Sebagai negara agraris, Indonesia mestinya tidak perlu menghadapi masalah pangan. Tetapi nyatanya, pangan semakin menjadi sorotan setiap hari. Petani yang semestinya bertani malah tidak memiliki tanah. Kalaupun punya, luasnya tidak lebih dari setengah hekter, sementara Undang-Undang (UU) Pokok Agraria menetapkan bahwa petani sejehtera harus memiliki tanah dua hektar. Presiden Jokowi pernah berjanji untuk menciptakan iklim pertanian yang menguntungkan, dan petani harus menjadi profesi yang menjanjikan dan menyejahterakan.[1]
Barangkali, agar petani menjadi profesi yang menjanjikan, pemerintah perlu terlebih dahulu memperhatikan kepemilikan lahan petani itu sendiri. Tanpa luasan lahan yang memadai, petani mustahil bisa sejahtera dan makmur. Luasan lahan yang memadai mesti juga dibarengi penyelesaian persoalan-persolan petani lain yang hingga saat ini belum tuntas, seperti kelangkaan pupuk dan harga panen yang tidak pernah berpihak pada petani.
Kelompok Tani (KT) Sugapa di Desa Maju Kec. Sugampar. KT Sugapa terutama beranggotakan ibu-ibu yang kesehariannya bertanam padi, ubi kayu dan jagung. Setiap hari mereka akan sibuk mengolah tanahnya untuk ditanami. Pertanian adalah sumber utama pendapatan mereka. Oleh karena itu, setiap musim tanam tiba mereka selalu berharap agar tanaman mereka tumbuh baik dan saat musim panen harga berpihak pada mereka.
Mereka sudah beberapa tahun mengalami betapa harga selalu dihegemoni oleh tengkulak. Mereka hanya bisa pasrah dengan kondisi tersebut karena mereka membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan dapur, pendidikan, kesehatan dan tentunya membayar utang yang sudah jatuh tempo. Inilah realitas sehari-hari petani yang selalu menjadi korban.
Panen kali ini di Desa Maju berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya petani panen pada bulan Mei-Juni, tetapi sekarang panen di bulan Agustus. Petani telah menunda musim tanam karena kemarau yang berkepanjangan dan pupuk yang langka. Hasil panen tahun inipun berbeda dengan panen sebelumnya.
“Panen padi kali ini kurang memuaskan, karena kuantitas dan kualitas berkurang dari sebelumnya, tetapi harga padi naik. Tahun lalu hanya 54.000/ kaleng tetapi sekarang 60.000/ kaleng. Tetapi dengan harga pupuk yang cukup tinggi, kami petani tetap merugi“ kata Mak Rejeki, Anggota KT Sugapa.
Penurunan hasil panen tidak hanya dialami oleh Mak Rezeki tetapi juga oleh Maringan P, Ketua KT Simargala di Desa Hutanamora karena keterlambatan musim tanam dan musim panen. Panenan menurun karena cuaca yang tak menentu, pupuk yang mahal dan langka serta hama tikus semakin banyak. Beliau juga mengatakan bahwa harga jual padi saat musim panen tiba selalu turun dibandingkan dengan hari-hari biasa. “Harga jual padi sekarang adalah 54.000 ribu/kaleng, padahal pupuk sangat mahal; merungilah kami terus”, tandasnya.
Refleksi
Masalah-masalah petani saat ini yang tak kunjung mendapatkan solusi yang tepat menandakan ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan petani yang berdaulat dan sejahtera. Pemerintah kurang berempati dalam menyelesaikan persoalan petani saat ini. Keluh-kesah petani yang terus-menerus disuarakan tidak mendapatkan respon yang baik dari pemerintah. Petani selalu diberi jawaban: kita usahakan. Petani sudah jenuh dengan alasan-alasan yang tak mendasar dan butuh solusi yang konkrit.
Misalnya, petani ingin agar harga tidak dihegemoni oleh pemodal dan pasar sehingga petani kecil memiliki posisi tawar dalam menjual hasil panennya. Petani juga ingin agar pemerintah menyediakan pupuk kimia dan organik serta bibit yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Petani juga menginginkan pendidikan bertani dan pemahaman tentang pengendalian hama.
Pemerintah dituntut agar proaktif menindaklanjutinya masalah-masalah yang disampaikan oleh petani agar petani tidak selalu menjadi korban. Ini salah satu penerjemahan sila kelima Pancasila dan UUD 1945 tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berarti bahwa rakyat Indonesia berhak menikmati kesejahteraan dan keadilan.
Saran
Ditengah kelangkaan dan ketergantungan petani dalam menggunakan pupuk kimia, harusnya pemerintah dan Lembaga-lembaga terkait hadir dalam mensosialisasikan bahwa ada pupuk alternative yang bisa petani pergunakan.
Profesor bidang teknologi pangan UGM, Djagal Wiseso, mengatakan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan strategis. Tanpa harus impor pupuk dan pangan, pemerintah bisa meningkatkan produksi pangan lokal dengan memberdayakan petani membuat pupuk alternatif dan mengembangkan pengetahuan petani lokal.
Guru Besar IPB University, Iswandi Anas Chaniago, mengatakan bahwa sebanyak 72% tanah pertanian di Indonesia sudah sakit karena kekurangan bahan organik. Artinya, tinggal tersisa 28% tanah pertanian yang masih sehat. Apabila pupuk kimia terus-menerus dipergunakan maka kerusakan tanahpun tidak terhindarkan sehingga hasil pertanian pun makin berkurang.
Oleh karena itu, kita perlu menyadari bahwa tanah kita sudah terancam sehingga mengakibatkan pangan yang tidak sehat, lingkungan yang rusak dan rusaknya kearifan lokal. Hanya lewat kesadaran bersama kita bisa memulihkan bumi untuk diwariskan kepada anak-cucu dalam keadaan subur dan sehat.**
[1]https://nasional.kompas.com/read/2021/08/06/12023351/jokowi-janji-ciptakan-sektor-pertanian-yang-menguntungkan