Selasa, 15 Maret 2022. Sejumlah NGO Internasional menyelenggarakan diskusi mengenai isu lingkungan dan masyarakat adat. Diskusi tersebut menghadirkan 4 (empat) narasumber, yaitu Regina Lopez-Whiteskunk (Cross-Culture Program Manager at Montezuma Land Conservacy, Former Council-woman of the Ute Mountain Ute Tribe, dan Former Co-chair of the Inter-tribal Coalition on Bears Ears), Melody Daugherty (Tsalagi, Founder and Executive Director of the Manitou Pollinators), Sharrie Perry-Nicholoson (Comanche, Native Law, Educator in school system, community builder for native youth), dan Eva Junita Lumban Gaol (Pemimpin Komunitas Perempuan adat dan Pengurus Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria).
Dimulai pukul 23.00 WIB, diskusi ini dibuka oleh Sandra Sheridan (NGO Commite on the Rights of Indigenous Peoples dan Sunray Meditation Society) dan Sue C. Jacobs (Profesor School of Community Health Sciences and Counseling Psychology di Oklahoma State University).
Moderator kemudian memberi kesempatan kepada narasumber untuk memperkenalkan diri dan masing-masing berbagi informasi mengenai perjuangan perempuan dalam mempertahankan wilayah adat. Semua narasumber mengaku bahwa mereka sedang mengalami krisis lingkungan dan untuk mengatasi persoalan yang sangat serius ini, mereka bekerjasama dengan masyarakat adat yang lain untuk membangun kekuatan kolektif.
Delima Silalahi, Direktur Program KSPPM, diberi kesempatan untuk memperkenalkan KSPPM sebagai NGO yang fokus mendampingi kasus-kasus sturktural di Tano Batak yang seringkali membuat masyarakat adat menjadi korban. Delima membagikan data-data mengenai perampasan ruang hidup yang dilakukan PT TPL.
Dalam diskusi via zoom tersebut, Eva Junita Lumban Gaol, seorang perempuan adat suku Batak Toba, menceritakan perjuangan komunitasnya hingga meneteskan air mata. Beliau memaparkan dampak-dampak yang diakibatkan oleh PT TPL di wilayah adatnya, tanah warisan nenek moyang mereka. Dampak-dampak tersebut meliputi kerusakan lingkungan, penurunan pendapatan rumah tangga akibat semakin sedikitnya getah dari pohon kemenyan, rusaknya persawahan akibat turunnya debit irigasi karena tanaman eukaliptus menyerap banyak air, hingga kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak PT TPL dan kepolisian.
Saat sesi tanya jawab, peserta diskusi mengajukan tiga pertanyaan menarik untuk dijawab oleh para narasumber. Pertanyaan pertama mengenai sumber inspirasi (sebagai perempuan adat) untuk terus memperjuangkan wilayah adat. Sangat mempesona bahwa semua narasumber memiliki inspirasi masing-masing dalam melanjutkan perjuangan. Melody Daugherty mengatakan bahwa inspirasi itu adalah sosok ibunya yang pernah berpesan mengenai alam, “Semua makhluk memiliki hak untuk hidup”. Demikian juga dengan Eva yang mengatakan ibu sebagai sosok inspirasinya. Bagi Eva, sebagaimana ibu menghidupi, demikian juga dengan tanah. Sementara Sharrie mengatakan bahwa sosok inspirasinya adalah Sang Pencipta.
Pertanyaan menarik selanjutnya adalah alasan para perempuan adat untuk terus berjuang mempertahankan wilayah adat. Eva dan Delima memiliki alasan yang sama, yaitu tanah. Bagi mereka, kehilangan tanah berarti kehilangan identitas. Melody mengaku bahwa alasan yang membuatnya terus berjuang adalah alasan spiritual, mengenai relasinya dengan pencipta bumi. Sharrie mengaku terus berjuang karena ingin agar cucunya tetap bisa menikmati keindahan alam hingga dewasa kelak.
Pertanyaan terakhir adalah regenerasi perjuangan, bagaimana agar perempuan adat yang masih muda dapat melanjutkan perjuangan. Semua narasumber mengatakan bahwa cara yang paling efektif adalah melakukan dialog dan transformasi pengetahuan.
Setelah sesi tanya jawab selesai, moderator merangkum hasil diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 90 menit tersebut dan memberi kesempatan kepada narasumber untuk menyampaikan pernyataan penutup.**