Refleksi di Hari Tani Nasional 2023
Cita-cita mewujudkan keadilan agraria di Indonesia seperti masih jauh dari harapan. Semangat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan pikiran tokoh bangsa seperti Bung Hatta, mengatasi ketimpangan penguasaan agraria hampir pupus. Paradigma developmentalis yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi melahirkan berbagai kebijakan yang mengabaikan hak-hak rakyat. Tanah dan sumber daya alam hanya dilihat sebagai komoditi yang memiliki nilai jual ekonomi. Paradigma inilah yang selama ini menjadi akar konflik agraria di Indonesia yang tumbuh subur di mana-mana.
Terbaru, kisah tragis yang dialami oleh masyarakat adat di Pulau Rempang-Batam, menambah deretan konflik agraria di Indonesia. Demi alasan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eko City, negara mengabaikan fakta bahwa ada ratusan warga Rempang yang akan kehilangan ruang hidupnya. PSN menjadi proyek sakti yang digdaya dan dibenarkan melakukan segala cara untuk menggusur rakyat yang memiliki kehidupan di sebuah wilayah yang ditarget.
Keadilan Agraria seperti hanya menjadi dongeng di negeri yang hanya mementingkan investasi yang melahirkan teror dan intimidasi bagi petani dan masyarakat adat. Pembangunan yang katanya menyejahterakan rakyat justru merampas kesejahteraan rakyatnya. Rempang bukan satu-satunya, wilayah-wilayah lain yang ditetapkan sebagai PSN juga mengalami hal yang sama. Tidak terkecuali di Sumatera Utara dengan PSN Food Estate dan Pariwisata Internasional.
Atasi Krisis Pangan dengan Food Estate?
Acaman krisis pangan global paska covid 19 dan dampak krisis iklim menjadi concern Pemerintah Indonesia dan menjadi alasan utama mengembangkan Program Food Estate. Begitulah narasi yang dibangun oleh pemerintah pada Juli 2020 lalu, yang disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Narasi itu bergulir cepat hingga ke daerah-daerah. Proyek ini menjadi sesuatu yang sangat penting. Berbagai kebijakan pendukung lahir dalam hitungan bulan, tanah untuk Program Food Estate tersedia dalam hitungan bulan, sementara masyarakat adat di Tano Batak yang berjuang puluhan tahun mendapatkan pengakuan atas wilayah adatnya tidak kunjung direspon.
Dua tahun proyek ini berjalan di Humbang Hasundutan, belum melahirkan kesejahteraan bagi rakyat sekitarnya. Sebaliknya banyak melahirkan berbagai persoalan agraria. Sayangnya, pemerintah seperti tidak melihat dampak kerugian yang ditimbulkan baik masyarakat setempat maupun negara, pemerintah terus berambisi menjalankan Food Estate. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya 16 Agustus 2023 yang lalu mengatakan bahwa negara akan menyiapkan anggaran untuk strategi transformasi ekonomi di bidang ketahanan pangan sebesar 108 triliun rupiah dalam RAPBN 2024.
Salah mandasor sega luhutan
Harusnya pemerintah berkaca dari implementasi tiga tahun program Food Estate yang gagal dan mendapat kritikan dari berbagai elemen masyarakat sipil di Indonesia. Program Food Estate merupakan cara pandang yang monolitik dari pemerintah mengenai makna pembangunan dan kemajuan, dengan mengabaikan upaya-upaya kerja keras petani lokal dan masyarakat adat selama ini dalam mempertahankan kedaulatan pangan.
Program ini ibarat program yang jatuh dari langit, mengabaikan banyak hal, termasuk prinsip Free, Prior, and Informed Concent (FPIC), sebuah prinsip yang memberikan kebebasan bagi masyarakat adat memutuskan menerima atau menolak sebuah proyek di wilayah adatnya. Sebuah prinsip yang harusnya menjadi pegangan para pengambil kebijakan ketika melakukan sebuah program atau proyek karena menyangkut hidup orang lain yang ada di wilayah di mana proyek tersebut dikembangkan.
Tidak adanya informasi yang lengkap dan jelas dari pemerintah tentang program ini kepada masyarakat adat dan tidak diberikannya ruang bagi mereka untuk menerima atau menolaknya, membuat program Food Estate ini sangat top down. Sala mandasor sega luhutan, sebuah falsafah Batak yang menggambarkan bahwa program ini sudah salah sejak awal dibuat oleh para pengambil kebijakanan. Kesalahan di awal pastinya akan membuat banyak kerusakan di kemudian hari, dan itulah yang terjadi saat ini terhadap proyek ini di Humbang Hasundutan. Kita bisa menyaksikan beragam permasalahan yang ditimbulkan oleh proyek tersebut.
Dari Pemilik Tanah Menjadi Petani Tak Bertanah
Katanya, pemerintah mendukung hak atas pangan rakyatnya, sementara bicara hak atas pangan tidak bisa lepas dari hak atas tanah. Untuk mendukung program Food Estate di Desa Ria-ria, pada Oktober 2020 lalu, pemerintah menerbitkan 87 sertifikat hak milik tanah di atas 215 hektar. Proses legalisasi asset tersebut, idealnya, untuk memberikan jaminan kepemilikan bagi masyarakat atas tanahnya, karena logika negara terkait legal tidaknya asset tanah adalah sertifikat. Namun, mari kita lihat saat ini, dari informasi penduduk di desa Ria-ria, sertifikat tersebut sudah banyak menjadi jaminan di bank, yang modalnya digunakan untuk mengembangkan pertanian di lokasi food estate tersebut. Sebagian besar dari mereka terancam kehilangan haknya atas tanah tersebut karena harus menghadapi gagal bayar.
Praktek ini, sadar atau tidak sadar, bisa menjerumuskan petani pemilik tanah menjadi petani tak bertanah atau budak di tanah sendiri. Hal ini yang terjadi di lokasi-lokasi Food Estate di Humbang Hasundutan, dengan adanya skema pemilik tanah di bayar bekerja di tanahnya. Mereka menyewakan tanahnya dengan harga murah, satu juta rupiah per hektar per tahun kepada perusahaan yang ingin mengembangkan program Food Estate.
Meningkatnya Konflik Agraria di Wilayah adat
Kita juga melihat dampak proyek ini memicu konflik agraria di wilayah Food Estate, secara sepihak pemerintah mengalokasi wilayah adat (pemukiman, persawahan dan hutan kemenyan) sekitar 106 hektar milik Masyarakat Adat Pargamanan Bintang Maria, Parlilitan, Humbang Hasundutan.
Perampasan wilayah adat secara sepihak oleh negara juga terjadi di wilayah adat Ria-ria. Masyarakat Adat di Desa Ria-ria, di masa Orde baru, pernah melalui pahit getirnya perjalanan panjang konflik Agraria tahun 1970-an. Perjuangan tersebut berbuah manis dengan sebuah kemenangan. Sayangnya dengan hadirnya proyek ini, berdasarkan penuturan Pengurus Lembaga Adat dan pemetaan yang dilakukan bersama KSPPM, ada sekitar 1.485 hektar wilayah adat Ria-ria yang tumpang tindih dengan Kawasan Food Estate.
Petani Semakin Terasing dari Produksi, Teknologi, dan Konsumsinya
Selain tidak berdaulat atas tanahnya, proyek ini juga membuat petani tidak lagi berdaulat atas produksi, konsumsi, dan teknologi yang digunakan. Sejak awal proyek ini dirancang, petani yang terlibat dalam program ini telah ditetapkan hanya menanam jenis produk tertentu seperti bawang merah, bawang putih dan kentang. Produk yang sebelumnya asing bagi mereka, karena pada dasarnya mereka adalah petani padi, sayuran, cabe, andaliman dan kemenyan. Perubahan pola produksi juga berdampak pada perubahan teknologi yang digunakan dan juga pola konsumsi petani di wilayah food estate.
Melihat implementasi tiga tahun ini di Ria Ria, argument pemerintah bahwa program ini menjawab ancaman krisis pangan sama sekali tidak terbukti namun sebaliknya, menjerumuskan petani pada kerentanan pangan. Pengamatan di Desa Ria Ria ditahun pertama program Food Estate ini dikembangkan, banyak petani yang akhirnya mengurangi waktu bekerja di sawah, karena mereka harus mengalokasikan lebih banyak waktu untuk merawat tanaman sesuai standart yang ditetapkan pengelola program Food Estate. Sawah yang menjadi sumber pangan penduduk sempat terabaikan demi mengejar target keberhasilan program tersebut.
Rusaknya Kebersamaan sebagai Modal Sosial
Hal lain yang berubah dalam tiga tahun paska Program Food Estate adalah terganggunya sistem sosial dan budaya setempat, nilai kebersamaan, solidaritas dan tolong-menolong yang menjadi modal sosial semakin bergeser menjadi individualis. Karena pada dasarnya korporatisasi sektor pertanian yang dipraktekkan dalam program Food Estate sangat berorientasi pada akumulasi keuntungan yang sangat kompetitif.
Kehidupan harmonis yang ada selama ini juga terusik karena praktek diskriminatif yang terjadi antara petani yang tergabung dengan Food Estate dengan petani di luar program Food Estate. Perhatian pemerintah yang sangat fokus pada keberhasilan program ini, disadari atau tidak telah mengabaikan hak-hak petani lain.
Slogan “No One Left Behind” yang katanya merupakan prinsip implementasi pembangunan berkelanjutan di Indonesia, sama sekali tidak tercermin dalam program Food Estate ini. Prakteknya, ada banyak petani yang tidak mendapat perhatian dan pelayanan yang sama dari pemerintah. Ada banyak petani yang harus berjuang sendiri mengatasi berbagai persoalan pertanian, seperti: lahan pertanian yang terancam akibat kehadiran berbagai investasi, anggaran pertanian yang sangat rendah, biaya produksi yang semakin mahal, krisis iklim dan harga produk pertanian yang rendah, serta berbagai kebijakan pembangunan lainnya yang tidak memperhatikan petani dan sektor pertanian.
Di Humbang Hasundutan, ketika proyek Food Estate berjalan, banyak petani yang mengeluh karena semua alat-alat pertanian di Kecamatan lain, seperti traktor dan yang lainnya dipusatkan untuk pembukaan lahan di areal Food Estate Ria-ria.
Ancaman Deforestasi dan Punahnya Tanaman Endemik
Dari aspek ekologi, program ini juga tidak bisa dipungkiri mengancam keberadaan hutan-hutan alam yang ada di Sumatera Utara Berdasarkan SK Nomor 448/Menlhk/Setjen/Pla/2/11/2022, ada sekitar 12.790 hektar Kawsan Hutan di Sumatera Utara yang akan dikonversi untuk pengembangan Food Estate dan ada sekitar 21.152 hektar Kawasan Hutan yang akan dicadangkan untuk program yang sama. Sehingga areal Food Estate dari Kawasna Hutan berdasarkan SK di atas sekitar 33.492 hektar. Kita bisa bayangkan potensi kerusakan hutan yang diakibatkan oleh program ini kedepannya, akan menambah kerusakan hutan yang terjadi saat ini.
Program ini bahkan mengancam keberadaan tanaman-tanaman endemik dan unggulan di wilayah Humbang Hasundutan, seperti kemenyan dan andaliman. Setahun pertama kehadiran Food Estate, petani pemilik lahan di areal Food Estate, yang tadinya adalah petani kemenyan dan andaliman, lebih banyak menghabiskan watunya di ladang Food Estate. Akibatnya, hutan kemenyan dan andaliman sempat ditinggalkan. Walau saat ini mereka sudah mulai kembali melestarikan kemenyannya karena sadar bahwa kesejahteraan mereka selama ini ditopang oleh kemenyan, bukan dari Program Food Estate, namun keberadaan program ini tetap menjadi ancaman terhadap keberadaan tanaman-tanaman endemik di Humbang Hasundutan.
Dugaan Pemborosan Anggaran
Dari pengamatan tim KSPPM dalam tiga tahun terakhir, pemborosan anggaran yang berpotensi menyebabkan kerugian negara juga terjadi dalam pelaksanaan program ini. Beberapa bangunan untuk menggenjot keberhasilan Program Food Estate ini telah rusak tak terawat, seperti gedung penyimpanan bibit, pipa-pipa air irigasi, CCTV dan yang lainnya.
Pemborosan anggaran ini, juga ada dalam Laporan Hasil Audit BPK tahun 2021 yang menunjukkan adanya masalah dalam implementasi anggaran dalam kegiatan Food Estate di Indonesia termasuk di Humbang Hasundutan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Ada beberapa hal yang disorot seperti: Pertama, perencanaan yang tidak berbasis pada data dan informasi yang valid sesuai dengan standart perencanaan pertanian pangan berkelanjutan dan sistem budaya pertanian berkelanjutan; Kedua, penempatan lahan tidak sesuai ketentuan; Ketiga, adanya pengadaan sarana budi daya pertanian dan pembangunan food estate yang belum sesuai ketentuan; dan keempat, monitoring pelaksanaan program tersebut tidak dilakukan dengan optimal.
Lebih rinci dalam Temuan Audit BPK, ditemukan banyak kesalahan penghitungan volume dan progress pekerjaan yang berpotensi mengakibatkan kelebihan bayar, ketidaksesuaian kuantitas pekerjaan terpasang dengan dokumen pembayaran, perhitungan pembayaran Matrial On Site (MOS) yang tidak sesuai ketentuan kontrak, dan banyak temuan lain. Temuan tersebut tentunya bisa berimplikasi pada penyalahgunaan anggaran dan rentan dikorupsi.
Kritis Terhadap Narasi dan Solusi Palsu
Tiga tahun Program Food Estate di Sumatera Utara, dari refleksi di atas sebenarnya sudah menunjukkan bagaimana kebijakan pembangunan yang tidak berbasis pada kebutuhan masyarakat lokal dan tanpa perencanaan yang baik, akan memberikan banyak dampak buruk. Sala mandasor sega luhutan, falsafah Batak yang menggambarkan kesalahan perencanaan akan memberikan dampak kerusakan yang besar, sepertinya tepat untuk menggambarkan implementasi Program Food Estate tersebut.
Hari ini, 24 September, kita memperingati Hari Tani Nasional, momen yang tepat untuk kembali berefleksi tentang nasib petani saat ini dan berharap adana perubahan di masa yang akan datang. Saat ini petani semakin lemah di tengah berbagai kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi pada kepentingan investasi. Hak atas pangan hanya bisa tercapai jika hak atas tanah juga dipenuhi oleh negara. Perampasan-perampasan tanah dan ruang hidup yang terjadi demi dan atas nama pembangunan harus dihentikan.
Refleksi hari ini, juga harus dibarengi dengan tindakan nyata dari gerakan masyarakat sipil di Indonesia, termasuk petani di dalamnya. Perlu selalu melakukan refleksi dan evaluasi mengenai posisi petani dan gerakan petani. Gerakan tani tidak lagi berharap pada janji keberpihakan negara terhadap petani, tapi mesti membangun “politik”-nya sendiri lewat skema-skema mandiri menuju kedaulatan petani.
Organisasi petani harus kuat dan menarikan gendang sendiri, tidak hanya menarikan gendang pembangunan yang tidak lahir dari imajinasi sendiri terkait kesejahteraan. Falsafah Batak “unang tortori naso gondangmu” sepertinya tepat untuk bahan refleksi petani yang menghadapi banyak tantangan saat ini. Agar tidak larut dalam janji-janji manis kesejahteraan yang tak kunjung datang. Gerakan petani harus semakin kritis terhadap solusi-solusi PALSU yang hanya menguntungkan Pemilik Modal.
Selamat Hari Tani Nasional
24 September 2023
TIM KSPPM