Jumat, 20 Mei 2022. “Tano Batak ini pasti akan jauh lebih baik kalau dibangun di atas kedaulatan adat Batak” tegas Abdon Nababan dalam closing statement saat bincang-bincang dengan tema ‘Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Lingkungan’ di hari kedua Festival Bumi dan Manusia yang diselanggarakan di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Kalimat penutup ini seperti merangkum keseluruhan diskusi tersebut tentang pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga lingkungan, khususnya kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi pariwisata yang digadang-gadang oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Abdon Nababan mengatakan, “Hutan-hutan terbaik di dunia adalah hutan-hutan yang masih dijaga oleh masyarakat adat, termasuk dengan hutan yang ada di kawasan Danau Toba ini”. Hutan terbaik di Tano Batak terlihat dari peran masyarakat adat menjaganya dan masyarakat adat memiliki aturan mengenai tata ruang wilayah adat.
Kedaulatan memiliki makna yang luas, termasuk bagaimana cara komunitas masyarakat adat menentukan masa depannya sendiri dengan nilai-nilai adat atau ke-Batak-kan dalam membangun komunitas dan lingkungan sekitarnya. “Masyarakat adat selalu menjaga hubungan dengan leluhur, maka sifat khas masyarakat adat adalah penghargaan atas warisan leluhur. Maka dari itu masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang alam yang sangat luar biasa”, ujar Abdon Nababan yang juga menjelaskan betapa hukum-hukum adat memiliki nilai-nilai terkait konservasi lingkungan dan sistem pengelolaan tanah yang sangat canggih.
Abdon Nababan sedikit menjelaskan tentang pranata sosial orang Batak yang sangat menghargai sejarah garis keturunan dan wilayah tanahnya. Pranata sosial yang dimaksud termasuk dengan adat Batak yang memiliki sistem Horja, Bius, dan lain-lain. Sistem pranata sosial ini tentu juga berkaitan langsung dengan manajemen kepemilikan dan pengelolaan tanah didalam wilayah adatnya. Menurutnya, orang Batak sudah memiliki pemahaman yang holistik tentang alam. “Kalau mau memulihkan alam di sekitar danau Toba, jalan terbaiknya adalah lewat masyarakat adat” tuturnya.
Roki Pasaribu selaku moderator diskusi ini menyebutkan bahwa takhayul-takhayul atau mitos-mitos yang berkaitan dengan alam adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam. Namun, orang-orang dengan gelar pendidikan formal cenderung mendiskreditkan atau mengaburkan kisah-kisah takhayul dan mitos ini dengan istilah-istilah ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Cerita cerita atau pantangan yang selalu diingat oleh setiap individu masyarakat adat didiskreditkan oleh ilmu pengetahuan yang tidak kontekstual.
Dian Purba, dosen Universitas Institut Agama Kristen Negeri Tarutung, sebagai salah satu narasumber diskusi ini, melontarkan kritis lalu menegaskan bahwa institusi pendidikan dan gereja mestinya memikul tanggung jawab moral dalam gerakan menjaga lingkungan dan tanah bagi masyarakat adat. “Teologi kita harus ditingkatkan agar tidak hanya mengejar surga, tapi juga harus lebih memperhatikan kehidupan di bumi yang ada sekarang” ujarnya. Lalu beliau menjelaskan tentang perjuangan Tuan Manullang yang memiliki semangat ke-Batak-kan dalam setiap perjuangannya.
“Tuan Manullang sempat menyuruh orang Batak untuk mengerjakan tanahnya supaya tidak diambil oleh Belanda seperti yang kita lihat di Sumatera Timur” tegasnya. Ini sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang, apalagi di masa rezim pariwisata yang akan/sedang dihadapi oleh orang Batak. Dampak dari rezim ini akan sangat buruk apabila tidak diimbangi dengan semangat lokalitas dan nilai-nilai Batak yang menurut sejarah sudah terbukti dapat membendung penetrasi dari dunia luar.
“Nilai-nilai lokalitas seharusnya tidak bisa ditekan oleh nasionalisasi, karena lokalitas ini yang bahkan membangun dan menjaga demokrasi yang baik” ujarnya saat ditanya tentang pandangan pesimistis tentang negara terhadap masyarakat adat oleh salah satu masyarakat Huta Ginjang, Robinson Siregar. Masyarakat adat Batak memiliki nilai perlawanan yang jelas, sejak jaman kolonial hingga terhadap perusahaan ekstraktif PT. Toba Pulp Lestari.
Abdon Nababan menambahkan pentingnya pengorganisasian komunitas adat dalam menghadapi tantangan jaman ini. Masyarakat adat sesungguhnya bersifat dinamis dan tidak terkungkung kaku oleh teknologi tradisional dalam kehidupan sehari-harinya. “Kalau 4 marga (yang berada di Huta Ginjang) ini kuat pengorganisasiannya pasti akan sangat baik” katanya. “Masyarakat adat (yang masih memegang nilai-nilai) justru akan mampu mengendalikan perkembangan tersebut” tutupnya. Selama ini pembangunan top-down pemerintah jarang sekali sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat. Seharusnya pemerintah bisa lebih terbuka untuk memahami konteks khas masyarakat adat agar kebijakannya lebih tepat sasaran.
Manogu Simanjuntak, salah satu pemuda Nagasaribu Onan Harbangan yang tahun ini mendapatkan SK Hutan Adat seperti Huta Ginjang, mengatakan bahwa ketika dia melaporkan kepada pemerintah (kehutanan/lingkungan hidup) tentang masalah kayu alam, respon pemerintah justru sebaliknya, yaitu mengambil barang bukti dan mempertanyakan apakah kayu tersebut masuk ke dalam konsesi perusahaan atau milik masyarakat. “Selama ini kami menganggap bahwa yang ada di dalam wilayah adat kami adalah milik kami. Kami tidak mengetahui berbedaan antara konsesi perusahaan dan hutan milik masyarakat” tangkasnya. Laporan mereka tidak ditindaklanjuti lagi. “Kami jadi bingung. Kami diminta menjaga alam, tapi apakah perusahaan yang mendapat konsesi tidak punya batasan apa-apa dalam mengeksploitasi hutan?” tanyanya.
Vindo Tambunan, perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mengatakan bahwa selalu ada batasan-batasan dalam pengelolaan oleh pemerintah atau perusahaan, dan pemerintah menjalankan peran pengawasan terhadap perusahaan. Lebih lanjut beliau menghimbau masyarakat untuk turut menjaga lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.
Menurut saya, diskusi ini sangat penting untuk menegaskan bahwa masyarakat adat memegang peran paling penting dalam menjaga kelangsungan bumi. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat adat sering kali menjadi orang pertama yang merasakan dampak dari bencana-bencana yang terjadi pada bumi. Manogu mengatakan, “Kita memiliki sawah yang hasil panennya cukup untuk kita makan selama setahun; jika tidak panen atau gagal panen, kita tidak akan makan. Saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh perusahaan sudah mempengaruhi perairan bagi sawah sawah kami; tanaman eukaliptus sudah bersebelahan dengan tali air alami kami”. Kesaksian Manogu tersebut sangat menggambarkan ironi yang dialami oleh masyarakat adat. Kendati berperan sebagai ujung tombak penyelamat alam dan lingkungan, masyarakat adat menjadi korban langsung dari bencana-bencana alam yang terjadi bukan karena kesalahan mereka. Maka, sudah saatnya pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan masyarakat adat dalam konteks yang lebih luas, bukan dalam konteks sempit dimana masyarakat adat dianggap tidak lebih dari takhayul-takhayul yang tidak masuk akal.**
(Kalang Buwana Zakaria)