Saya senang dan merasa beruntung ikut menghadiri “Pesta Syukuran” Masyarakat Adat Nagasaribu Onan Harbangan pada 30 Juli 2022 dan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta pada 12 Desember 2022. Masyarakat Adat Nagasaribu Onan Harbangan berada di Kabupaten Tapanuli Utara, sedang Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan, keduanya di Provinsi Sumatera Utara. Pesta ini mereka selenggarakan karena mereka berhasil mendapatkan SK Hutan Adat dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Saya sangat terkesan atas kemeriahan kedua pesta itu dan bisa merasakan kegembiraan dan sukacita kedua masyarakat adat ini. Betapa tidak! Perjuangan panjang dan melelahkan merebut kembali wilayah adat mereka yang di-klaim sebagai hutan negara akhirnya berhasil.
Hutan Adat Versus Wilayah Adat
Kendati semua yang hadir di pesta syukuran ini memperlihatkan kegembiraan yang sama, terasa ada yang tidak sama perihal istilah yang mereka pakai untuk menyebutkan satu hal.
Dalam sambutannya, para perwakilan dari masyarakat adat yang menyelenggarakan pesta cukup konsisten mengatakan bahwa mereka layak bersyukur karena tanah atau wilayah adat mereka telah didapatkan kembali. Mereka mau menegaskan bahwa tanah adat mereka yang selama ini di-klaim sebagai hutan negara telah dikembalikan ke pemilik awal yang sah, yaitu masyarakat adat.
Sementara itu, kata sambutan para tamu undangan, khususnya dari pihak pemerintah, juga cukup konsisten bahwa yang didapatkan oleh masyarakat adat adalah SK Hutan Adat.
Cara pikir para tokoh masyarakat adat secara sederhana dapat digambarkan begini: tanah/wilayat adat (milik masyarakat adat) à di-klaim sepihak menjadi hutan negara àtanah/wilayah adat kembali. “Dahulu ini adalah tanah kami, sekarang menjadi tanah kami kembali,” begitu kira-kira pernyataannya.
Di sisi lain, pemerintah memakai alur berpikir: wilayah adat à hutan negara à hutan adat. Di sini terlihat bahwa yang diserahkan kepada masyarakat adat tidak lagi seperti sediakala. Ada makna yang dikorupsi atau rantai proses yang diputus, yaitu wilayah adat yang berada bawah otoritas penuh hukum adat sudah tidak ada. Kalaupun diserahkan kembali kepada masyarakat adat, statusnya telah dikunci oleh pemerintah, yaitu sebagai hutan.
Waktu masih akan menjadi saksi di masa depan apakah perbedaan pemahaman antara masyarakat adat dan pemerintah ini akan menimbulkan masalah. Bagaimanapun, kita tentu layak bertanya: apakah penyerahan SK Hutan Adat sungguh merupakan penerjemahan yang sejati atas pengakuan atas hak-hak tradisional masyarakat adat sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945? Mengapa tidak menyebutnya SK Wilayah/Tanah Adat saja?
Masyarakat Adat sebagai Pejuang Perubahan Iklim
Kata sambutan dari salah satu perwakilan dari NGO pendamping masyarakat adat menarik perhatian saya. Pada pesta syukuran di Pandumaan-Sipituhuta, dia menyinggung problem perubahan iklim yang telah menjadi masalah global. Satu-satunya bumi yang dihuni oleh semua orang semakin tidak ramah dan semakin sering menimbulkan bencana. Deforestasi dan tanaman industri monokultur dianggap sebagai faktor yang menyebabkan pemanasan global ini. Pemerintah Indonesia memiliki komitmen pengurangan emisi karbon sebagai bagian dari problem besar pemanasan global ini.
Dalam sambutan ini, dia lalu menegaskan bahwa masyarakat adat telah terbukti dari generasi ke generasi sebagai penjaga dan pemelihara hutan. Kearifan lokal masyarakat adat adalah benteng pertahanan yang kokoh untuk kelestarian hutan. Maka, menurutnya, masyarakat adat layak disebut sebagai ‘pejuang sejati perubahan iklim’. Dia menyebut SK Hutan Adat sebagai pengakuan atas kearifan lokal masyarakat adat terkait pemeliharaan hutan dan lingkungan.
Saya sangat terkesan dengan penegasan ini dan lebih dari sekedar setuju dengan pemikiran yang disampaikannya. Tetapi, anehnya, penggalan sambutannya mengenai masyarakat adat dan perubahan iklim ini tidak mendapat tepuk-tangan meriah dari warga masyarakat adat yang hadir. Layak diduga bahwa NGO dan khususnya pemerintah melihat penyerahan SK Hutan Adat ini dalam program perubahan Iklim. Surat-surat keputusan penetapan hutan adat yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan pengelolaan hutan adat telah mendapat pengakuan dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), Demikian pernyataan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto (Kompas, 18/01/2023, hlm.8).
Layak diragukan apakah isu dan problem perubahan iklim duduk sebagai prioritas utama dalam daftar ‘persoalan hidup’ yang dirasakan oleh masyarakat adat. Itu barangkali sebab mengapa kata sambutan berapi-api tentang masyarakat adat sebagai pejuang perubahan iklim mereka sambut dingin-dingin saja.
Perubahan Iklim Versus Pemiskinan Sistematis
Dalam konsep tata-ruang masyarakat adat pada umumnya, hutan selalu dianggap penting sebagai salah satu penopang sistem penghidupan mereka yang berdaulat dan berkelanjutan. Umumnya, masyarakat adat menganggap hutan sebagai kawasan tangkapan air, tempat mengambil kayu secara selektif sesuai kebutuhan dan banyak tanaman untuk obat dan ritual adat lainnya. Untuk masyarakat adat di Tano Batak khususnya, pohon kemenyan yang hanya tumbuh sempurna di hutan alami merupakan sumber mata pencaharian penting sejak lama.
Akan tetapi, masyarakat adat pada umumnya tidak mengaitkan pengelolaan hutan yang mereka lakukan dengan problem perubahan iklim yang telah menjadi keprihatinan dunia. Masyarakat adat menganggap hutan itu penting karena hutan yang terpelihara memang berguna untuk menjawab permasalahan hidup mereka; hutan berguna untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Maka, bisa terjadi bahwa pemaknaan hutan adat bagi negara/pemerintah dan NGO sungguh berbeda dengan masyarakat adat. Dalam konteks perubahan iklim, pemerintah barangkali akan tegas melarang penebangan pohon di hutan adat. Sementara itu, masyarakat adat para umumnya mengambil pohon secara selektif dan bijaksana dari hutan untuk kebutuhan mereka. Perbedaan pemahaman seperti ini bisa menimbulkan masalah.
Terkait penyerahan SK Hutan Adat, pemerintah dan NGO bisa saja memegang harapan atau cita-cita yang berbeda dengan masyarakat adat. Pemerintah barangkali berharap bagaimana agar kawasan yang ditetapkan sebagai hutan adat tetap merupakan tutupan hutan atau dihutankan kembali jika telah mengalami deforestasi oleh berbagai sebab.
Di sisi lain, sejak mendapatkan SK Hutan Adat, masyarakat adat segera bergiat memikirkan bagaimana wilayah adat yang sudah didapatkan kembali itu bisa dimanfaatkan untuk menjawab problem kemiskinan yang mereka alami. Pertanyaan mereka adalah: bagaimana wilayah adat yang sudah didapatkan kembali ini bisa menjawab permasalahan hidup kami?
Sensitivitas mengenai kemendesakan pertanyaan tersebut bisa berbeda antara pemerintah dan NGO dengan masyarakat adat sendiri. Jangan heran jika mulai muncul ide di kalangan masyarakat adat sendiri untuk menjalin kerjasama dengan korporasi (perusahaan) untuk pengelolaan wilayah adatnya jika itu bisa menjawab problem pemiskinan yang mereka alami. Jika ini terjadi, masyarakat ada bisa hanya ‘keluar dari mulut singa’ (tanahnya tidak lagi menjadi wilayah konsesi PT. TPL), ‘masuk mulut harimau’ (tanahnya dikelola oleh korporasi/perusahaan lain). Tawaran kerjasama dari korporasi bisa sangat menggiurkan di tengah pemiskinan sosial-ekonomi sistematis yang dialami oleh masyarakat adat.
Isu perubahan iklim terasa teramat jauh bagi masyarakat adat yang sehari-hari bergulat dengan kesulitan hidup yang konkrit. Bagi mereka, terlibat memelihara hutan dan menjadi ‘para pejuang perubahan iklim’ tidak akan membantu mereka secara konkrit bagaimana membayar biaya-biaya hidup yang makin banyak dan terus naik setiap harinya. Lalu, siapa yang akan membantu mereka menjawab permasalahan itu?
Jika kita mengharapkan dan meminta masyarakat adat menjadi ‘pejuang’ dan ‘benteng pertahanan’ untuk perubahan iklim, lalu apa yang kita berikan kepada mereka? Jangan-jangan, yang kita lakukan adalah eksploitasi (tanpa sadar) terhadap mereka: meminta tanpa memberi apa-apa! SK Hutan Adat bisa jadi berarti meminta (mengikat) masyarakat adat untuk melakukan sesuatu, yaitu menjaga hutan atau menghutankan kembali, tetapi tidak/belum menjawab permasalahan mendasar yang sehari-hari mereka alami, yaitu pemiskinan.
Kerja panjang dan berat sesudah penyerahan SK Hutan Adat masih menanti kita! **