA dan 12,7 juta hektar melalui Perhutanan Sosial (PS). Kemudian, pada periode kedua (2020-2024) Jokowi menambah luasan lahan yang akan diselesaikan (Pembaharuan kawasan hutan sebelumnya seluas 2 juta hektar menjadi 10 juta hektar, sedangkan tanah yang akan diredistribusi bertambah menjadi 7.750 ribu hektar, dan tanah yang dilegalisasi bertambah menjadi 56.286. 087 hektar)
Namun, data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per 1 Agustus 2022 memperlihatkan bahwa penyelesaian konflik yang dilakukan negara belum maksimal. Penyelesaian konflik di Sumatera Utara sebagai provinsi yang mengalami konflik agraria terbanyak setelah DKI Jakarta, menurut data komnas HAM, tercatat sangat sedikit. Luas capaian penyelesaian konflik masih sekitar 76.000 ha dengan jumlah SK sebanyak 162.
Rocky Pasaribu dari KSPPM memaparkan fakta-fakta yang ditemukan di wilayah pendampingan KSPPM. KSPPM Bersama AMAN Tano Batak mengajukan seluas 27 ribu ha wilayah adat yang berhadapan dengan berbagai konflik yaitu Kawasan Hutan, Konsesi PT TPL, Proyek Pariwisata dan Food Estate dan 6.800 hektar sudah diakui dan dikembalikan kepada masyarakat adat. Dalam proses menuntut pengakuan dari negara, masyarakat adat mengalami banyak tantangan khususnya ketika berhadapan dengan Tim Verfikasi. Keberadaan mereka sebagai masyarakat adat seakan-akan diragukan oleh negara. Negara menaruh curiga kepada mereka padahal sudah ratusan tahun masyarakat adat menguasai wilayah adatnya.
Janpatar Simamora, Dekan FH UHN Medan sekaligus Ketua Tim Penyusunan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Toba dan Samosir menjelaskan bahwa terdapat konflik hukum dalam proses penyelesaian konflik agraria, yaitu antara hukum formal dan hukum kebiasaan, akan tetapi hukum formal memiliki kuasa lebih besar. Ia juga berkata bahwa masyarakat adat sebagai pemilik pertama wilayah adat belum sepenuhnya dilindungi negara. Buktinya, Perda yang beliau susun tidak diimplementasikan oleh Pemkab Toba dan Samosir.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya, tetapi negara kita justru mengkhianati sejarah masyarakat adat.” ucapnya.
Dinas Kehutanan Sumatera Utara yang diwakili oleh Joner Sipahutar mengakui bahwa prestasi mereka belum cukup menggembirakan dalam proses penyelesaian konflik agraria di Sumatera Utara. Baginya, hukum tertulis yang ada bisa jadi belum mampu sepenuhnya menjawab keinginan masyarakat adat.
Prof. Posman Sibuea juga mendukung perjuangan masyarakat adat yang berdarah-darah mempertahankan wilayah adatnya. Industri tidak menjawab kegelisahan masyarakat adat yang kesehariannya bercocok tanam atau bertani. Keberadaan PT TPL hanya menjadi bencana di Tano Batak. Menurutnya, industri ini menciptakan krisis air, kemiskinan petani, kerusakan lingkungan, dan perampasan ruang hidup.
“Kita sekarang harus mengamankan pangan kita. Kedaulatan pangan sejalan dengan kedaulatan petani. Kedaulatan petani terwujud jika hak atas tanahnya jelas.”, ucap Prof. Posman. Peserta diskusi sangat antusias mengajukan pertanyaan kepada para narasumber. Pertanyaan-pertanyaan mereka lahir dari kegelisahan terhadap hak-hak masyarakat adat yang belum dijamin oleh negara. Sesi diskusi buku ini berhasil membuat isu masyarakat adat dibahas oleh semua kalangan, baik akademisi, mahasiswa, pejabat dan masyarakat perkotaan. UHN Medan diharapkan menjadi stakeholder yang tepat karena akademisi-akademisi yang berasal dari kampus memang diharapkan berkontribusi dalam penyusunan kebijakan yang lebih baik di masa depan.**